x

Diri Sendiri

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 24 Mei 2023 21:40 WIB

Manusia Karbitan

Bersyukurlah bagi siapa saja yang memang "bisa" dalam suatu hal, bukan sekadar "merasa bisa". Karena akan terhindar menjadi manusia yang angkuh, pongah, congkak, bahkan membenarkan yang salah. Menyalahkan yang benar. Yah. Manusia yang bisa, bukan manusia karbitan, yang sekadar merasa bisa, karena tuntutan peran dalam drama kehidupan yang menjeratnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak manusia yang benar-benar "bisa", bukan "merasa bisa", dalam mengarungi berbagai lini kehidupan di dunia, karena kompeten dalam urusan kepribadian, sosial, dan profesional dalam bidang yang digelutinya, sebab lulus menjadi manusia sebagai makhluk individu, makhluk beragama, makhluk berbudaya, makhluk sosial, dan makhluk ekonomi. Cerdas, kaya pikiran dan kaya hati dalam humaniora.

(Supartono JW.23052023)

Manusia adalah tempat salah dan dosa. Ungkapan ini, tentu sudah bersemayam di relung pikiran dan relung hati (jiwa) setiap manusia yang pandai bersyukur. Pandai instrospeksi dan pandai merefleksi diri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Manusia-manusia yang cerdas emosi (hati, kepribadian) dan cerdas pikiran (otak), sebab memiliki cukup ilmu dan pengalaman dalam kehidupan nyata. Mendapatkan segala sesuatu di dunia melalui jalur yang maslahat karena lulus menjadi manusia sebagai makhluk individu, beragama, berbudaya, sosial, dan ekonomi. Profesional di bidang yang digelutinya, maka dipastikan, mereka adalah golongan manusia-manusia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Dalam kesempatan ini, sebab orang-orang yang merasa bisa atau sok tahu, banyak yang tetap tidak sadar akan siapa dirinya, saya kembali mengingatkan diri saya, agar menjadi orang yang melakukan sesuatu berdasarkan "bisa" karena "bisa". Bukan sekadar berdasarkan "merasa bisa" atau "sok tahu".

Pasalnya, kini semakin sering, kita menonton drama kehidupan di Indonesia, hanya dipenuhi sandiwara-sandiwara yang para aktor utamanya, sejatinya hanya beruntung mendapatkan kursi terhormat, namun secara kompetensi dipertanyakan profesionalismenya dalam bidang yang diembankan.

Terus terjadi berulang, mentradisi, dan para pelakunya dari golongan atau kelompok yang itu-itu saja. Sehingga, drama-drama yang pemerannya aktor karbitan, menjadi lazim dan membudaya. Diteladani oleh masyarakat sampai rakyat jelata.

 Sebab karbitan, para aktor kehidupan yang malah dibebani amanah, bekerja untuk rakyat, harus berjuang dan pura-pura "merasa bisa" atau akting "seolah bisa".

Model ini pun ditiru oleh masyarakat yang pada akhirnya ikutan sok tahu, merasa bisa dalam hal yang memang dirinya seharusnya kompeten dan profesional, bahkan banyak dilakukan oleh maayarakat yang bekerja, dibayar dengan gaji, uang dari rakyat. Tapi, hasilnya tidak sesuai standar. Tidak sesuai ekspetasi. Tidak mencapai target. Gaji pun tidak pernah dipotong akibat kinerja yang gagal.

Selesai dengan dirinya

Orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, akan selalu merasa bersyukur, sekali pun ada orang lain yang menzalimi, mengambil haknya, menyakiti, mengecewakan, meremehkan, dll.

Lalu, tetap menjalankan, melakukan, berbuat, segala sesuatu berdasarkan perencanaan yang matang, terprogram, terukur, memahami dan tahu kekuatan dan kelemahan dirinya. Berdasarkan hasil introspeksi, refelksi. Sudah melalui pengamatan dan praktik. Sudah merasakan, berhasil atau gagal. Terus belajar dari kesalahan dan menambah ilmu dan pengalaman, dll.

Mereka juga tidak harus pamer-pamer atau sampai unjuk gigi, yang pada akhirnya mempermalukan diri sendiri demi dianggap mampu atau bisa dalam suatu hal, padahal hanya sekadar merasa bisa, sok tahu.

Merasa bisa, sok tahu

Orang yang merasa bisa, sok tahu, ada yang memahami berlebihan dan menganggap sebagai orang yang merasa lebih superior di atas semua orang. Akibatnya, orang yang sok tahu, lebih sering tidak dapat menilai positif apa pun yang dihasilkan oleh orang lain, kecuali karyanya sendiri atau apa yang diperbuatnya, dilakukannya.

Berbeda dengan orang yang "bisa". Selain karena memang memiliki kompetensi, profesional, lulus sebagai manusia sebagai makhluk individu, beragama, berbudaya, sosial, ekonomi, dll. Serta selalu pandai bersyukur. Melakukan refleksi dan instrospeksi diri, maka akan selalu rendah hati.

Akan selalu berjiwa besar, merdeka dari segala prasangka negatif dan terus berupaya meraba, menyelami, merasakan, berempati, simpati, peduli, tahu diri dengan apa yang dirasakan oleh orang lain dan lebih mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya.

Orang yang memang "bisa" dan pandai bersyukur, tentu akan selalu melekat dalam dirinya kerendahan hati, (tawadhu) dan tidak angkuh. Ia akan menerima bila dinasehati temannya, sahabatnya, orang tuanya, bahkan orang lain.

Bersyukurlah bagi siapa saja yang memang "bisa" dalam suatu hal, bukan sekadar "merasa bisa". Karena akan terhindar menjadi manusia yang angkuh, pongah, congkak, bahkan membenarkan yang salah. Menyalahkan yang benar.

Yah. Manusia yang bisa, bukan manusia karbitan, yang sekadar merasa bisa, karena tuntutan peran dalam drama kehidupan yang menjeratnya.

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler