x

Karikatur Koran Tempo

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Selasa, 9 Mei 2023 18:07 WIB

Garpu

Cerpen Garpu. Cerita rasional tentang perilaku pandir di ruang publik. Salam kasih sayang saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak ada cara lain, cinta dibunuh oleh jantungnya sendiri. Kejam. Tidak baginya. Garpu, menancap di tubuhnya hal biasa. Zaman telah membuatnya linglung tujuh keliling? Tidak. Bukan soal miskin atau kaya pula. Mati, tidak membawa materi. Entah apa merasuki dirinya, kebencian kepada siapa. Misteri, kata dari suatu permainan pikiran, katan hatinya atau kata pikirannya. Apakah sulit baginya untuk memilih? Tidak. Bunuh atau terbunuh, dua pilihan.

Mangapa? Kata hati, tak selalu berujung, mungkin langsung bertemu akhir dari pertanyaan, mungkin juga jawaban, dari sikapnya sendiri, atau dari lingkungannya. Memahami filsafat, bukan persoalan sekadar numpang lewat. Mengapa pikirannya, selalu saja melompat-lompat, bertentangan dengan dirinya, kadang-kadang oke, bertemu kesepakatan kehendak persis sejajar, sebangun, meski agak miring, ke kanan, kiri, depan atau belakang.

Arah manapun bukan ketentuan sahih. Karena ada hidup, kata hatinya. Karena ada mati. Kata pikirannya. Tarik ulur dalam ruang sempit ataupun lebar, bukan pula pilihan bagi hidupnya. Mungkin serupa jerawat infeksi lantas jadi borok. Luka maksudnya? Bukan, kata di luar dirinya. Lantas kata di dalam dirinya, berkata benar. Sialan, bangsat macam apa lagi hadir di zaman berlari. Estafet, tak selalu ketentuan akumulasi untuk hidup.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lantas apa maunya, kalau jantung sudah mati. Cabutlah garpumu, dia tak mau, tapi kepalanya menggeleng simultan mengangguk. Pandir, muncul di tengah simpang siur ketentuan sebelum keputusan ketetapan hatinya. "Bangsat!" sabar bung, dilarang memaki di sembarang tempat. Tengoklah kiri kanan, ada banyak ruang edukatif wajib kau lalui. "Peduli apa." Oh, lantas kau jadi koboi cengeng berpistol plastik? Tolol!

Pistol plastik? Kau todongkan kepada sesama? Bodoh kali kau. Kau pikir sebuah negeri punya nenek moyangmu. Seenaknya menodongkan pistol, tampaknya kau berkelamin ganda, itupula rupanya membuat kau menjadi manusia pengecut. Kalau pistol sungguhan kau todongkan ke kepalamu? Berani? Pasti takut. Manusia macam kau sebaiknya memakai rok mini, bergincu, berlenggok-lenggok lah di perempatan jalan. Lebih pantas.

Bangsat, macam kau sebaiknya tak tinggal di negeri tengah membangun keindahan edukatif bermanfaat. Alah! Masih ada pula manusia majenun macam kau. "Jlep! Jlep!" Garpu menancap di kepala manusia pandir macam itu. Teror, dirimu sendiri, pengecut bernyali keledai, berjalan mundur di tengah pertumbuhan peradaban, bagai kutil pengganggu panorama keindahan bermatabat. "Jlep!" dua garpu tertancap di mata si pandir itu.

**

Solilokui, bukan kata bermain monopoli. Kau tancapkan pula garpu di tengah permainan kocokan dadu. Kenapa pula dengan tokoh ini. Sakit kepalamu atau tubuhmu telah kehilangan kontrol nurani? Apa masih ada, nurani? Ketika pelanggaran etika hukum berlangsung, dalam kesadaran hitungan digit triliun metematis. Masih ada pula pembelamu, mengelu-elukan "Buatkan dia patung kehormatan!" kalimat sahih moralitas tak bersalah.

Wow! Slogan jangan ngerumpi, atau berkeluh kesah satir hipokrisi sebunyi dalam selimut kabut misteri, tapi ngerumpi pula tampaknya hihihi ... Nah, barangkali itu, arti dari kata, misteri. Serupa tapi tak sama dengan hoaks, atau masih bersaudara barangkali.

"Aku sudah tidak mampu lagi."
"Tancapkan garpu sebanyak kau mau. Berani?"
"Lantas bagaimana dengan pistol ini?"
"Tembak kepalamu sendiri."
"Jangan dong. Ini pistol plastik. Malu aku."
"Oh, masih punya malu rupanya."

Mengeluarkan pistol asli. Merebut pistol plastik, dilempar jauh-jauh. "Nih! Tembak kepalamu."
"Kapan?"
"Sekarang. Tolol!"
"Di ruang publik ini?"
"Takut? Menembak kepalamu?"
"Oke."
"Lakukan sekarang."

"Dor!"
"Kau menembak telingamu."
"Hah! Salah ya."
"Tembakkan lagi pistol itu."

"Dor!"
"Kau menembak kelaminmu."
"Hah! Salah lagi?"
"Lagi! Tembakkan pistol itu." Jlep! Garpu menancap di lengan kiri makhluk itu. "Atau satu garpu lagi menancap di bahumu."
"Jangan! Oke deh ... Oke."

"Dor!"
"Kau menembak kaki kananmu."
"Akh, apa iya begitu?" Jlep! Satu garpu menancap di lengan kanan makhluk itu.
"Mau lagi? Aku korek telingamu?"
"Jangan. Oke."
"Lakukan. Tembak!"

"Dor!"
"Kau menembak tangan kirimu." Jlep! Garpu menancap di punggung kiri makhluk itu "Mau? Aku tambah satu garpu menancap di punggung kananmu?"
"Jangan. Oke. Oke!"
"Tembak sekarang dengan tepat. Sekaligus! Satu di kepala, satu di jantungmu."

"Dor! Dor!" Terkapar makhluk itu, lantas mengerang hebat.
"Itu hukuman kalau iblis, melanggar aturan ke.iblis.an. Tolol!" Tubuh makhluk itu terkapar, terbakar api jadi arang. "Dari api menjadi api. Sampai jumpa di neraka." Sosok tokoh itu, menyirna.

***

Jakarta Indonesiana, Mei 09, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler