Catatan Perempuan: Memaknai Air dalam Daur Kehidupan di Tengah Perburuan Tambang Panas Bumi

Selasa, 23 Mei 2023 07:38 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Nabila Dwi Febriyanti Lomba Artikel Jatam Indonesiana

“Perempuan Serupa Ibu Bumi”, setidaknya seperti itulah frasa yang kerap didengar jika berbicara mengenai hubungan perempuan dengan alam. Bahkan dari kerja-kerja domestik yang dianggap lebih mengutamakan peran perempuan, terbangun sebuah ikatan antara perempuan dengan alam. Tak terkecuali perempuan di Tanah Dieng, yang menjalani kehidupannya berinteraksi secara penuh dengan alam sebagai pemberi kehidupan, penjaga keseimbangan, pewaris sejarah, dan saksi peradaban yang terus berjalan.

Sejak zaman dahulu perempuan Dieng bergelimang kekayaan alam, mulai dari tanah yang subur, udara segar, sumber daya melimpah serta air bersih yang terus mengalir menembus setiap petak ladang hingga sudut-sudut rumah. Siapa yang melarang segala bentuk kekayaan tersebut dimanfaatkan demi keberlanjutan hidup masyarakat? Tidak ada, namun masyarakat Dieng terutama perempuan yang diberikan tanggung jawab terhadap berlangsungnya kehidupan, memastikan bahwa pemanfaatan ragam sumber daya yang dilahirkan oleh alam, akan dilakukan dengan penuh etika dan sopan santun, dengan tidak menyakiti, mengkhianati, merusak dan melukai.

Meski berpuluh-puluh mata air menyembur dari dalam tanah, tidak lantas membuat mereka menjadi tamak. Perempuan-perempuan disana memahami bahwa air, adalah sumber kehidupan yang tidak dapat dipisahkan dari keseharian manusia. Terutama, praktik keseharian perempuan yang jauh lebih dekat dengan air melalui kegiatan memasak, mencuci, menanam, mengurus rumah, bahkan melahirkan dan merawat kehidupan.

Air tidak semata-mata dimaknai sebagai penopang aktifitas rumah tangga, lebih dari itu air memiliki peran penting dalam peradaban manusia secara luas. Air adalah juru selamat, tanpa air tanaman tidak akan mampu bertahan, tanpa air hewan-hewan akan sekarat mengenaskan, tanpa air manusia akan binasa dalam sekejap mata dan keseimbangan alam hancur tanpa harus menunggu lama. Lagi-lagi sebagai juru selamat yang suci dan mensucikan, air juga memiliki kedudukan penting dalam sistem religi suatu masyarakat baik yang memegang kepercayaan terhadap agama bumi maupun agama wahyu. Di Tanah Dieng sumber mata air berjajar melimpah ruah dan menjadi saksi sejarah kehidupan manusia.

Negeri atas awan yang diberkati dengan gelimang sumber daya alam, adat dan budaya menyimpan rentetan kisah panjang yang melibatkan Sang Juru Selamat. Kisah tersebut dimulai pada tahun 2002 ketika mesin-mesin raksasa pengebor panas bumi berhasil mengguncang pemukiman masyarakat, melalui kontrak kerja antara Pertamina dengan PLN sebagai join venture pengelolaan lapangan panas bumi Dieng dan Patuha, dengan skala operasi PLTP Dieng 1 sebesar 60 MW.  

Berlanjut pada tahun 2006, dimana PT Geodipa Energy mendapatkan hak pengelolaan Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) area Dieng dan Patuha, terhitung sejak September 2002. Pada tahun 2011 Pemerintah mengambil peran lebih besar dalam kelanjutan kisah Sang Juru Selamat dengan menetapkan Geodipa Energi sebagai BUMN melalui PP No.62/2011.

Menegaskan kekuasaannya, pada tahun 2012 PT Geodipa Energi mendapat penegasan sebagai pengelola WKP Dataran Tinggi Dieng terhitung sejak januari 2007. Ironisnya, pada tahun 2015 PT Geodipa energi mendapat kucuran dana PMN sebesar Rp. 600 Milyar untuk pengembangan panas bumi Dieng dan Patuha. Dinilai masih belum memenuhi harapan, pemerintah menggelontorkan lagi dana PNM kepada PT Geodipa Energi pada tahun 2020 sebesar Rp. 700 Milyar untuk pengembangan panas bumi Dieng dan Patuha. Dengan plot cerita sedemikan rupa, pembangunan PLTP Lapangan Dieng ditargetkan selesai pada tahun 2023 dengan capaian sebesar 400MW.

Lantas, mengapa panas bumi menjadi alternatif pembangkit listrik yang harus bertengger di Tanah Dieng dan menyebabkan masalah masalah akibat penjarahannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebagai salah satu dataran tinggi dengan sumber daya alam melimpah, Dieng memiliki sumber panas bumi yang dapat dimanfaatkan secara cuma-cuma. Lebih dari itu, sumber mata air melimpah yang berjajar dimana-mana mendukung terwujudnya eksploitasi tambang panas bumi sebagai proyek pembangkit listrik paling ambisius.

Sejalan dengan cara kerja PLTP dan cerita cerita masyarakat yang berada di wilayah tambang panas bumi, Siji (bukan nama sebenarnya) menuturkan bahwa ada perubahan debit air dan kualitas di sumber mata air Desa Ngandam Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo. “Airnya sekarang sudah tidak layak diminum, paling Cuma buat nyuci baju. Udah kaya larutan semen” ujarnya.

Bosman Batubara dalam tulisanya menjelaskan bahwa pembangkit listrik tenaga panas bumi memicu terjadinya pencemaran air karena larutan hydrothermal mengandung sejumlah zat berbahaya seperti Arsenik (As), Antimon (Sb), dan Boron (B). Zat berbahaya tersebut dapat memicu kanker dan penyakit kulit pada manusia apabila mengkonsumsi air yang terkontaminasi.

Begitupun dengan Loro (bukan nama sebenarnya) yang menjelaskan mengenai keadaan sosial ketika musim kemarau tiba di Desa Pawuhan Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. “Kalau musim kemarau tiba masyarakat saling berebut air untuk menyiram ladang”.

Iqbal Alma, WALHI Jateng memaparkan bahwa mekanisme produksi PLTP rakus akan kebutuhan air. Dia memperkirakan setidaknya dibutuhkan 40 liter air perdetik atau sekitar 6.500-15.000 liter air yang digunakan untuk setiap MWh. Hal tersebut memvalidasi kesakssian warga yang menyatakan terjadinya kekeringan di wilayah mereka. Selain itu, air sisa injeksi tidak dapat digunakan lagi akibat terkontaminasi zat berbahaya.

Loro menyebutkan bahwa terdapat mata air yang muncul secara tiba-tiba di dekat mata air Zibido yang terletak dibawah temporary Dieng 1 milik PT. Geodipa Energy, “Mata air yang muncul memiliki ciri yang berbeda-beda, ada yang hangat, ada yang airnya berwarna hitam, juga ada semburan air yang berwarna kuning dan berbau belerang”. Keterangan lain yang disampaikan oleh Telu (bukan nama sebenarnya) warga Desa Karangtengah Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara, menyatakan bahwa air yang digunakan untuk menyiram tanaman bersuhu hangat, “Kalau saya ambil air dari Telaga Swiwi, tanaman saya rusak karena airnya hangat”

Rangkaian fenomena tersebut, bukan terjadi secara alami melainkan dampak dari aktifitas tambang panas bumi untuk keperluan pembangkit listrik. Salah satu hal yang lalai dilakukan oleh PT Geodipa Energi dan kebetulan didukung pemerintah adalah kekecauan AMDAL yang mengabaikan dampak serta penetapan lokasi pengeboran yang terlalu dekat dengan pemukiman masyarakat dan sumber mata air yang secara masiv digunakan oleh masyarakat.

Kasus kontaminasi air pada mekanisme produksi pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat diketahui secara teknis melalui empat hal. Pertama, ekstraksi berlebihan air tanah menyebabkan penyebaran air tanah yang terkontaminasi, ekstraksi berlebih tersebut merupakan fungsi dari total air yang diekstraksi dari batuan sarang penyimpan air dan kedalaman sumur bor. Kedua, kualitas casing (selubung bor) yang dibawah standar atau luput dari perawatan, menyebabkan bagian-bagian aquifer tidak terisolasi dari fluida yang ada di sumur produksi maupun injeksi.

Ketiga, praktik re-injeksi yang tidak tepat berpotensi menyebarkan air dari proses hydrothermal di dalam lapisan aquifer, dan naik ke permukaan melalui sumur-sumur pompa.  Keempat, pembuangan air bekas produksi geothermal ke aliran permukaan menyebabkan beredarnya air yang sudah terkontaminasi secara luas. Sialnya, baik sumur produksi maupun sumur injeksi yang dibangun oleh PT Geodipa Energi, sangat dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian masyarakat. Sehingga kasus pencemaran air, lebih mungkin mengalami peningkatan secara intensif.

Selain itu, pengeboran yang dilakukan dalam proses penambangan panas bumi menyebabkan cracking atau retakan pada tanah yang mengakibatkan perubahan aliran air. Kesaksian Telu warga Desa Karangtengah Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara mengatakan bahwa “di desa tempat saya tinggal, karena airnya tida bisa lagi dikonsumsi, warga akhirnya membuat sumur, namun 30 meter digali tidak ada satu tetes pun air yang keluar dari dalam tanah, padahal kami berada di pegunungan”.

Dengan adanya dampak signifikan yang dirasakan masyarakat secara umum, perempuan-perempuan yang hidup di dataran tinggi Dieng justru mengalami kerugian berlipat, terlebih bagi mereka yang bermukim di dekat kawasan produksi tambang panas bumi. Secara sosio-kultural, kehidupan perempuan-perempuan dalam menjalankan aktifitas sehari-hari terhambat oleh permasalahan yang melibatkan Sang Juru Selamat (air) baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Praktik-praktik kerja domestik, aktifitas bertani dan upaya merawat kehidupan semakin mengungkung perempuan dalam ketidakberdayaan. Raksasa tambang yang bercokol, mempertebal derita patriarkisme melalui penindasan atas perempuan dan alam.

Catatan sejarah tidak pernah membahas potensi kekeringan dan pencemaran di Tanah Dieng yang subur makmur dengan gelimang sumber daya, sampai jajahan tambang panas bumi membuatnya benar-benar terjadi. Padahal, bagi masyarakat pedesaan yang sangat bergantung kepada hasil bumi, air memiliki pengaruh besar terhadap sumber pangan yang dihasilkan. Bagi perempuan, air hingga makanan apapun yang terkontaminasi oleh zat-zat berbahaya termasuk limbah produksi tambang panas bumi, dapat mengakibatkan gangguan reproduksi, janin cacat dan resiko tumbuh kembang anak bermasalah.  

Rahim ibu juga tidak akan mampu menopang tubuh bayi, seperti ketika air masih jernih, udara masih bersih dan makanan atau minuman yang dikonsumsi belum terkontaminasi. Secara langsung, peran perempuan semakin tersudut dengan ketidakadilan yang diciptakan. Padahal, kerusakan lingkungan memberikan resiko lebih besar bagi perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Bukan hanya itu, perempuan bahkan rentan mengalami hambatan sosial, ekonomi dan politik yang menjadi dinding pembatas bagi kapasitas mereka untuk mengatasi suatu problematika. Perempuan dituntut mengamankan air, memastikan ketersediaan pangan, menyediakan ruang aman bagi keluarga, namun akses yang tidak seimbang terhadap mobilitas sumber daya dan pengambilan keputusan menempatkan posisi perempuan pedesaan, untuk menggantungkan diri kepada alam secara penuh.

Lebih lanjut, pencemaran air dan kekeringan yang melanda Tanah Dieng sangat berpotensi mematikan mata pencaharian petani yang mayoritas adalah perempuan. Jika tempat mereka menggantungkan hidup dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab, lalu apa yang tersisa dari perempuan-perempuan Dieng, yang pada hari ini merasakan sekarat untuk bertahan hidup tanpa tahu pasti, akankah mereka mampu merawat dan melahirkan pewaris sebagai pemilik sah atas tanah mereka. Perempuan-perempuan Dieng menangis pada kenyataan bahwa keturunan mereka mungkin tidak lagi dapat menyebut tanah kelahiranya sebagai kampung halaman. Ketika air tidak dapat didaur ulang atau dalam kata sederhana tidak mungkin digunakan kembali, maka hal serupa juga berlaku pada daur kehidupan.

Hal ini tentunya, tidak hanya terjadi pada masa-masa sekarang, melainkan akan terus berlanjut sebagai dampak berkepanjangan yang mengancam keberlanjutan hidup masyarakat di Dataran Tinggi Dieng. Perburuan tambang panas bumi, telah melahap masa depan yang hendak dibangun di negeri atas awan.

Lantas, seberapa sulit perempuan di Dataran Tinggi Dieng harus bertarung untuk merawat kehidupan ditengah gempuran tambang panas bumi? Bagaimana jika kondisi yang tengah menjadi mimpi buruk ini bukanlah sebuah tantangan melainkan kutukan dari dosa-dosa yang tidak pernah dilakukan masyarakat? Bagaimana jika peradaban di tanah yang kaya akan sejarah, berakhir lebih cepat akibat bencana yang dibuat oleh penguasa?

 

 

 

Referensi:

B, Batubara. 2014. Dampak Negatif Energi Geothermal Terhadap Lingkungan. (Yogyakarta: FNKSDA)

https://www.geodipa.co.id/dieng-2-dan-patuha-2/ 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Nabila Febrianti

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler