x

Iklan

kebogiraz

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjadi Peneliti Bermodal Smartphone

Ponsel pintar (smartphone) tidak cuma buat chatting, nge-game atau selfie. Ada manfaat yang lebih besar kalau bisa dioptimalkan fungsinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada bulan Mei 2010 silam, di Markas Militer Balad, utara Baghdad, Irak, seseorang membawakan seekor katak yang dibungkus plastik kepada seorang sersan bernama  Jonathan Trouern-Trend. Katak ini ditemukan bersembunyi sebuah toilet. Trouern-Trend yang dikenal sebagai seorang ahli identifikasi biologi itu pun mengambil foto si katak lalu mengungahnya melalui aplikasi ponsel pintar iNaturalist. iNaturalist adalah komunitas global tempat orang-orang melaporkan temuan flora dan fauna.

Tidak lama kemudian ada yang mengkonfirmasi foto si katak sebagai Lemon-yellow Tree Frog (Hyla savignyi). Hal yang menarik adalah lokasi temuan katak itu ternyata catatan baru. Selama ini peneliti tidak pernah menemukan katak itu keluar dari region Kurdistan.

Tidak jauh berbeda pada 24 Juli 2010, sambil menenteng sebuah kamera poket, Karyadi Baskoro asik memotret kupu-kupu di sepanjang jalan trail di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Foto itu lalu diunggah di laman Foto Biodiversitas Indonesia (FOBI). Tidak lama kemudian, proses identifikasi memasukkan kupu-kupu dalam spesies Rohana nakula. Berdasarkan buku Ekologi Jawa dan Bali karangan Tony Whitten, dkk tahun 1997 (Ekologi Jawa dan Bali adalah salah satu rujukan utama para naturalist Nusantara), ternyata kupu-kupu berwarna dominan coklat ini berstatus endemik Jawa dan SANGAT LANGKA! Bahkan bisa jadi foto itu adalah spesimen hidup pertama yang diperoleh langsung dari habitat aslinya. Itu pun masih mendingan, karena masih banyak jenis kupu-kupu endemik Jawa yang bernasib lebih sial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rohana nakula. Foto spesimen hidup -mungkin- pertama seekor kupu-kupu endemik Jawa berstatus sangat langka. © Karyadi Baskoro

Dari dunia burung, sampai tahun 2013 ada 3 jenis daftar jenis burung baru yang sebelumnya tidak pernah tercatat di Indonesia oleh para pengamat burung amatir kita. Ketiga jenis itu antara lain Elang-alap Erasia (Accipiter nisus) ditemukan pertama kali oleh Adi Sugiharto pada 3 Februari 2013 di Bukit Unggul, Bandung; Kedidi dada-coret (Calidris melanotos) oleh kelompok pengamat burung Bionic Universitas Negeri Yogyakarta di Pantai Trisik, Yogyakarta, 12 Oktober 2012; Cerek Kalung-besar (Charadrius hiaticula) oleh kelompok yang sama dan di lokasi sama pada 20 Oktober 2013. Ketiga catatan itu sudah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Kukila. Sekarang Indonensia memiliki 1.611 jenis burung. -sumber Yayasan Kutilang

Kedidi dada-coret di Pantai Trisik, 12 Oktober 2012 © Zulqarnain Assiddiqi

Trouern-Trend, Baskoro, Sugiharto dan para pengamat dari Bionic adalah contoh kecil dari aktifitas citizen science karena pada prinsipnya mereka bukan peneliti profesional. Terminologi profesional di sini saya artikan sebagai pekerjaan utama. Citizen science dengan begitu bisa diartikan aktifitas penelitian yang dilakukan di sela-sela aktifitas utama oleh kelompok masyarakat.

Melalui citizen science masyarakat umum yang bahkan tidak punya potongan peneliti bisa berperan serta menyumbangkan pengalamannya di lapangan untuk membantu melengkapi data-data dasar ilmu pengetahuan. Whitten dalam bukunya tidak menyebutkan distribusi pasti Rohana nakula, namun dari data para citizen scientist ini kita tahu bahwa kupu-kupu sangat langka ini ada di Taman Nasional Baluran.

Itulah sekilas tentang citizen science.

Belakangan ini istilah citizen science berkembang menjadi citizen cyberscience. Penambahan nama cyber tidak lain dikarenakan oleh berkembangkan teknologi komunikasi sampai pada sebuah perangkat mungil yang disebut smartphone. Melalui aplikasi yang disediakan developer, proses berbagi data lapangan dan komunikasi antar komunitas peneliti amatir ini menjadi lebih masif. Orang saling berbagi informasi dan berdiskusi dengan jutaan orang dari seluruh dunia hanya dari selayar kaca dan seujung jari.

Smartphone sudah bukan lagi barang siluman yang hanya dijangkau kelompok masyarakat tertentu. Bahkan tidak sedikit dari kita yang sangat tergantung dengan perangkat berlayar sentuh ini, meskipun hanya untuk chatting, bermain game, update status atau selfie. Tapi jika sampeyan mau sedikit keluar dari kotak kecil ketergantungan itu, sampeyan akan menemukan manfaat sangat besar telpon pintar sampeyan.

Kelebihan smartphone sebagai alat observasi lapangan adalah dia memiliki fasilitas dasar dokumentasi: kamera, audio dan teks. Di saat yang sama menyertakan metadata berupa koordinat (termasuk kompas) dan waktu (tanggal, bulan, jam). Bayangkan kalau sampeyan harus membawa alat-alat spesifik konvensional: GPS sebesar kotak pensil, kamera seukuran bungkus rokok, dan buku lapangan yang nggak tahu setebal apa. Beberapa aplikasi bahkan menyertakan fungsi pengukuran jarak, pengukur intensitas cahaya, kecepatan angin, pengukur ketinggian dan lain sebagainya.

Dengan segala kecanggihan yang dimiliki sebuah smartphone, sampeyan bahkan bisa melakukan penelitian "sambil" rekreasi. Eh kebalik ya? Maksudnya rekreasi sambil jadi peneliti. Itu karena saking praktis dan lengkapnya fasilitas yang disediakan sebuah smartphone. Sampai sekarang saya masih sangat nyaman menenteng sebuah smartphone Android yang di dalamnya bersemayam kamera, Locus Map dan Memento Database. Ketiga aplikasi itu sudah lebih dari cukup untuk mencatat setiap temuan penting di lapangan.

Ok, sekarang berita baiknya. Ada banyak sekali aplikasi berbasis baik Android maupun iPhone yang dikembangkan untuk mendukung aktifitas citizen science. Mulai dari pengukuran phytoplankton, spesies invasif, wildlife, klimatologiastronomi, tingkat kebisingan suara, sampai perilaku seksual. Atau yang lebih khusus tentang pengumpulan data sebaran jenis burung, dan perilaku bersarangnya; kupu-kupu, kumbang, dan mamalia. Mungkin sampeyan pernah dengan Project Noah, salah satu aplikasi paling populer untuk mendokumentasikan organisme di seluruh dunia. Sampeyan tinggal pilih mau jadi peneliti apa? Yang perlu dilakukan hanya unduh aplikasinya, install, registrasi, kirim data dan sampeyan pun sudah jadi bagian penting dari ilmu pengetahuan.

Screeshot salah satu halaman aplikasi Vogel het uit! berbasis OS Android. Adalah proyek citizen science dimana publik diikutsertakan dalam penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan kehidupan burung sehari-hari.

Nah, berita buruknya, tidak ada satupun aplikasi-aplikasi yang bisa mengubah sampeyan menjadi peneliti itu yang dikembangkan di Indonesia. Kenapa berita buruk? Karena tidak lain Indonesia adalah negara megabiodiversitas! Kekayaan hayatinya sangat berlimpah! Bahkan sampai tumpah ruah! Dari laut sampai puncak gunung! Sayang, tidak ada upaya serius merawat kekayaan itu meskipun "hanya" melengkapi data! Padahal di luar sana, anak-anak kecil sampai kakek-nenek mengisi hari liburnya dengan blusukan ke hutan-hutan, turun ke laut, halaman rumah, taman kota sambil terus rajin mencatat, berbagi data dan pengalaman.

Sebagai perbandingan saja, di Inggris, melalui skema proyek yang bernama OPAL (The Open Air Laboratories) sejak 2007 sampai akhir 2013 telah melibatkan 500 ribu warga mendatangi 25 ribu lokasi penelitian. Sampai hari ini telah terkumpul 54.949 kiriman data yang berasal dari taman bermain sampai hutan belantara, melingkupi rentang obyek tanah, air, udara, iklim, biodiversitas, serangga dan tumbuhan. Susuwatu banget kan?

Lalu diam-diam kita skeptis kepada asing yang menguasai data-data kekayaan hayati kita. Semua orang pun saling menyalahkan.

"Ini harusnya tanggung jawab LIPI sebagai representasi ilmu pengetahuan negara Indonesia."

"Oh tidak bisa! Harusnya Kementerian Kehutanan juga harus bertanggung jawab karena dia yang menguasai semua kawasan konservasi di seantero negeri dimana kantong-kantong hayati berada."

"Ya nggak bisa gitu. Orang Lingkungan Hidup juga gak boleh lepas tangan dong!"

"Ok, saya memang gak boleh lepas tangan. Tapi, akademisi juga jangan ngurusi kuliah sama pratikum saja. Skripsi sama thesis mana ada yang dipublikasikan? Cuma ditumpuk di perpustakaan. Mana judul penelitiannya cuma dibolak-balik aja lagi? Huh!"

Panggung pertunjukan pun riuh rendah. Lalu diam-diam para ahli IT-programmer mengendap-endap keluar lewat pintu belakang, "Wes gak usah ikut campur, mending bikin aplikasi game saja yang jelas pasarnya."

Aplikasi game buatan anak bangsa

Ikuti tulisan menarik kebogiraz lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu