x

Iklan

Christian Saputro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Juni 2022

Senin, 20 Maret 2023 14:39 WIB

Ragam Tradisi Menjemput Ramadhan di Indonesia

Dalam menjemput bulan suci ramadhan masyarakat Indonesia punya tradisi masing-masing di daerahnya. Terminologi dan tradisi dalam menyongsong ramadhan ini berlangsung di berbagai dengan ciri khas dan keunikannya masing-masing.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam menjemput bulan suci ramadhan masyarakat Indonesia  punya tradisi masing-masing di daerahnya. Terminologi dan tradisi dalam menyongsong ramadhan ini berlangsung  di berbagai dengan ciri khas dan keunikannya masing-masing.

Masyarakat Jawa, punya bermacam cara untuk menyambut Ramadhan. Misalnya, kalau di daerah Semarang, Jawa Tengah ada tradisi  Dugderan, yaitu  kegiatan carnaval dan pasar malam yang dilakukan seminggu sebelum ibadah puasa dimulai. Ada juga tradisi Padusan, Perlon Unggahan, Nyadran dan Pisowanan.

Di Sumatera Utara dikenal mandi Pangir alias Marpangir. Di Riau ada Balimau Kasai  dan di ranah Minang dikenal dengan Balimau. Di Lampung dikenal tradisi Belangikhan atau Pelangekhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Belangikhan

Tradisi Belangigkhan ini di Kampung Olok Gading, Teluk Betung, Bandar Lampung  sudah berlangsung  turun temurun  tiap tahun. Masyarakat salah satu kampung wisata di Bandar Lampung ini setiap menggelar acara belangigkhan di kali akar,  Sumur Puteri, Telukbetung, Bandar Lampung. Ratusan warga dari berbagai penjuru Lampung mengikuti kegiatan tersebut.

Tradisi ini sebenarnya tidak hanya berupa mandi bersama untuk menyucikan diri, melainkan juga sebagai ajang silaturahmi antarwarga. Biasanya setelah mandi, ada doa dan cuak mengan alias makan bersama.

 

Rendam Merang dan Bunga Melur untuk keramasa simbol membersihkan jiwa

Menurut tokoh adat Lampung Mawardi R Harirama  tradisi unik  belangighan ini   kalau dikemas dalam format pawai budaya yang lebih tertata  diharapkan ke depan  dapat dijadikan  salah satu atraksi wisata budaya yang menarik. “Belangighan merupakan kegiatan tradisi asli budaya Lampung yang rutin dilakukan setiap menghadapi Ramadan,” katanya

Lebih lanjut, Mawardi membeberkan tentang filosofi belangighan, tetua-tetua adat Lampung dahulu mengkhususkan kegiatan ini untuk membersihkan diri lahir dan batin setiap memasuki bulan puasa. “Dan kegiatan budaya spiritual tersebut harus terus dilestarikan. Generasi muda saat ini harus mengetahui adat budaya Lampung. Tradisi budaya spiritual ini diharapkan jangan sampai punah tetapi tetap lestari” ujar Sekjen DPP Lampung Sai mengingatkan.

Filosofi Penyucian Diri

Menurut tokoh adat Lampung yang juga anggota Komite Seni Tradisi Dewan Kesenian Lampung (DKL) Sutan Purnama pelangekhan atau belangighan secara harafiah berarti penyucian diri. Asal katanya adalah belangekh yang maknanya mandi untuk menyucikan diri.  Biasanya , tradisi ini berlangsung menjelang bulan Ramadhan. “Intinya agar umat muslim siap lahir batin dalam menjalankan ibadah di bulan puasa,’ ujar Sutan yang juga presenter acara pantun setimbalan di TVRI SPK Lampung.

Acara aktivitas mandi bersama ini di Lampung biasanya dilaksanakan secara bersama-sama beberapa  pekon (kampung) seperti : di Olok Gading,  Sukadanaham, Pengajaran, dan Kedamaian yang tujuannya  ke lokasi-lokasi pemandian. Misalnya di sungai, laut, sumur yang terjaga kesucian airnya, dan untuk acara ini merambah kolam renang.

Selain secara massal, warga Lampung kerap melakukan pelangekhan sendiri-sendiri tanpa menunggu bulan puasa. Ini karena banyak juga masyarakat menjalankan kebiasaan turun-menurun tersebut dengan tujuan membuang sial.

"Ada juga yang melakukan pelangegkhan supaya segera mendapat jodoh. Tapi inti filosofinya, tetap penyucian diri. Bahkan secara adat, setiap orang yang akan melakukan ritual ini bersama-sama menuju sumber air dengan  memakai pakaian adat Lampung," ujar Sutan Purnama.

Menurut Pengamat Wisata Sutarman Sutar tradisi ini bisa dijadikan salah satu atraksi budaya yang bisa untuk menarik wisatawan untuk berkunjung ke Lampung. ”Kita bisa saling belajar dan menghargai tradisi,” ujar Sutarman.

Balimau Padang

Balimau adalah tradisi mandi menggunakan jeruk nipis yang berkembang di kalangan masyarakat Minangkabau dan biasanya dilakukan pada kawasan tertentu yang memiliki aliran sungai dan tempat pemandian.Diwariskan secara turun temurun, tradisi ini dipercaya telah berlangsung selama berabad-abad. Balimau dilaksanakan untuk membersihkan diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan Ramadan. Pada jaman dahulu pengganti sabun di beberapa wilayah di Minangkabau adalah limau (jeruk nipis), karena sifatnya yang melarutkan minyak atau keringat di badan.

Dalam tradisi ini sebetulnya perempuan tidak perlu mandi di sungai agar tidak bercampur dengan lelaki, tetapi bisa di sumur umum. Namun dalam perkembangan selanjutnya kebiasaan ini kemudian berkembang di masyarakat. Mandi bersama dilakukan di sungai dengan alasan untuk berekreasi sehingga bercampur antara lelaki dan perempuan.

Tradisi  mandi balimau  memang punya peluang untuk dijadikan ajang promosi apa saja. Pasalnya, tradisi mandi di sungai menjelang Ramadan ini diikuti ratusan hingga ribuan orang di Padang. Berbagai sungai di sana berubah menjadi lokasi tempat mandi yang membuat jalan macet karena dipadati warga yang hendak mandi ke sungai. 

 

Tujuannya untuk mensucikan diri sebelum puasa dengan mandi aneka ramuan pengharum dari irisan limau, irisan pandan,dan berbagai bunga-bungaan, bunga kenanga, dan akar tanaman gambelu. Semua bahan ini direndam dalam air suam-suam kuku. Lalu, dibarutkan ke kepala. 

 

Makna dari tradisi balimau adalah untuk kebersihan hati dan tubuh manusia dalam rangka mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa. Masyarakat tradisional minangkabau pada zaman dahulu, mengaplikasikan wujud dari kebersihan hati dan jiwa dengan cara mengguyur seluruh anggota tubuh atau keramas disertai dengan ritual yang memberikan kenyamanan dan efek bathin serta kesiapan lahir bathin ketika melaksanakan Ibadah puasa.


Prosesi balimau pada awal-awalnya positif dan mendapat dukungan agama. Karena sebenarnya balimau pada awalnya tradisi itu, tidak saja dilakukan pada saat memasuki bulan puasa, akan tetapi sebagai jelang-menjelang antara dua atau lebih kerabat. Seperti lazimnya, orang yang baru nikah, menjelang orangtua atau mertua.

 

Persyaratan yang biasanya disertakan pada acara itu, berupa limau kasai (ramuan balimau), karena dulu belum ada semacam sampo seperti sekarang. Tujuannya, agar orang yang didatangi dapat membersihkan diri, menyucikan diri. Namun tempatnya tidak di lakukan ditempat pemandian umum, tapi di tempat pemandian masing-masing.”


Inti dari tradisi balimau itu dalam rangka mengeratkan tali silaturrahmi. Kemudian, mensucikan diri sejalan dengan ajaran agama Islam. Islam itu sangat suka kebersihan. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman?.
“Balimau merupakan ajang silaturrahmi, di mana anak-kemenakan biasanya mengoleskan ramuan balimau ke kepala para mamaknya. Tradisi ini masih melekat pada sebagian daerah sampai sekarang di Minangkabau,” ujar Suhendri Datuk Siri Maharajo, Ninik-Mamak di Nagari Balingka, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam.


Balimau Kasai

Balimau Kasai adalah sebuah upacara tradisional yang istimewa bagi masyarakat Kampar di Provinsi Riau untuk menyambut bulan suci Ramadan. Acara ini biasanya dilaksanakan sehari menjelang masuknya bulan puasa. Upacara tradisional ini selain sebagai ungkapan rasa syukur dan kegembiraan memasuki bulan puasa, juga merupakan simbol penyucian dan pembersihan diri. Balimau sendiri bermakna mandi dengan menggunakan air yang dicampur jeruk yang oleh masyarakat setempat disebut limau. Jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kapas.

Sedangkan kasai adalah wangi- wangian yang dipakai saat berkeramas. Bagi masyarakat Kampar, pengharum rambut ini (kasai) dipercayai dapat mengusir segala macam rasa dengki yang ada dalam kepala, sebelum memasuki bulan puasa.

Sebenarnya upacara bersih diri atau mandi menjelang masuk bulan ramadhan tidak hanya dimiliki masyarakat Kampar saja. Kalau di Kampar upacara ini sering dikenal dengan nama Balimau Kasai, maka di Kota Pelalawan lebih dikenal dengan nama Balimau Kasai Potang Mamogang. Di Sumatera Barat juga dikenal istilah yang hampir mirip, yakni Mandi Balimau. Khusus untuk Kota Pelalawan, tambahan kata potang mamogong mempunyai arti menjelang petang karena menunjuk waktu pelaksanaan acara tersebut.

Tradisi Balimau Kasai di Kampar, konon telah berlangsung berabad- abad lamanya sejak daerah ini masih di bawah kekuasaan kerajaan. Upacara untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan ini dipercayai bermula dari kebiasaan Raja Pelalawan. Namun ada juga anggapan lain yang mengatakan bahwa upacara tradisional ini berasal dari Sumatera Barat. Bagi masyarakat Kampar sendiri upacara Balimau Kasai dianggap sebagai tradisi campuran Hindu- Islam yang telah ada sejak Kerajaan Muara Takus berkuasa.

Keistimewaan Balimau Kasai merupakan acara adat yang mengandung nilai sakral yang khas. Wisatawan yang mengikuti acara ini bisa menyaksikan masyarakat Kampar dan sekitarnya berbondong-bondong menuju pinggir sungai Kampar untuk melakukan ritual mandi bersama. Sebelum masyarakat menceburkan diri ke sungai, ritual mandi ini dimulai dengan makan bersama yang oleh masyarakat sering disebut makan majamba.


Lain kota, lain daerah, lain pula cara dan tradisinya dalam menyambut Ramadhan. Nah ini beberapa tradisi Jawa – yang saya tahu, yang biasa dilakukan manakala Ramadhan akan tiba.

Dugderan

Sebuah tradisi masyarakat Jawa Tengah, khususnya Semarang yang konon sudah dimulai sejak tahun 1881. Dugderan ini digelar satu minggu sebelum Ramadhan, dan kegiatannya mirip seperti pasar malam. Dulu masyarakat Jawa, membunyikan bedug dan meriam sebagai tanda datangnya bulan Ramadhan, karena itu nama tradisi ini jadi Dugderan yang diambil dari kata ‘dug’ atau suara bedug dan der’ atau suara meriam.

Tradisi Dugderan Semarang



Perlon Unggahan

Masyarakat Banyumas, Jawa Tengah juga punya cara unik dalam menyambut Ramadhan, namanya adalah tradisi Perlon Unggahan. Seremoni menyambut bulan puasa ini adalah sebuah acara makan besar yang dilakukan warga setempat. Bermacam makanan disediakan, dan yang tak boleh ditinggalkan adalah nasi bungkus, serundeng sapi, dan sayur becek. Anehnya, dalam tradisi Perlon Unggahan ini serundeng sapi dan sayur becek yang disajikan harus disiapkan oleh kaum lelaki yang berjumlah 12 orang. Unik bukan?



Nyadran dan Pisowanan

Kalau tradisi yang satu ini diadakan oleh warga Boyolali, Jawa Tengah – ada juga daerah lain (Jateng-Jatim) yang punya tradisi ini. Singkatnya, tradisi Nyadran ini adalah ziarah kubur yang dilakukan bersama-sama oleh warga Boyolali. Tradisi Nyadran yang biasa dilakukan menjelang Ramdhan, atau tepatnya pada tanggal 16 Syaban, juga diramaikan dengan kebiasaan membawa jajanan pasar dan buah-buahan ke makam, tapi jangan salah, bawaan makanan itu nantinya akan dibagi-bagikan kepada masyarakat yang ikut Nyadran.

 

radisi ini juga biasa dilakukan oleh warga Banyumas, Jawa Tengah. Pisowanan, bisa diartikan dengan ungkapan ‘menghadap sesepuh”. Ritual dari tradisi Pisowanan ini adalah berziarah ke makam tokoh besar/agama di Banyumas. Selain berziarah ke makam, sejumlah panganan juga disediakan yang kemudian dibagi-bagikan kepada peserta ziarah. Tradisi Pisowanan ini konon sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, dan tujuannya adalah untuk mempererat tali silaturahmi warga Banyumas di saat menjelang Ramadhan.

Padusan

Tradisi yang bermakna pembersihan lahir dan batin seseorang manakala akan datang bulan Ramadhan ini biasa dilakukan oleh masyarakat Klaten, Boyolali, Salatiga, dan Yogyakarta. Padusan ini merupakan ritual berendam atau mandi di sumur-sumur atau mata air yang dianggap suci

Salah satu cara masyarakat Jawa khususnya untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan adalah tradisi Nyadran (Ruwahan) dan Padusan. Tradisi Nyadran sendiri sampai saat ini masih dilaksanakan disekitar tempat tinggal saya dan telah dilaksanakan pada malam Jum’at minggu kemaren. Sedangkan tradisi padusan karena di sekitar tidak ada sarana untuk itu biasanya beramai-ramai mengunjungi kolam renang atau pantai.

Sedikit sejarah, tradisi  Padusan berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Secara sederhana padusan diartikan mandi dengan maksud penyucian diri agar dapat menjalani peribadahan di bulan suci Ramadhan dalam kondisi suci. Dengan keadaan suci ini, khususnya suci lahir, diharapkan tujuan peribadahan untuk mencapai ketaqwaan. Namun dari sudut pandang syariat tidak ada aturan yang jelas mengenai hal ini. Yang jelas sebagai umat muslim sudah menjadi kebiasaan mensucikan diri baik sebelum menjalankan sholat maupun puasa.  

*) Christian Heru Cahyo Saputro, pegiat Heritage,suka motret, tukang tulis, suka berbagi kisah tinggal di Semarang.

 

Ikuti tulisan menarik Christian Saputro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler