x

Pulau Padar Salah satu destinasi wisata andalan Labuan Bajo / Flores NTT

Iklan

Dunstan Obe

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 11:03 WIB

Pembangunan di Labuan Bajo: Kehendak untuk Memperbaiki?

Tulisan ini berusaha untuk membongkar narasi kehendak negara untuk memperbaiki kondisi kemiskinan akut masyarakat melalui pembangunan pariwisata super premium Labuan Bajo. Dengan menggunakan kerangka ekonomi politik, tulisan ini berargumen bahwa alih-alih mengeluarkan masyarakat dari labirin kemiskinan, pembangunan pariwisata justru memuluskan proses akumulasi kapital, dan serentak menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan. Pada titik ini, pariwisata sama buruknya dengan kejahatan tambang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penulis adalah seorang peneliti di Perkumpulan Teras Demokrasi Indonesia (TDI), Kupang-Nusa Tenggara Timur.

 

Pembangunan sering dipahami sebagai proyek untuk membuat hidup semua orang lebih baik. Proses-proses itu dalam bahasa Tania Li adalah kehendak untuk memperbaiki [1]. Di sini, negara mengeklaim diri sebagai aktor utama dalam kehendak untuk memperbaiki, sementara masyarakat menjadi bagian yang perlu dibantu atau disejahterakan. Tak heran, pembangunan dalam kosa kata negara adalah solusi bagi kemiskinan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun pelaksanaannya kontras dengan hal tersebut. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, pembangunan malah memperkaya golongan elite tertentu dan berujung pada ketidakadilan plus pengrusakan ekologis yang serius.

Dalam pengertian serupa, tulisan ini mencoba meneropong pembangunan di Labuan Bajo yang dalam narasi-narasi pemerintah disebut sebagai siasat untuk menyejahterakan masyarakat, akan tetapi dalam praktiknya diwarnai dengan proses-proses ekonomi-politik pembangunan yang eksploitatif, memperkaya golongan tertentu, dan kekerasan terhadap masyarakat sipil dalam berbagai bentuk.

Tanpa menutup mata terhadap kontribusi positif dari pembangunan, tulisan ini akan berfokus pada kontradiksi-kontradiksi yang timbul. Upaya tersebut dilakukan guna mendalami pembangunan yang selalu mengandung ambiguitas; dikehendaki sekaligus dikhawatirkan. Tulisan ini akan dibagi dalam empat tahapan: Pertama, memeriksa akar permasalahan sistem ekonomi kita yakni sistem ekonomi neoliberalisme, yang ditandai dengan relasi intim dua kekuatan besar yakni negara dan kapitalisme, sehingga dalam pelaksanaannya menciptakan distribusi kekayaan yang tidak merata. Kedua, melihat bagaimana distribusi kekayaan yang tidak adil itu dalam pembangunan di Labuan Bajo yang dibuktikan dengan makin parahnya kehidupan masyarakat di sana dan kerusakan ekologi yang timbul. Ketiga, mendalami akibat ekologis yang disebabkan oleh pembangunan dalam kaitannya dengan ekspansi kapitalisme yang selalu mencari ruang produksi. Keempat, menarik kesimpulan yang tepat dari pemaparan topik tulisan dan berupaya menciptakan kesadaran kritis bagi masyarakat dalam menghadapi pembangunan.

Apa Akar Permasalahannya?

Relasi intim antara kapitalisme dan negara menjadi sebuah ciri khas utama dari sistem ekonomi neoliberal. Walaupun berada pada ranah kerja yang berbeda, negara dan kapitalisme memiliki tujuan yang sama. Di satu sisi ia tampak seperti hanya distribusi kekuasaan, tetapi di sisi yang lain mengutamakan distribusi kekayaan. Di sini, negara dan kapitalisme menjadi patron-klien di mana satunya menyiapkan modal yang besar dan yang lainnya melancarkannya lewat regulasi. Jelasnya, relasi intim itu tidak terbatas pada regulasi saja, tetapi dalam situasi yang lebih kentara, bisa terlihat dalam praktik ijon politik. Negara—dalam hal ini para politisi yang sedang berkuasa—saling bertukar kepentingan. Politisi memberi ruang untuk investasi dalam bentuk perizinan, sementara para kapitalis menyokong para politisi dengan mendanai kampanye-kampanye politik dan kegiatan politik lainnya.

Namun, semua niat tersembunyi itu ditutup-tutupi oleh narasi penciptaan lapangan pekerjaan, pembangunan yang pro-rakyat, memberantas kemiskinan, dan meningkatkan kemakmuran. Konsekuensinya, pembangunan-pembangunan yang terjadi justru menempatkan aktivitas korporasi sebagai jawaban atas kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Hal itu disiasati dengan dalil bahwa masyarakat tak mampu mengembangkan sendiri kehidupan ekonominya.

Karena itu, yang hendak ditekankan adalah sistem ekonomi neoliberal atau kapitalisme pasar bebas selain tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan sosial dan keberlanjutan ekosistem, juga mengakibatkan kesenjangan sosial, marginalisasi orang miskin, kerusakan lingkungan yang membawa penderitaan, dan dominasi kelompok elite yang tidak memungkinkan distribusi kekayaan yang merata. Ringkasnya, dalam sistem ekonomi neoliberal, kepentingan pribadi dan kelompok tertentu telah meraja sedemikian rupa sehingga kepentingan publik sering diabaikan. Pada titik itu, the invisible hand yang dikemukakan Adam Smith sebagai penyeimbang justru hanya menjadi sebuah ilusi.

Masalah Pembangunan di Labuan Bajo

Ada pelbagai contoh kasus yang bisa dijadikan sebagai pintu masuk untuk menyorot masalah pembangunan di Labuan Bajo. Pertama, pengusiran masyarakat Komodo dengan alasan konservasi. Siasat ini dilakukan dengan rencana penutupan Pulau Komodo untuk turis dengan alasan penataan dan pemidahan penduduk dengan alasan konservasi. Ironinya, Pemerintah Pusat mengeluarkan izin usaha pariwisata alam di dalam kawasan konservasi yang membuka pintu korporasi untuk beroperasi di dalam Taman Nasional Komodo (TNK). Karena penolakan keras dari penduduk di sana, pemerintah merevisi taktik mereka dengan memutuskan pembatalan pemindahan penduduk dan mengantinya dengan “penataan bersama”.

Penataan bersama ini pun masih ambigu, tetapi yang jelas, pemerintah hendak menyerahkan TNK untuk dikelola oleh tangan swasta. Dengan dalil pengecekan sertifikat dan “mengganggu habitat komodo”, Pemerintah Pusat melalui Viktor Laiskodat (Gubernur NTT) melabelkan masyarakat di sekitar Pulau Komodo sebagai penduduk liar. Padahal, penduduk sudah tinggal di sana sebelum kawasan tersebut dijadikan sebagai Kawasan Strategis Nasional.

Kemudian, Viktor Laiskodat mengeluarkan kebijakan penaikan harga tiket masuk ke Taman Nasional Komodo. Penaikan harga tiket itu di satu sisi tidak ramah bagi masyarakat kecil, dan menjadikan masyarakat teralienasi dari tanahnya sendiri di sisi lain. Karena itu, utak-atik kebijakan sebenarnya hanya dimaksudkan untuk memberi jalan bagi investor, dengan mengatasnamakan konservasi demi kepentingan investasi. Terlebih, kebijakan kenaikan harga tiket itu dikelola oleh PT Sasando pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Faktanya PT tersebut dikelola oleh orang-orang dekat yang memiliki afiliasi ekonomi politik dengan gubernur NTT, Viktor Laiskodat.

Kedua, pemerintah pusat membagi dan memecah-mecah laut ke dalam sembilan zona. Beberapa diantaranya mencakup zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan wisata bahari, dan zona khusus permukiman. Zona laut itu bagian dari green grabbing. Ia membatasi ruang gerak dan mobilitas warga lokal dari akses atas laut.

Ketiga, Proyek Destinasi Tana Mori yang dikerjakan oleh PT Pengembangan Pariwisata Indonesia, PT Wijaya Karya, dan PT Yodya Karya, di bawah Kementrian PUPR memiliki luas 20 hektare (bagian dari pengembangan kawasan KEK seluas 338 hektare). Pembangunannya meliputi infrastruktur dasar dan utilitas, fasilitas MICE, dan Wellness Center. Kawasan destinasi ini sebenarnya dikerjakan untuk menyediakan fasilitas pertemuan dan akomodasi terintegrasi dalam mendukung peningkatan kunjungan wisatawan ke Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo. Untuk jalan raya dari Tana Mori sampai Labuan Bajo menghabiskan anggaran sebesar 481 miliar [2].

Lebih lanjut, proyek tersebut khususnya jalan raya dirampungkan Kementrian PUPR jelang ASEAN Summit yang telah diadakan pada awal Mei 2023. Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, dalam wawancara mengatakan bahwa proyek tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan aksesibiltas dan konektivitas jaringan infrastruktur jalan dan jembatan, guna memberikan kelancaran, keselamatan, dan kenyamanan para pengguna jalan. Basuki juga mengatakan bahwa akses jalan yang semakin baik akan menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat kawasan sekitar dengan bangkitnya sektor pariwisata [3].

Masalahnya, pembangunan itu berakibat buruk bagi masyarakat sekitar Tana Mori. Menurut laporan Project Multatuli, proyek jalan raya yang dijelaskan di atas menyebabkan jebolnya drainase sehingga sawah dari beberapa petani terendam dan mereka mengalami gagal panen. Tak hanya itu, masyarakat yang telah mengorbankan tanah dan rumah mereka untuk dijadikan jalan raya tidak mendapatkan ganti rugi yang setimpal. Ironinya, saat masyarakat menuntut hak mereka, mereka selalu mendapatkan tindakan pembiaran dan pembungkaman dengan mengandalkan aparat keamanan [4].

Dari contoh kasus di atas, apabila kita menggunakan pertanyaan ekonomi politik Henry Bernstein, maka akan pembangunan tersebut akan tampak bermasalah. Pertanyaan tersebut meliputi: siapa memiliki apa? Siapa melakukan apa? Siapa mendapatkan apa? Digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan? [5] Jika empat pertanyaan dijawab dengan serempak, maka akan muncul relasi produksi yang timpang, di mana negara dan pemodal menjadi penikmat dari sumber daya yang ada. Mereka yang memiliki modal dan merencanakan pembangunan; mereka yang melaksanakan pembangunan itu dengan rencana mereka sendiri; mereka yang meraup keuntungan dari pembangunan itu; dan hasil yang mereka dapatkan digunakan untuk memperkaya diri. Di sini, terlihat jelas bahwa masyarakat hanya dijadikan sebagai objek pembangunan yang dieksploitasi atas nama kesejahteraan.

Akibat Ekologis

Dalam proses kerjanya, pembangunan yang kemudian menjadi basis material dari modernitas menyebabkan akumulasi menjadi titik pusat dari pertumbuhan ekonomi, khususnya terkait kontrol atas sumber daya alam. Sedangkan masalah terbesar dari kapitalisme masa kini ialah semakin sempitnya ruang sehingga kapitalisme mencari garapan ruang baru melalui perampasan, yang dalam bahasa Harvey, akumulasi melalui perampasan [6].

Dalam pada itu, terdapat dua aspek kunci dalam memahami kapitalisme dalam relasinya lingkungan hidup: Pertama, kekuatan penggerak dan motivasi kapitalisme adalah pengejaran laba dan akumulasi tanpa akhir. Kedua, karena persaingan, banyak perusahaan terdorong untuk menambah penjualan dan melebarkan pangsa pasar [7]. Artinya pengerukan lingkungan yang besar diperparah dengan keuntungan yang diraup oleh kelompok tertentu dalam bentuk jaringan yang kuat.

Bahasan tersebut dalam konteks pembangunan di Labuan Bajo, Dale mengemukakan enam mekanisme penguasaan sumber daya alam yang diadopsi dari pemikiran Hall, Hirsch, & Tania Li, yakni peraturan (regulations), kekuasaan (force), pasar (market), legitimasi (legitimation), institusi (institution), dan siasat infrastruktur (infrastructural design) [8]. Dalam contoh pembangunan di Tana Mori yang disertai dengan ketidakadilan bagi masyarakat di sana, keenam mekanisme tersebut dijalankan secara bersamaan. Siasat infrastruktur nyatanya meninggalkan luka bagi masyarakat. Kemudian terkait regulasi, masyarakat tidak bisa banyak berharap karena dalam bagian ini aparat keamanan selalu membungkam suara-suara mereka. Prioritas pada market membuat proses jual beli tanah tidak transparan, dengan kata lain pemerintah dan pemodal mengambil keputusan sepihak kemudian tidak membayar hak masyrakat yang telah direbut.

Selain itu, data yang dibeberkan oleh Wachdog dalam video investigasi mereka menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar pembangunan di Labuan Bajo mengalami kesulitan mengakses air. Hal ini disebabkan karena kualitas air bersih diprioritaskan bagi hotel-hotel yang menjamu tamu-tamu dengan harga yang mahal. Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa pembangunan di sana nyatanya hanya mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat demi kekayaan golongan oligarki. Dan alam, dari hari ke hari makin rusak, perubahan iklim menjadi tidak menentu.

Kesimpulan

Mempertanyakan pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah patut dilakukan oleh setiap anggota masyarakat. Narasi-narasi untuk menyejahterakan masyarakat nyatanya hanya tipu muslihat untuk mengatasnamakan kepentingan golongan tertentu: pemerintah dan pemodal. Di sini, matriks-matris relasi penjajahan bentuk baru yang terartikulasi lewar praktik-praktik elite. Mereka makan kenyang sambil melihat masyarakat menderita plus tidak menghiraukan sumber daya alam yang makin rusak dari hari ke hari.

Karena itu, model pembangunan yang seharusnya adalah pembangunan yang melibatkan suara-suara masyarakat dan mengindahkan konteks lingkungan di mana pembangunan itu hendak dilakukan. Kalau tidak, pembangunan yang mulanya adalah kehendak untuk memperbaiki justru menjadi kehendak untuk merusak malah merebut dan merusak ruang hidup masyarakat.

Bibliografi

[1]Tania M. Lii (2007). The Will to Improve: Governmentality, Development, and The Practice of Politics. Durham, NC: Duke University Press.

[2] Berita pada portal online balibacerita.com berjudul: “Tana Mori Jadi Destinasi Baru yang Dikembangkan ITDC” diakses pada Rabu, 24 Mei 2023.https://balibercerita.com/tana-mori-jadi-destinasi-baru-yang-dikembangkan-itdc/

[3] Berita pada Laman Resmi Kementerian PUPR dengan judul: “Jelang ASEAN Summit 2023, Kementrian PUPR Rampungkan Jalan Labuan Bajo-Tana Mori”. Diakses pada Rabu, 24 Mei 2023.https://pu.go.id/berita/jelang-asean-summit-2023-kementerian-pupr-rampungkan-jalan-labuan-bajo-tanamori

[4] Berita pada portal online projectmultatuli.org dengan judul: “Mereka yang Suaranya Diabaikan dan Dibungkam di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit di Labuan Bajo”. Diakses pada Rabu, 24 Mei 2023. https://projectmultatuli.org/mereka-yang-suaranya-diabaikan-dan-dibungkam-di-tengah-gegap-gempita-asean-summit-di-labuan-bajo/

[5] Henry Bernstein (2010). Class Dynamics of Agrarian Change. Canada: Fernwood Publishing.

[6] David Harvey (2003). The New Imperialism. New York: Oxford University Press.

[7] Fred Magdoff dan John Bellamy Foster (2018). Lingkungan Hidup dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar. Tangeran Selatan: Marjin Kiri. 

[8] Derek Hall, Philip Hirsch, and Tania Murray Li (2011). Power of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore: NUS Press.

Ikuti tulisan menarik Dunstan Obe lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB