Jejak Arsitektur di Bumi Sriwijaya
Selasa, 4 April 2023 20:02 WIB
Kejayaan Sriwijaya sebagai negara maritim terkenal hingga negeri Campa yang kini disebut Thailand, Formosa (Taiwan), Cina dan Madagaskar . Kota yang sering disebut kota empek-empek ini banyak menyimpan sejarah dan kenangan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Konon nama Palembang berasal dari kata Limbang yang berarti mendulang emas. Menurut sejarah kota Palembang makmur karena emas yang terkandung di sungai Musi. Maka pada jaman Sriwijaya, Palembang juga berjuluk Swarnadwipa yang berarti pulau Emas Sisa-sisa kebesaran Sriwijaya masih nampak pada situs benteng Kuto Besak yang masih kokoh bendiri hingga kini di bantaran Sungai Musi, yang lokasinya tak jauh dari ikon kota Palembang Jerambah Ampera.
Kota Palembang merupakan salah satu kota dari lima kota besar di Indonesia. Palembang juga merupakan salah kota tertua di Sumatera yang masih mempertahankan bangunan-bangunan kuno sebagai warisan budaya. Palembang yang dikenal dengan sebutan Bumi Sriwijaya ini dikenal sejak tahun 712 Masehi.
Kejayaan Sriwijaya sebagai negara maritim terkenal hingga negeri Campa yang kini disebut Thailand, Formosa (Taiwan), Cina dan Madagaskar .
Kota yang sering disebut kota empek-empek ini banyak menyimpan sejarah dan kenangan sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Konon nama Palembang berasal dari kata Limbang yang berarti mendulang emas.
Menurut sejarah kota Palembang makmur karena emas yang terkandung di sungai Musi. Maka pada jaman Sriwijaya, Palembang juga berjuluk Swarnadwipa yang berarti pulau Emas
Sisa-sisa kebesaran Sriwijaya masih nampak pada situs benteng Kuto Besak yang masih kokoh bendiri hingga kini di bantaran Sungai Musi, yang lokasinya tak jauh dari ikon kota Palembang Jerambah Ampera.
Benteng Kuto Besak
Benteng Kuto Besak merupakan peninggalan bersejarah dari Kesultanan Palembang Darussalam. Perencana pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Baddaruddin I, dibangun dalam jangka waktu hingga 17 tahun lamanya.
Proses pembangunan benteng ini didukung penuh rakyat di Sumatera Selatan. Bentuk dukungan mereka dulu mereka wujudkan dengan menyumbang bahan-bahan bangunan maupun tenaga pelaksananya.
Arsiteknya tidak diketahui dengan pasti. Ada pendapat yang mengatakan arsiteknya adalah orang Eropa. Untuk pelaksanaan pengawasan pekerjaan dipercayakan kepada pendatang asal China yang memang ahli di bidangnya.
Benteng Kuto Besak sendiri diresmikan pada 21 Februari 1797 oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Pendirian benteng ini bertujuan melindungi Kesultanan Palembang Darusallam dari serangan dan gempuran musuh. Dengan letak benteng yang berada di antara sungai-sungai, siapa pun tak mudah memasuki benteng ini.
Pada abadke-18, Benteng Kuto Besak menjadi pusat Kesultanan Palembang Darussalam yang keempat, setealah Keraton Gawang, Keraton Beringin Janggut dan Keraton Kuto Besak dan Kuto Lama.
Benteng Kuto Besak letaknya berada disisi utara sungai Musi yang dibatasi Sungai Sekanak di bagian Barat, Sungai Tengkuruk di Bagian Timur dan Sungai Kapuran di bagian Utara. Dari sisi lain, benteng ini berada di sebelah barat Keraton Kuto Lamo.
Kini benteng ini berfungsi sebagi museum yang menyimpan peninggalan-peninggalan bersejarah dari Kesultanan Palembang Darussallam dan Pemerintah Kolonial Belanda.
Peninggalan arkeologis dari masa Kesultanan Palembang Darusssalam adalah tembok keliling dan pintu gerbang bagian barat daya. Sedangkan peninggalan arkeologis dari masa Kolonial Belanda adalah Gerbang utama Beneng Kuto Besak dan beberapa banguann lainnya yang terdapat dalam benteng. Selain itu, benteng ini kini digunakan sebagai kantor Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwiyaya.
Selain itu, di kawasan benteng Kuto Besak yang dijadikan kawasan wisata ini pada malam hari selain ada restoran apung di Sungai Musi juga dijadikan Pusat Kuliner Palembang. Kawasan yang letaknya yang strategis ini juga dilengkapi Panggung Budaya yang berlatar Jerambah Ampera yang Legendaris. Para pemburu kenikmatan kuliner (badogger) bisa menikmati lemaknya pempek palembang, renyahnya kerupuk kemplang sembari menikmati kehidupan sungai musi di waktu malam dan sembari menggembalakan angan dalam nostalgia dalam masa kerajaan Sriwijaya.
Museum Sultan Machmud
Jerambah Ampera
Tak jauh dari Benteng Kuto Besak dan Jerambah Ampera ada museum Sultan Machmud Badarudin II yang menghadap sungai Musi. Museum ini dibangun pada tahun 1823 di lokasi bekas istana Sultan Palembang yang hancur karena serangan pasukan Belanda. Uniknya, museum ini mempunyai perpaduan arsitektur tradisional Melayu dengan arsitektur kolonial Belanda. Bangunan ini dulu pertamakali digunakan sebagai tempat kediamana pejabat Belanda.
Masjid Agung Palembang
Masjid yang merupakan salah satu peninggalan Sultan Machmud Badarudin I ini masih berdiri megah di sudut antara jalan Jendral Sudirman dan Jalan Merdeka. Di kawasan masjid yang dibangun pada tahun 1740 ini dulunya merupakan ibukota kerajaan Islam Palembang. Kesultanan Palembang ini dikenal slalu menentang Belanda hingga rajanya yang terakhir Sultan Achmad Najamuddin menyerah dan dibuang ke Banda Neira pada tahun 1825.
Masdjig Agung Palembang
Jejak Karsten di Pasar Cinde
Pasar Cinde pada awal mulanya di sebut dengan pasar lingkis dimana dulunya banyak pedagang yang berasal dari daerah lingkis, Jejawi, Oki yang dulunya juga banyak tinggal di tempat tersebut.
Pada masa perang 5 hari 5 malam 1947 tempat ini merupakan salah satu titik pertempuran dimana sebagian pejuang dari kebon duku mengambil posisi di area ini
Pasar Cinde di Palembang adalah karya arsitek Herman Thomas Karsten(1884-1945). Pasar ini kembaran Pasar Johar Semarang yang juga dirancang oleh Karsten.
Segala macam barang ada di tempat ini, mulai perlengkapan kapal sampai kerupuk tetapi sekarang ini lebih di dominasi dengan penjualan perlengkapan meliter dan alat-alat pertanian, selain kebutuhan pokok yang juga banyak tersedia di pasar ini.
Tetapi Bangunan Pasar Cinde baru dibangun pada tahun 1958 pasar yang pertama di Kota Palembang yang dibangun setelah kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan rancangan tersebut.
Pasar-pasar yang lain sebelum itu dibangun pada waktu penjajahan kolonial, bangunan pasar cinde di bangun dengan struktur utama memakai konstruksi cendawan (paddestoel). Pasar kedua yang memakai konstruksi tersebut setelah “Pasar Djohar” di Semarang.
Menurut penuturan (Alm) HM Idris Ibrahim, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang mengikuti pembangunan Pasar Cinde, ketika ada yang meragukan kekuatan konstruksi cendawan, dilakukan tes beban dengan menaikkan tank baja ke atas atap pasar tersebut.
Setelah Pasar 16 Ilir terbakar dan diganti dengan bangunan yang sampai sekarang tidak berfungsi sebagai pasar tradisional di pusat kota, maka Pasar Cinde merupakan pasar tradisional utama di pusat Kota Palembang.
Pasar Cinde menjadi salah satu trade mark bagi Kota Palembang dan menempati tempat yang khusus di hati masyarakat Palembang.
Jerambah Ampera
Palembang yang dilalui Sungai Musi yang terpanjang di Sumatera ini, juga S pernah tercatat punya jembatan terpanjang di Indonesia yaitu Jembatan Ampera.
Pembangunan jembatan Ampera yang pada awalnya bisa bergerak naik turun otomatis ini dimulai pada bulan April 1962. Pembangunan jembatan yang kini jadi tetenger kota Palembang ini biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang.
Pembangunan jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter ini, yang pada awalnya dinamai Jembatan Bung Karno, semua ditanggung oleh pemerintah jepang dari kontraktor hingga pekerjanya.
Museum Palembang
Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama Bung Karno tersebut sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden RI pertama itu. Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah jembatan yangmelintas di atas Sungai Musi.
Peresmian pemakaian jembatan ini sendiri dilakukan pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965 Oleh Letjend Ahmad Yani ( sore hari Jendral Yani Pulang dan subuh 1 Oktober 65 menjadi Korban kekejaman PKI), sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan.
Pada perkembangan berikutnya, setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera. tetapi masyarakat Palembang lebih suka memanggil jembatan ini dengan sebutan bahasa setempat jerambah.
Melihat kemegahan dan keindahan jembatan Ampera apalagi di waktu malam, Palembang pada sekitar tahun delapan puluhan sempat mendapat julukan Paris Van Sumatera. Bagian tengah Jembatan Ampera, ketika baru selesai dibangun, sepanjang
71,90 meter, dengan lebar 22 meter. Bagian jembatan yang berat keseluruhan 944 ton itu dapat diangkat dengan kecepatan sekitar 10 meter per menit. Dua menara pengangkatnya berdiri tegak setinggi 63 meter. Jarak antara dua menara ini 75 meter. Dua menara ini dilengkapi dengan dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.
Sejak tahun 1970, Jembatan Ampera sudah tidak lagi dinaikturunkan. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap mengganggu arus lalu lintas antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir, dua daerah Kota Palembang yang dipisahkan olehSungai Musi.
Alasan lain karena sudah tidak ada kapal besar yang bisa berlayar di Sungai Musi. Pendangkalan yang semakin parah menjadi penyebab Sungai Musi tidak bisa dilayari kapal berukuran besar. Sampai sekarang, Sungai Musi memang terus mengalami pendangkalan .
Pada tahun 1990, dua bandul pemberat untuk menaikkan dan menurunkan bagian tengah jembatan, yang masing-masing seberat 500 ton, dibongkar dan diturunkan karena khawatir jika sewaktu-waktu benda itu jatuh dan menimpa orang yang lewat di jembatan. Bayangkan jika benda seberat itu menimpa benda dibawahnya.
Jembatan Ampera pernah direnovasi pada tahun 1981, dengan menghabiskan dana sekitar Rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan Jembatan Ampera bisa membuatnya ambruk.
Bersamaan dengan euforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan ini diketahui dipreteli pencuri. Pencurian dilakukan dengan memanjat menara jembatan, dan memotong beberapa onderdil jembatan yang sudah tidak berfungsi.
Seiring dengan bergulirnya waktu, warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang.
*) Christian Heru Cahyo Saputro, Pegiat Heritage dan tukang tulis tinggal di Semarang .

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Akademi Lampung Gelar Rakor Pemajuan Kebudayaan dengan Taman Budaya Bali
Sabtu, 14 Desember 2024 16:04 WIB
Surabaya Cello Community Berangan Membumikan Nada-nada Cello
Selasa, 29 Oktober 2024 18:26 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler