x

Aktivitas tambang di Papua tidak hanya menimbulkan masalah kerusakan lingkungan tetapi juga konflik yang berkepanjangan

Iklan

Lambang Wiji Imantoro

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:29 WIB

Emas Hitam Simbol Kemapanan yang Mengancam Perairan dan Pangan

Jika tambang membawa kesejahteraan pada rakyat, maka orang-orang yang hidup disekitarnya akan merasakan kebahagiaan dari keberadaannya, bukan malah melawan keberadaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sore itu saya menghadiri kegiatan halal bihalal keluarga besar Ibu saya. Suasana yang awalnya begitu harmonis tiba-tiba jadi riuh setelah kedatangan salah satu anggota keluarga yang kebetulan bekerja di salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia. Tujuan halal bihalal yang semula untuk mengeratkan persauadaraan, berubah jadi momen bincang tanpa arah yang intinya menyanjung keponakan saya yang bekerja di perusahaan tambang.

Dari pengalaman tersebut saya jadi semakin percaya bahwa bekerja di perusahaan tambang menjadi hal yang diidamkan oleh para ibu-ibu karena banyak yang beranggapan bahwa mereka yang bekerja di tambang pastilah berkehidupan mapan dan bergajih tinggi.

Namun apakah kemapanan itu tak berdampak buruk di kemudian hari?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Ancaman Krisis Pangan dan Air Bersih

Revolusi industri pada abad ke-18 menandai dimulainya era baru yang melahirkan banyak persoalan lingkungan maupun sosial. Persoalan lingkungan dimulai dari beralihnya penggunaan alat produksi bertenaga manusia menjadi alat produksi bertenaga mesin yang digerakkan oleh bahan bakar fosil. Walau alat-alat produksi mesin menghadirkan efisiensi namun turut menyisakan dampak buruk bagi lingkungan imbas dari gas buang karbondioksida, hingga ke dampak buruk dari aktivitas penambangan sumber bahan bakar fosil yang memicu terjadinya pemanasan global dan kerusakan lingkungan.

Bahan bakar fosil mendadak jadi primadona yang diperebutkan oleh para kapitalis industrialis. Mesin-mesin bergerak meninggalkan residu berupa asap pekat yang mengudara, tanah-tanah pertanian direnggut dari petani dan disulap jadi lahan tambang, hutan-hutan hijau yang dulu membentang luas nan memanjakan mata kini berubah menjadi lahan area tambang terbuka.

Dalam jurnal The Lancet Planetary Health menyatakan bahwa polusi udara akibat penggunaan bahan bakar fosil telah merenggut lebih dari 6,5 juta nyawa ditiap tahunnya. Lagi-lagi masyarakat di negara dunia ke-3 yang jadi korban terbanyak. Laporan Endcoal.org mencatat sejak 2006-2020 Indonesia memiliki 171 PLTU batu bara yang masih aktif beroperasi, dan menurut WHO polusi udara akibat emisi karbon yang menyebar ke udara telah menyebabkan 7 juta kematian terutama di negara dunia ketiga dan mirisnya 600.000 diantaranya adalah anak-anak-anak. Masalah tak berhenti di persoalan dampak kesehatan, lebih daripada itu ancaman krisis pangan dan air bersih kapan saja siap menimpa kita.

Banyaknya PLTU yang berdiri punya korelasi erat dengan masifnya aktifitas penambangan di Indonesia. Masifnya aktifitas industry ekstraktif ini seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Deforestasi hutan di Kalimantan jadi bukti betapa destruktifnya industry tambang. Setidaknya ada 5 raksasa industry tambang yang berdiri di tanah yang dulunya adalah paru-paru dunia itu.

Dilansir dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pulau Kalimantan terus mengalami penurunan persentase luas tutupan hutan, yang sepanjang 2015-2018 menyusut sekitar 2,5%. KLHK juga mencatat sepanjang 2015-2018 angka deforestasi netto di Kalimantan mencapai 744.367 hektare.

Tak hanya deforestasi, lahan tambang juga berdampak pada pencemaran air dan degradasi tanah yang akan berdampak pada menurunnya produktivitas lahan pertanian yang pada gilirannya akan berkontribusi terhadap krisis pangan. Tak hanya itu, aktivitas penambangan juga memerlukan ketersediaan lahan yang luas untuk keperluan pembangunan areal pabrik ataupun sebagai area tambang terbuka. Seringkali penggunaan lahan yang luas mengorbankan lahan pertanian yang produktif.

Melansir data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat pada 2021 luas panen padi yang ada di Kalimantan Timur (Kaltim) hanya sekitar 66,27 ribu hektare dan turun sebanyak 7,3 ribu hektare atau 9,92% dibandingkan 2020 yang sebesar 73,57 ribu hektare. Apa penyebabnya? Alih fungsi lahan pertanian oleh industry ekstraktif. Dinas Protektsi Tanaman Pangan dan Holikultura (PTPH) Kaltim mencatat pada 2016 lahan pangan yang ada di Kaltim seluas 56.500 hektare, menjadi 41.000 hektare pada 2019 dan kembali turun menjadi 39.000 hektare pada 2020. BPS juga mencatat produksi beras Kaltim pada 2022 hanya sekitar 135.300 ton, angka itu hanya memenuhi sekitas 40% kebutuhan pangan warga.

Masalah krisis pangan bukalah isapan jempol belaka. Dalam laporan yang dirilis oleh Food and Agriculture Organization (FAO) di tahun 2022 terdapat sekitar 193 juta orang di 53 negara terdampak krisis pangan, dan jumlah tersebut naik 40 juta orang dibandingkan data yang dirilis pada 2020. Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan krisis pangan adalah krisis lingkungan dan iklim dengan efek rumah kaca menjadi penyebab utamanya.

Bagaimana dengan Indonesia? Aktivitas impor kebutuhan pangan menjadi hal yang lumrah dalam 5 tahun terakhir. Ironi, mengingat Indonesia dikenal bahkan sejak era Pra-kolonial sebagai negara agraria dengan kekayaan sumber daya pangan yang melimpah. Swasembada pangan hanya tinggal dongeng yang diceritakan pada anak cucu kita, yang ada hanyalah tembok-tembok beton pabrik produksi, asap yang mengepul menyesakkan dada, dan hamparan tak berujung dari kolam-kolam air beracun hasil sisa-sisa tambang yang tidak direklamasi.

Kisah para petani di Makroman, Kecamatan Sambutan, Samarinda, Kalimantan Timur mungkin bisa jadi pengingat untuk kita betapa getirnya dampak yang ditimbulkan dari industry ekstraktif macam perusahaan tambang. Lahan tempat mereka menggantungkan penghidupan berkali-kali dihancurkan tambang. Dari lumpur tambang yang menggenangi sawah-sawah, sumber air yang hilang, ikan-ikan yang mati akibat tercemarnya kolam-kolam mereka, hingga kepersoalan semakin sedikitnya lahan yang bisa ditanami jadi keniscayaan yang selalu mereka rasakan. Dari yang dulu petani di Makroman bisa panen 7-8 ton beras, hanya jadi 3-4 ton beras pasca kehadiran industry tambang akibat semakin menurunnya produktivitas lahan pertanian mereka.

 

Picu Konflik Vertikal Berkepanjangan

Sejak era kolonialisme sampai era reformasi punya konflik sosialnya masing-masing. Masing-masing konflik dipantik oleh tindak tanduk industry ekstraktif yang melakukan eksploitasi bahkan mengarah pada prilaku kolonialisme. Rakyat lagi-lagi harus gigit jari melihat tanahnya tak dapat ditanami, hutan adatnya digunduli, hingga sungainya dicemari.

Persoalan yang dipicu oleh kelangkaan pangan dan air bersih akan bermuara pada semakin meruncingnya konflik vertikal dikarenakan air dan pangan merupakan komponen utama yang menunjang kehidupan. Konflik ini tak hanya terbatas pada konflik yang terjadi antara masyarakat melawan korporasi, namun lebih dari pada itu konflik ini turut menyeret pemerintah baik ditingkat daerah maupun pusat.

Mudahnya pemerintah daerah menerbitkan dokumen Izin usaha Pertambangan (IUP) disinyalir jadi pemicu konflik vertikal yang berkepanjangan sekaligus menyeret pemerintah ke dalam pusaran konflik yang tak berujung. Per-2022 Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sesuai dengan Perpres Nomor 55 tahun 2022, menerbitkan Surat Edaran Nomor 1.E/HK.03/MEM.B/2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Minerba kepada pemerintah daerah, sekaligus menganulir UU No 3 tahun 2020 (UU Minerba) yang mengatur pemberian izin seluruhnya berada dalam kendali Pemerintah Pusat.

Secara sederhana tujuan dari diterbitkannya Surat Edaran Nomor 1.E/HK.03/MEM.B/2022 adalah untuk memberi kemudahan bagi para pelaku industry tambang serta untuk menghindari maladministrasi. Lagi-lagi pemilik modal yang diuntungkan.

Perlawanan masyarakat terhadap tambang jadi bukti jika kehadirannya sama sekali tidak menghadirkan manfaat namun malah merugikan masyarakat. Ironisnya pemerintah terkesan gagap dalam merespon setiap konflik yang melibatkan masayarakat dengan korporasi tambang. Akibatnya rakyat tidak punya pilihan lain selain terus menggunakan demonstrasi sebagai alat untuk menyampaikan aspirasi. Di medan demonstrasi rakyat juga harus begesekan dengan aparat keamanan yang justru memperteruk keadaan dan memperpanjang konflik yang terjadi.

Dilansir dari Hukum Online, sepanjang 2020 terhitung ada 45 konflik yang disebabkan oleh eksploitasi industry ekstraktiif. Pemicu konfliknya beragam, yang paling banyak diakibatkan oleh dampak pencemaran lingkungan yaitu sebanyak 22 kasus, perampasan lahan 13 kasus, kriminalisasi warga penolak tambang 8 kasus, dan PHK 2 kasus.

Dengan dalih investasi dan pertumbuhan ekonomi pemerintah seolah sah-sah saja merampas lahan yang menjadi sumber mata pencaharian rakyat. Ada banyak petani yang tanahnya dirampas secara paksa oleh surat sakti bernama IUP ini. Mirisnya daripada berkonflik melawan korporasi dalam upaya menegekkan supremasi rakyat, pemerintah lebih memilih untuk membiarkan konflik antara rakyat dengan korporasi tambang terus lestari.

Jika tambang membawa kesejahteraan pada rakyat, maka orang-orang yang hidup disekitarnya akan merasakan kebahagiaan dari keberadaannya, bukan malah melawan keberadaannya.

 

Wanita Hanya Jadi Korban

Jika kisah petani di Makroman masih belum membuat kita sadar akan destruktifnya industry tambang, maka kisah pilu yang menimpa seorang ibu bernama Uun bisa jadi pengingat yang lebih menyedihkan. Suami dan 2 anaknya turut menjadi korban tewas dari pristiwa longsor yang terjadi di pertambangan emas di kawasan Sungai Seribu, Kelurahan Pangkut, Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Kisah pilu juga menimpa para korban tewas dari peristiwa longsor yang terjadi di lokasi pertambangan batu bara Muara Enim, Sumatera Selatan. Salah satu korban tewas bernama Joko Suprianto yang meninggalkan istri dan dua orang anak yang masih balita. Lebih mirisnya lagi setiap kali Joko mempertaruhkan nyawanya ketika bekerja di tambang ia hanya mendapat imbalan Rp1.000 setiap kali ia mengangkut batu bara sepanjang 3-5 Kilometer.

Masih banyak lagi jumlah korban jiwa yang nyawanya harus melayang sia-sia menjadi korban dari ganasnya pundi-pundi emas hitam. Seorang ibu seringkali kehilangan anak, seorang istri hanya mampu berdo’a setiap kali sang suami berangkat kerja untuk menambang. 2 kisah pilu diatas menjadi diorama realita bahwa lagi-lagi wanita selalu jadi korban yang paling dirugikan.

Para puan tak hanya dirugikan secara materill namun juga mereka sangat dirugikan secara psikis. Mereka selalu dalam posisi yang sulit ketika secara tanpa sengaja harus bersinggungan dengan tambang atau terseret kedalamnya. Ujung-ujungnya tak menutup kemungkinan jika mereka nantinya hanya akan berakhir ke jurang nestapa, menjadi janda atau menjadi ibu tanpa putra-putra.  

 

Mengurai Benang Kusut

Mengaitkan dampak tambang dengan krisis pangan dan air bersih mungkin terasa sepeti mengulur benang, namun mencari solusi terhadap permasalahan ini terasa seperti mengurai benang yang sangat kusut.  

Selama ini pendekatan yang dilakukan dalam penanganan dan penyelesaian konflik ini hanya terbatas pada pemberian kompensasi. Pendekatan ini terkesan tidak menyelesaikan konflik yang terjadi, apalagi penyelesaian melalui kompensasi sama sekali tak dapat mengurai persoalan krisis pangan dampak industri ekstraktif.

Ada alternatif pendekatan lain yang bisa dijadikan alternatif, yaitu pendekatan partisipatif yang dilakukan melalui pendekatan keterlibatan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, LSM, dan warga masyrakat sekitar hingga melibatkan korporasi tambang dengan mengedepankan asas transparansi dari setiap stakeholder yang berkaitan satu sama lain. Sayangnya fakta di lapangan menunjukan pemerintah lebih sering mendahulukan pendekatan kompensasi dari pada partisipatif.

Selain itu pemerintah dan industrial ekstraktif berkewajiban untuk merehabilitasi lahan pasca tambang serta melakukan reboisasi di bekas-bekas areal tambang yang dulunya ialah lahan hutan yang dialih fungsikan menjadi lahan tambang. Tak berhenti di reboisasi pemerintah dan industrial ekstraktif dapat melakukan pemurnian air di kolam-kolam bekas tambang agar dapat digunakan untuk dijadikan sumber pengairan bagi lahan pertanian.

Peran kaum intelektual juga tak bisa dikesampingkan. Sudah seyogyanya kaum intelektual baik mereka yang belajar ilmu pertanian, pangan, kesehatan, ekonomi, dan ilmu lainnya  berpihak pada kaum-kaum yang ditindas. Lidahnya harus dibiasakan untuk menyuarakan kepentingan kelompok yang terpinggirkan oleh kuasa ekonomi dan politik.

Jika para kaum intelektual sudah tidak perduli lagi dengan Nasib kaum yang tertindas, maka rakyat akan terus-terusan dijadikan sebagai objek dari kebijakan, dan jika hal yang demikian terus terjadi bukan tidak mungkin hamparan hijau penuh padi dan pepohonan yang kita lihat hari ini berubah menjadi areal tambang yang menyisakan kolam-kolam bekas galian yang diisi oleh air yang beracun sejauh mata memandang.

 

#LombaArtikelJATAMIndonesiana

Ikuti tulisan menarik Lambang Wiji Imantoro lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler