x

Iklan

Khairul Amin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 13:57 WIB

Industri Ekstraktif: Imaji Suram Lingkungan dan Sumber Kehidupan

Industri ekstraktif merupakan ujian besar keseimbangan dan keberlanjutan ekologis. Jika terus dilanjutkan, Imaji suram lingkungan dan sumber kehidupan adalah muaranya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia dan Ruang Kehidupan

Lanskap kehidupan manusia sangat bergantung pada tiga hal, yaitu bahasa (apapun bentuknya, termasuk algoritma), alat (teknologi), dan lingkungan. Bagi Ansary (2019) ketiganya memiliki relasi triadik, saling mempengaruhi dan bertimbal balik. Jika bahasa adalah bagian yang eksis secara internal dalam diri manusia, alat dan lingkungan adalah cerita yang berbeda. Alat (baca: teknologi) dikreasi dan dikembangkan oleh dan atas dasar ‘kebutuhan’ manusia, serta juga respon atas lingkungan. Adapun lingkungan, merupakan hasil kreasi Pencipta (Tuhan) yang ditujukan sebagai ruang hidup bersama untuk segala makluk, termasuk manusia. Sebagai ruang hidup, idealnya lingkungan menyediakan sumber hidup untuk diakses oleh siapapun, termasuk air dan sumber pangan (yang tidak terpisahkan dari tanah). Namun, mengingat situasi terkini, jauh api dari panggang, imajinya

Relasi triadik yang timpang terus terjadi, tidak terbendung dan bahkan signifikan meningkat. Tidak dipungkiri alam pikir modern, khususnya disenchantment of nature (penghilangan pesona dari alam fisikal), membawa dampak destruktif terhadap alam. Sekomplotan manusia lewat kuasa atas bahasa dan alat (teknologi) dengan begitu ambisiusnya menjalankan industri ekstraktif eksploitatif. Bisa dipahami bahwa sebagian manusia memang dipenuhi ambisi besar, namun ketika hal tersebut melanggar kode etik equilibrium (keseimbangan) kehidupan, mereka tak ubahnya psikopat. Atas nama economic growth (pertumbuhan ekonomi), lapangan kerja, atau apapun istilah keren yang dipakai untuk membenarkan tindakannya, hasilnya tetap sama, seperti judul buku Richard Douthwaute (2000): The Growth Illusion How Economic Growth has Enriched the Few, Impoverished the Many, and Endangered the Planet (Ilusi Pertumbuhan: Bagaimana pertumbuhan ekonomi memperkaya segelintir, memelaratkan yang banyak, dan membahayakan planet).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak revolusi Industri utamanya, manusia benar-benar abai memperlakukan ruang dan sumber kehidupannya (lingkungan) dengan baik. Manusia kerapkali membuat keputusan fatal dalam relasinya dengan lingkungan. Padahal hal tersebut, menurut Jared Diamond (2005), menjadi salah satu faktor penentu kelestarian dan keruntuhan suatu masyarakat berperadaban. Ia menambahkan bahwa empat kategori kegagalan pengambilan keputusan. Pertama, kelompok yang gagal mengantisipasi masalah sebelum tiba. Kedua, kelompok yang ketika masalah tiba, mereka gagal memahami masalah. Ketiga, kelompok yang ketika masalah tiba, mereka dapat memahami masalah namun tidak menemukan pemecahannya. Keempat, kelompok mampu menemukan pemecahan terhadap masalah ketika tiba, namun tetap tidak berhasil. Kesemuanya tetap bermuara pada satu hal: crisis (krisis).

Sentilan Diamond mestinya menyentak kesadaran bahwa krisis tidak terjadi tiba-tiba tanpa preseden. Krisis juga soal tentang pengambilan keputusan yang tidak tepat. Sayangnya, sekalipun pengetahuan, data, dan informasi telah terkolektivasi dan prediksi mampu dikeluarkan darinya, tidak ada jaminan krisis dapat ditangani dengan baik saat tiba. Menariknya, faktor manusia seringkali jadi kendalanya, biang keladi yang tak kunjung insaf. Dalam konteks kemajuan pengetahuan dan teknologi, seringkali manusia salah dalam mengambil keputusan, bukan karena ia tidak memahami dan tidak mampu mengantisipasi masalah, namun karena sususan prioritasnya yang sangat buruk. Prioritas yang buruk lahir dari perilaku buruk yang dirasionalisasi.

Industri Ekstraktif dan Kerusakan Ekologis

Salah satu dalang kerusakan ekologis terdepan ialah Industri ekstraktif. Salah satunya adalah pertambangan mengingat lingkungan dan makhluk hidup adalah korban utamanya. Dilansir oleh Mongabay.co.id (17/10/2022), bahwa 80% deforestasi hutan akibat industri tambang disumbang oleh Indonesia, Suriname, dan Ghana. Menurut data dari Global Foresr Watch (GFW), Indonesia setidaknya menyumbang 60% atau sekitar 2.000 km2 dari 3.300 km2 di 26 negara akibat industri tambang. Mengingat hutan adalah ruang dan sumber kehidupan, tempat mata air dan segala sumber pangan tersedia, hal ini tentu mengkhawatirkan.

Tambang, khususnya tambang batu bara, bukan hal baru bagi penulis. Terlahir dan bertumbuh hingga remaja di Kalimantan Timur, daerah dengan cadangan batu bara mencapai 48,2 milliar ton atau terbesar ke-2 di Indonesia (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/02/06/provinsi-dengan-jumlah-cadangan-batu-bara-terbesar ), membuat penulis familiar dengan tambang batu bara, seperti masyarakat Kalimantan Timur kebanyakan, termasuk juga dengan dampak ekologisnya. Deforestasi massif, kerusakan tanah, polusi udara, hingga krisis air bersih (termasuk memburuknya kualitas air sungai) adalah pemandangan harian, utamanya bagi masyarakat yang menetap di sekitar areal penambangan dan pencucian batu bara. Mengingat tambang batu adalah tambang open pit atau open mine (tambang terbuka) merasakan dampaknya secara langsung dan sesegara mungkin pasca eksploitasi adalah keniscayaan. Isu kesehatan menjadi salah satu yang paling krusial. Manusia di segala usia rentan terkena dampak buruk polusi air, udara, dan tanah akibat pertambangan, namun anak-anak dan orang tua menjadi korban terbesar.   

Gambaran visual terbaik dan bertanggung jawab serta mampu mewakili masyarakat terdampak, setidaknya terangkum dalam film “Sexy Killers” yang dirilis Watchdoc pada 14 April 2019. Film yang disutradarai oleh Dandy Laksono ini sukses memotret eksploitasi Batu Bara yang kebablasan, termasuk di Kalimantan Timur. Film dokumenter ini seakan dilengkapi oleh “Baradwipa” yang dirilis oleh Watchdoc berkolaborasi dengan Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STUEB) pada tahun 2021. Jika “Sexy Killer” banyak menyorot pulau Kalimantan dan kegiatan ekstraksi di level hulu, maka “Baradwipa” banyak mengulas pula Sumatera dan kegiatan penggunaan energi kotor batu bara di level hilir serta dampak sosial dan ekologisnya. Keduanya menjadi gambaran visual empiris yang sulit ditolak dan dibantah. Dampak negatif eksploitasi tambang begitu nyata dan dirasakan.

Setali tiga uang, sebagaimana dilansir koran.tempo.co (22/01/2023), deforestasi akibat tambang di Kalimantan Selatan mencapai luas 160.000 hektare dalam 18 tahun (2001-2019). Sementara itu koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah, sebagaimana dirilis kontan.co.id (20/1/2021), mengatakan bahwa luas lahan yang dikuasai pertambangan di Kalimantan Selatan mencapai 1,2 juta hektare atau mencapai 33% lahan yang ada. Bahkan, kalau hendak di tambahkan dengan HGU untuk perusahaan sawit (17% dari luas lahan tersedia), maka melebihi 50% lahan yang ada, belum lagi ditambah industri ekstraktif lainnya. Berbeda dengan tambang batu bara, industri sawit, digolongkan sektor industri non-ekstraktif, namun jika dalam pertimbangan etis industri ekstraktif dapat didefinisikan industri yang membawa bencana ekologis, maka sawit tidak bisa dianggap sepele. Kasus di Gorontalo misalnya (selengkapnya baca : https://www.mongabay.co.id/2013/10/24/diduga-dampak-kebun-sawit-tiga-desa-di-gorontalo-krisis-air/) dan masih banyak kasus lainnya. Sawit termasuk jenis tanaman yang betumbuh cepat, sangat rakus air, dan sekaligus buruk dalam menyimpan cadangan air. Dilansir oleh WWF (World Wild Life) bahwa ekspansi perkebunan dan pabrik kelapa sawit skala besar dapat menyebabkan polusi udara, polusi tanah subur dan air, erosi tanah, dan perubahan iklim. Dampak-dampak tersebut penulis juga rasakan sendiri, bahkan dalam dua dekade saja (rentang tahun 2000-sekarang) hal tersebut begitu terasa. Debit DAS (Daerah Aliran Sungai) berkurang, pendangkalan dan mengeruhnya air sungai secara ekstrem, dan suhu yang sangat panas. Bahkan, penelitian dari Lancet Planetary Health melaporakan deforestasi untuk industri di Kalimantan Timur, menyebabkan suhu kawasan meningkat hampir 1 derajat celcius dalam 16 tahun terakhir. Berau khususnya, pembukaan hutan seluas 4.375 km2 meningkatkan suhu harian mencapai 0,95 derajat celcius. Kawasan yang kehilangan pohon pelindung, mengalami peningkatan suhu pantas yang membahayakan dan mematikan (https://www.thelancet.com/journals/lanplh/article/PIIS2542-5196%2821%2900279-5/fulltext ).

Soal produksi kelapa sawit, Indonesia memang juaranya. Tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 saja, produksi Indonesia mencapai 45, 58 juta ton dengan Riau sebagai daerah penghasil terbesar, yaitu 8,9 juta ton. Catatan tersebut belum termasuk produksi ilegal yang tidak terhitung. Sekalipun industri sawit menjadi salah satu penopang ekonomi terbesar Indonesia, utamanya penerimaan di sektor pajak dan bea cukai, kemakmuran dan keadilan sosial-ekonomi rasanya jauh dari harapan. Mengingat HGU (Hak Guna Usaha) atas tanah konsesi dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penerima mandat rakyat dan pelaksana UU, idealnya rakyat mengalami kemakmuran atau setidak-tidaknya lanskap pemerataan ataupun keadilan sosial-ekonomi tidak terlihat secara jelas dan nyata. Obral izin yang berlangsung sejak lama disertai pengawasan yang buruk menjadikan Indonesia ‘surga’ investor industri batu bara dan kelapa sawit. Tercatat, sebagian besar deretan orang terkaya di Indonesia adalah pemain sektor tambang dan kelapa sawit. Datanya sangat mudah ditemukan dan bertebaran. Keseluruhan realitas ini jelas tidak sesuai dengan salah satu amanat dari pendirian negara lewat dijelaskan di dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Bencana yang Mendekat

Lebih jauh melampaui pendekatan ekonomi, jika dilihat dari pertimbangan etis dan ekologis (ethical and ecological considerations), pekerjaan rumah yang besar dan mendesak menanti untuk seluruh manusia, termasuk manusia Indonesia. Kerusakan ekologis hari ini (yang sedang terjadi) dan masa depan (yang suatu saat akan mencapai klimaksnya) adalah harga yang amat sangat mahal untuk dibayar. Cadangan logam mulia dan logam tanah jarang jelas tidak akan tergantikan, bahkan dalam ribuan tahun. Hutan, sumber kehidupan, tentu tidak dapat dipulihkan dalam semalam. Udara segar, air bersih, dan tanah subur (tidak tercemar) yang sedianya melimpah akan semakin langka. Jika keadaannya terus berlangsung demikian, imaji suram adalah keniscayaan. Akal pikiran dan hasrat menjadikan kuasa bahasa dan alat menjadi sedemikian destruktif terhadap lingkungan. Cepat atau lambat bencana besar (catasthrope) the sixth extinction (kepunahan yang ke-enam) dalam istilah Elizabeth Kolbert berjalan semakin mendekat. Sepanjang sejarah, manusia sukses ‘mengubah’ lingkungan, bahkan ‘menaklukkan’ lingkungan. Padahal disadari atau tidak hal tersebut mengarah pada mass suicide (bunuh diri massal). Siuman dan insaf massal harus segera terjadi, mengingat bahwa manusia punya batas kemampuan dan waktu. Teringat perkataan seorang filsuf, B. Christian, bahwa you don’t measure what you think measure (Anda tidak mengukur apa yang ada pikir ukuran). Selamat hari anti-tambang. Panjang umur perjuangan!

 

Ikuti tulisan menarik Khairul Amin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu