Istilah Tentara Palajar pada Serangan Empat Hari di Surakarta
Senin, 22 Mei 2023 09:28 WIB
- Latar Belakang
Pada awal Agustus 1949, Panglima Divisi II Surakarta, Kolonel Gatot Subroto jatuh sakit. Kejadian ini turut membuat tentara Surakarta merasakan pilu. Kondisi di Surakarta juga semakin menegangkan setelah diketahui markas Kolonel Gatot Subroto diserang oleh Belanda hingga hancur. Serangan itu dipimpin oleh Letnan van Heek. Ia menggelar operasi militer dengan kode "steenwijk". Fokus utama dari operasi ini adalah pusat gerilya di Desa Balong, tempat persembunyian pemancar radio republik. Beruntungnya, Gatot Subroto bersama pasukannya telah lebih dulu berhasil meninggalkan markas sebelum serangan terjadi. Kehancuran markas Subroto ini kemudian menyulut kemarahan anak buahnya. Mayor Achmadi, komandan Detasemen Tentara Pelajar Brigade XVII dan Sub Wehrkreise (SWK) 106 Ardjuna, ingin balas dendam, sehingga timbul peristiwa serangan umum Surakarta atau yang biasa disebut juga serangan umum empat hari, yang dimulai dari 7 Agustus 1949 sampai 10 Agustus 1949.
- Peristiwa Serangan Umum Surakarta
Serangan umum Surakarta atau yang biasa disebut juga serangan umum empat hari, yang berlangsung selama empat hari pada tanggal 7 Agustus 1949, yang dilakukan secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Para pelajar dan mahasiswa yang turut berjuang di dalam serangan umum empat hari tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil meluluhlantahkan dan menduduki markas-markas milik Belanda di Surakarta dan sekitarnya.
Jika melihat kembali catatan sejarah yang ada, serangan itu digagas di kawasan Monumen Banjarsari, Surakarta. Dalam menyusun strategi serangan yang ingin dilakukan, para pejuang berkumpul di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen dari situlah ide untuk melakukan serangan umum Surakarta tersebut dicetuskan dan kemudian digaungkan.
Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi Hadisoemarto. Dalam menggempur markas penjajah, serangan dikerahkan dari empat titik penjuru kota Surakarta yang setiap rayonnya dipimpin oleh beberapa komando. Rayon I dari Polokarto dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto, Rayon III dengan komandan Prakosa , Rayon IV dikomandani A Latif, serta Rayon Kota dipimpin Hartono. Menjelang pertengahan pertempuran Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut serta dan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya pertempuran.
Serangan umum Surakarta ini terjadi pada 7-10 Agustus 1949, serangan pertama dimulai pada tanggal 7 Agustus 1949 pukul 06.00, serentak terhadap kedudukan Belanda di Surakarta. Kekuatan pasukan yang digerakkan memasuki kota Surakarta pada hari pertama adalah pasukan-pasukan dari Sub Wehrkreise Arjuna 106, terdiri dari 26 Regu Kesatuan TP Det Brigade 17, 3 Regu dari MB (Mobil Bridge) Polisi dan 3 Regu TNI Brigade V. Mencapai kurang lebih 2000 orang, para gerilyawan telah tersebar di seluruh kota dengan dipersenjatai aneka senjata yang dimiliki.
Serangan umum dipimpin sendiri oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi, Kota Surakarta dikepung dari empat arah oleh anggota-anggota gerilya yang sedari pagi buta sudah menyusup memasuki kota. Pasukan tiap-tiap regu sudah tersebar diseluruh kota dengan persenjataan yang beraneka ragam saat itu, mereka bertekad untuk menguasai kota Solo sebelum perintah gencatan senjata berlaku. Kompi Prakoso melakukan serangan dari arah utara, Kompi Suhendro melancarkan serangan dari arah selatan, Kompi Seomarto dari arah timur, dan Kompi Abdu Latef bersama dengan pasukan SA-CSA Muktio menyerang ke arah barat dan selatan.
Pasukan-pasukan tentara pelajar dengan perlatan seadanya melancarkan serangan secara terus menerus ke markas Belanda, kemudian meyusup ke kampung-kampung bersama rakyat. Pertempuran terus berlangsung hingga pada akhirnya Belanda terpojok dan tersudut tak berdaya. Posisi Belanda yang pada saat itu sudah terdesak seluruhnya, tidak dapat berkutik sehingga terpaksa bertahan di Benteng dan daerah Mangkunegaran. Mereka terkepung dan tidak dapat keluar dari kota Surakarta. Belanda yang semakin terdesak hanya bisa berada dalam tangsi-tangsi. Pertempuran terus berlanjut sampai pada puncaknya tanggal 10 Agustus 1949 tengah malam.
Masa gencatan senjata mulai berlaku sejak tanggal 10 Agustus 1949 tengah malam. Masa ini dinodai oleh pembantaian yang dilakukan oleh Pasukan Komando Baret Hijau Belanda terhadap rakyat yang dijumpainya di daerah Kratonan, Jayengan, Pasar Kembang, Pasar Nongko, Gading dan tempat-tempat lainnya. Khusus di Gading sasarannya adalah Markas Palang Merah Indonesia yang menempati rumah dr. Padmonegoro. Di sini Pasukan Komando Baret Hijau membunuh 7 orang petugas PMI beserta 50 orang pasien yang dalam keadaan tidak berdaya, yang terdiri atas rakyat dan pejuang yang luka-luka. Aksi ini berakhir dengan pengepungan dan pengejaran oleh Tentara Pelajar.
- Dampak yang timbul dari Serangan Umum Surakarta
Serangan Umum Tentara Pelajar Surakarta (DETASEMEN-II / BRIGADE-17 TNI), 8 Februari 1949, 2 Mei 1949 dan 7 – 10 Agustus 1949 yang kala itu terbukti berhasil memperkuat posisi tawar politik perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag, sehingga berujung dicapainya Kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949 dapat berdampingan dengan Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. Hal ini terjadi karena Belanda sadar bila mereka tidak akan mungkin menang secara militer, mengingat Surakarta yang merupakan kota yang pertahanannya terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang andal seperti Slamet Riyadi.
- Kesimpulan
Serangan umum 4 hari 4 malam di Kota Solo merupakan sebuah peristiwa puncak dari rangkaian serangan-serangan sebelumnya, sejak Belanda memasuki Kota Solo. Serangan yang terjadi di Kota Solo ini merupakan sebuah peristiwa yang sangat menarik dan unik. Agresi Militer Belanda II pada serangan umum 4 hari 4 malam di Kota Solo terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah basis gerilya, wilayah yang diduduki Belanda, dan wilayah yang tidak dikuasai oleh salah satu pihak. Karena kembalinya Kota Yogyakarta ke Republik Indonesia pada tanggal 29 Juni 1949, mengakibatkan pasukan Indonesia di wilayah Yogyakarta harus mundur dari kota tersebut dan kemudian ditempatkan di Solo. Kemudian Gubernur Militer mengeluarkan Instruksi No. 26 A, pada tanggal 10 Juni 1949 yang memerintahkan untuk melakukan pertempuran 4 hari di Kota Solo. Serangan ini terjadi secara terus menerus terhadap pasukan Belanda semenjak mereka memasuki Kota Solo. Puncak dari kedua serangan ini adalah pada serangan umum yang terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949. Serangan yang terjadi secara mendadak itu kemudian mengejutkan Belanda dan mendesak mereka untuk mengundurkan diri dan tinggal di markas masing-masing.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Istilah Tentara Palajar pada Serangan Empat Hari di Surakarta
Senin, 22 Mei 2023 09:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler