Guru
Kapitalisme, Monster yang Menelan Generasi Muda
6 jam lalu
Krisis Pengangguran Global dan Kegagalan Total Sistem Manusiawi, Hanya Islam yang Bisa Selamatkan
Oleh : Rola Rias Kania (Aktivis Muslimah)
Krisis Pengangguran Global dan Kegagalan Total Sistem Manusiawi, Hanya Islam yang Bisa Selamatkan. Di tengah hiruk-pikuk kemajuan teknologi dan globalisasi, dunia hari ini justru dihadapkan pada krisis tenaga kerja yang semakin memburuk, dengan generasi muda sebagai korban utama. Pada September 2025 ini, data terbaru dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran pemuda global (usia 15-24 tahun) mencapai 13 persen, setara dengan 64,9 juta jiwa yang menganggur angka terendah dalam 15 tahun pasca pandemi Covid-19, namun tetap menandakan pemulihan yang tidak merata.
Meski secara keseluruhan pengangguran turun, fenomena ini justru menyoroti kegagalan sistem ekonomi kapitalis yang mendominasi dunia, termasuk Indonesia, dalam mewujudkan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat. Krisis ini bukan sekadar statistik; ia mencerminkan ketidakadilan struktural yang menjebak anak muda dalam lingkaran kemiskinan, ketidakpastian, dan hilangnya harapan. Kapitalisme, sebagai "monster" rakus yang lahir dari ambisi manusiawi, telah menelan jutaan mimpi pemuda, meninggalkan mereka sebagai korban abadi dari sistem yang rapuh dan eksploitatif.
Krisis Tenaga Kerja yang Menyengat Generasi Muda
Krisis tenaga kerja global bukanlah isapan jempol belaka. Di negara-negara besar, angka pengangguran terus menanjak, terutama di kalangan pemuda. Seperti negara Cina, raksasa ekonomi dunia, pengangguran pemuda melonjak ke 16 persen pada awal 2025, didorong oleh perlambatan pertumbuhan pasca-krisis properti, memaksa jutaan lulusan universitas beralih ke pekerjaan informal atau "menyembunyikan" pengangguran demi menjaga citra sosial. Fenomena "kerja tanpa digaji" atau volunteerism paksa semakin umum, di mana pemuda rela bekerja gratis hanya untuk membangun portofolio, semata-mata agar dianggap "produktif" di mata masyarakat dan perekrut.
Di Indonesia, situasinya tak kalah memprihatinkan meski angka nasional tampak membaik. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) nasional turun menjadi 4,76 persen pada Februari 2025, dari 5,32 persen tahun sebelumnya, dengan angkatan kerja mencapai 153,05 juta orang. Namun, pemuda mendominasi: 16,16 persen atau sekitar 3,6 juta jiwa usia 15-24 tahun menganggur, menyumbang separuh total pengangguran nasional.(bps.go.id/ 5/5/2025). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sakernas Februari 2025 mengungkap bahwa Gen Z (usia 15-24 tahun) mencatat pengangguran tertinggi, dengan hampir 10 juta anak muda termasuk NEET. Lulusan vokasi pun tak luput: 8 persen lulusan SMK dan 6,23 persen sarjana menganggur, meski pemerintah gencar membuka jurusan vokasi. Ketimpangan kaya dan miskin, bagai jurang menganga: segelintir orang kaya makin melambung, sementara upah pekerja merangkak, meninggalkan rakyat biasa nestapa.
Akar Masalah Kapitalisme sebagai Sistem Buatan Manusia
Krisis ini bukan kebetulan ia adalah manifestasi kegagalan mendasar kapitalisme, sistem ekonomi buatan manusia yang mengutamakan akumulasi kekayaan pribadi di atas kesejahteraan kolektif. Kapitalisme, lahir dari Revolusi Industri Eropa abad ke-18, bergantung pada prinsip pasar bebas, kompetisi tanpa batas, dan maksimalisasi profit, yang sering kali mengorbankan hak buruh dan distribusi adil. Akar masalahnya terletak pada konsentrasi kekayaan: secara global, 1 persen orang terkaya menguasai 45 persen aset dunia, menurut Credit Suisse Global Wealth Report, sementara pemuda—sebagai tenaga kerja potensial—terpinggirkan oleh otomatisasi dan outsourcing. Di Indonesia menciptakan lingkaran setan di mana modal terkonsentrasi pada segelintir korporasi, sementara lapangan kerja stagnan.
Penyebab utama pengangguran pemuda adalah ketidakseimbangan ini: negara-negara kapitalis cenderung lepas tangan dari kewajiban sosial, meninggalkan rakyat pada belas kasihan pasar. Lebih dalam lagi, kapitalisme gagal karena bersifat sekuler dan materialistis, mengabaikan dimensi spiritual dan etis manusia. Ia memungkinkan eksploitasi, seperti riba (bunga) yang memperkaya bankir sambil memiskinkan buruh.
Kritik terhadap kapitalisme sering menyoroti bagaimana sistem ini menciptakan penindasan kelas dan eksploitasi tenaga kerja, di mana pekerja dipaksa bergantung pada majikan otokratis tanpa alat produksi sendiri. Masalah ini semakin parah karena dunia belum menerapkan hukum Islam. Sistem kehidupan holistik yang diturunkan Allah SWT melalui Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Hukum Islam bukan sekadar aturan parsial, melainkan nizam (sistem) lengkap yang mengintegrasikan ekonomi, politik, dan sosial untuk mencapai falah (kesejahteraan akhirat dan dunia). Kegagalan kapitalisme sebagai sistem buatan manusia terbukti dari ketidakmampuannya menyelesaikan pengangguran struktural; sebaliknya, ia justru memperlebar jurang antara kaya dan miskin, meninggalkan pemuda sebagai korban abadi.
Islam Sebagai Solusi
Tanpa penerapan syariah, negara tetap bergantung pada kebijakan pragmatis yang reaktif, bukan proaktif, sehingga pengangguran menjadi "masalah utama" yang berkepanjangan, sebagaimana diungkapkan dalam berbagai analisis kritis terhadap kapitalisme yang memicu kemiskinan umat.
Islam hadir sebagai solusi dengan seperangkat aturan yang konstruktif. Dalam Islam, penguasa berperan sebagai raa'in (pemelihara rakyat), bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan ekonomi umat, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an Surah Al-Hadid ayat 25: "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti (yang nyata) dan Kami turunkan Kitab dan neraca (keadilan) kepada mereka, supaya manusia dapat melaksanakan keadilan."
Ra'a'in bukan sekadar pemimpin administratif, melainkan pengawas aktif yang memfasilitasi pekerjaan melalui pendidikan berkualitas, bantuan modal usaha, industrialisasi berbasis syariah, pemberian tanah wakaf untuk pertanian, dan distribusi zakat sebagai jaring pengaman sosial. Sistem ekonomi Islam memastikan distribusi kekayaan adil melalui zakat (2,5 persen dari harta), infaq, dan larangan riba serta penimbunan, mencegah konsentrasi seperti yang terjadi hari ini.
Pendidikan Islam menyiapkan SDM unggul, bukan hanya siap kerja tapi berakhlak mulia, dengan fokus pada ilmu fiqih muamalah dan keterampilan vokasi yang selaras dengan kebutuhan umat. Realitas sejarah membuktikan keampuhan ini. Pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M), Khalifah Umar bin Khattab mendirikan Baitul Mal sebagai lembaga keuangan negara yang mendistribusikan zakat, ghanimah, dan jizyah untuk memberi upah pegawai, tunjangan pengangguran, dan pensiun. Beliau melakukan sensus penduduk untuk memastikan tidak ada yang kelaparan, dan ekspansi wilayah membuka lapangan kerja masif, mengurangi pengangguran hingga mendekati nol.
Lebih mencengangkan, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), penerapan zakat ketat membuat surplus sehingga "tidak ada lagi yang layak menerima zakat karena semua bisa memenuhi kebutuhan sendiri." Kekayaan didistribusikan adil, industrialisasi melalui perdagangan halal berkembang, dan pemuda dilatih sebagai pejuang sekaligus pedagang, menciptakan kemakmuran tanpa ketimpangan.
Ini bukan utopia, tapi kewajiban syariah yang menjanjikan falah bagi anak muda—bukan korban, tapi pilar kemakmuran umat. Pemuda, sebagai leader of change, harus kritis terhadap kapitalisme dan memimpin transisi ini. Krisis tenaga kerja global adalah jeritan kegagalan kapitalisme. Dengan kembali kepada aturan kehidapan yang diturunkan Allah, kita bisa wujudkan dunia di mana pengangguran bukan momok, tapi masa lalu. Saatnya umat bertindak: terapkan syariah, selamatkan generasi muda, dan capai kesejahteraan sejati.
Wallahualam bissawab.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Pengangguran Merajalela, Kapitalisme Rapuh; Mampukah Islam Pulihkan Harapan?
Rabu, 30 Juli 2025 14:47 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler