x

Data Google

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Kamis, 27 April 2023 18:43 WIB

Kosmikofobia

Cerpen Kosmikofobia. Pilihan tak selalu benar. Diam, tak bijak untuk diri sendiri. Lantas bagaimana hidup sesungguhnya. Mengalir saja, santai saja barangkali. Itupun belum tentu benar. Diampun kadang-kadang diperlukan, juga barangkali. Salam baik saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Episode, kesangsian dari sekian habitat kemaslahatan jungkir balik simpang siur melompat-lompat. Pertanyaan tak penting lagi, kewaspadaan tak penting lagi, ketika, aklamasi bergulat dengan aksioma, sublimasi-sekadar awan panas selewat kata, di hati, ataupun tak penting lagi. Paradoks memaki idiom ataupun kebencian mendulang angin, membuncah ke langit literasi, aksara kepura-puraan menjadi cerita sunyi kosong melompong, seolah-olah tak kenal pada ruh dalam tubuh.

Konflik, menjadi bunga setaman, kemuning indah arak-arakan berselingan krisan pewarna natural di sodok mawar berduri, dalam belukar seakan-akan tak berluka cuaca, meski peristiwa telah terjalin dalam satu sikap kesadaran, menjejak bumi langit di junjung, seketika seolah-olah inti penciptaan tak pernah tahu tentang kepura-puraan, dianggap tak ada, meski spirit mengemuka bagai papan reklame kisah-kisah dari abad pembawa kesucian di kebenaran, siapa makhluk ciptaan, gemar sembunyi di balik aksara dalam deret hitung literasi.

**

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hipokrisi, tak pelak lagi tak terpisahkan dari ruh di badan, seakan-akan memasak jantung di balik hati, pesanan cepat saji, sesuai memoar risalah menu-tertulis, hati memerah ataupun berubah-ubah, seperti, tak satupun tahu, sekalipun diri sendiri, seolah-olah, tak akan menjadi karma, seperti kepura-puraan pula, ataupun hal telah berlaku dalam tindakan masa waktu, meski darah di daun saga, telah melukai, pencerahan-tak ada pada keberpihakan ataupun pada kepura-puraan, hanya ada pada ketulusan, dalam ikhlas, bukan pada alegori nurani sangkaan-sangkaan, jalan tengah tak berguna-di saat waktu tempuh berubah, rupa, menjadi melankolis oportunistis.

Sulit berdamai dengan jiwa sendiri, ketika komitmen telah terperangkap dalam pilihan warna nirmana degradasi dari komposisi tak lazim sebagaimana, seharusnya, bening. Apakah, iman tak lagi bisa bicara ketika pemilik hidup memutuskan-menyatakan, sekantong bintang bagai jatuh dari langit, sekira dugaan, tanpa capur tangan malaikat penjaga nurani-padahal itu risalah langit terpujikan mendadak sontak datang menguji ke-iman-an pemilik ruh dalam tubuh, tak sekadar segentong anggur rembulan kebijaksanaan.

**

Akrobatik atribut berkerumun melintas menyemut di hadapan diri sendiri, bersuara mantra-mantra "Wek! Wek! Kusir! Kasur! Kuncir! Wek! Wek! Dum! Dim! Dum! Dem! Dom!" Kalimat berulang-ulang dalam derap konfigurasi, sosok tafakur, menyesali diri.

Sosok itu membuka rongga dada, merogoh jantungnya, secuil saja, lantas membaui kehidung mencicip di mulut, ngobrol dengan jantung sendiri "Ups! Tak sedap seperti kemarin lusa beberapa waktu lalu, lama, lampau sekali. Jangan seolah-olah paham kalau tak paham, jangan memahamkan kalau belum mendalami kemaslahatan urutan sejarah benar, tak sekadar hapalan teoritis-memfosil, sebaiknya buang teori kantong sampah. Hakikat inti dari makrifat kebaikan di kebenaran, tak ada dalam diskursus," benak di hati menggumam, lari di kepala bolak-balik dari otak ke-hati, ke-jantung, sebalik, bolak-balik, malang melintang, bersimpangan, berkesiuran.

**

"Oh! Salah. Bukan jantung. Oh! Ini hatiku. Ehem, baru sedap, nikmat kali bak arak dari tanah surga mantra bertuah. Pergilah dari tanah adat kerantau kaki langit! Jujurlah pada keadaban!"

"Jangan kau khianat pada adat purba tetua tradisi moyangmu! Kalau kau langgar, sakral akan berbalik jadi harimau, menelanmu. Hakikat kebenaran tradisi takkan menolongmu, kalau kau khianat pada sesama, sebagaimana telah diajarkan turun temurun. Camkan itu!" Sosok itu langsung menelan hatinya, senikmat kata perasaannya. Jantung secuil di ujung jari-jarinya, dia tambalkan kembali di tempat semula, laiknya ban tubles.

Bernyanyilah dia, pada semua arah mata angin "Ohoi! Ohoi! Kembalikan ruhku! Nadiku!" Mata melotot memerah akan meledak. Glar! Matanya meledak, dia, terbahak-bahak "Ini lebih nikmat, lebih baik tak punya mata, biar otakku mati tak merawat ingatan, lebih asyik tak punya mata! Ohoi! Ahoi! Ahoi! Tak guna kau kayuh sampan, jika biduk berputar-putar di pusaran."

**

Dia terus bernyanyi, mata itu kembali pulih. Benda bagai bejana berhubungan kian kemari bersambungan kesemua organ tubuhnya, tumbuh begitu banyak kembang pengantin. Berbagai warna berbagai bentuk beragam wangi mengudara.

Nyanyian kasih sayang tanpa cinta sejati, atau sebaliknya, hanya ada amuk bagi diri sosok itu, dia, memandangi kaki langit dengan kelembutan sukma, mengamati berbagai arah mata angin, tak pernah jelas untuk apa "Mataku pulih kembali, gang ging gung! Sial!"

(2020)

***

Jakarta Indonesiana, April 27, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler