x

Kaum perempuan Pocoleok terlibat aktif dalam aksi tolak geothermal ketika Bupati Manggarai, Hery Nabit mengunjungi wilayah itu, Senin, 27 Februari 2023. (Foto: Dokumentasi Floresa)

Iklan

Anno Susabun

Divisi Riset dan Advokasi Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Minggu, 28 Mei 2023 15:24 WIB

“Tanah itu Ibu Kami”: Cara Perempuan Pocoleok, Flores Pertahankan Tanah dari Ancaman Proyek Geothermal

Perjuangan kaum perempuan Pocoleok yang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya dari ancaman proyek geothermal adalah tanda bahwa ambisi investasi energi bersih yang diklaim sebagai pilihan terbaik oleh pemerintah tidak akan berjalan mulus. Bara perlawanan akan terus memanas, hingga semua pihak sadar dan yakin bahwa tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan dan ruang hidup tidak dapat diobral segampang mengobral “menu di restoran”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sabtu pagi, 4 Maret 2023, di dapur sebuah rumah di Desa Lungar Kecamatan Satar Mese Kabupaten Manggarai, beberapa orang perempuan tengah asyik menonton video di layar ponsel milik Nono, anak dari Heribertus Jebatu, si pemilik rumah. Sambil menonton, mereka tersenyum, lalu tertawa, juga kadang serius dengan raut wajah antara sedih dan marah. Pada detik ke sekian video itu berputar, Elisabeth Lahus [56 tahun] mulai berkomentar, “kami tidak pernah takut berjuang untuk masa depan anak dan cucu-cece kami.”

Para perempuan itu menonton rekaman aksi mereka sendiri ketika menghadang Bupati Manggarai, Heribertus Nabit, yang hendak berkunjung dan mengadakan ‘pendekatan alias sosialisasi geothermal’ di kampung itu pada 27 Februari 2023.

Lungar adalah satu dari 14 kampung adat di Pocoleok, wilayah yang saat ini sedang dipersiapkan pemerintah pusat untuk pengembangan geothermal PLTP Ulumbu Unit 5-6. Situasi kampung itu, dan kampung-kampung lainnya dalam tiga desa di Pocoleok memang ‘agak lain’, demikian pengakuan warga, apalagi pasca beredarnya SK Nomor HK/417/2022 pada 1 Desember 2022, yang berisi penetapan lokasi geothermal Pocoleok oleh Bupati Manggarai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Korida Jehanut [50 tahun], istri Herbertus yang bersama Elisabeth pagi itu memang tidak mengingat persis sudah berapa kali mereka melakukan aksi penghadangan terhadap aktivitas pemerintah dan perusahaan di wilayah itu. Namun ia mengaku, “Baru kali ini banyak kaum perempuan dan ibu-ibu terlibat dalam aksi seperti ini”, menyebut aksi 27 Februari.

Aksi 27 Februari adalah kali ke-7 warga menghadang pemerintah dan perusahaan. Pertama kali, warga Kampung Lungar, Tere, Golo Rua, dan Rebak menghadang dua mobil milik PT PLN, BUMN yang mengerjakan geothermal Ulumbu dan Pocoleok, di simpang Lungar pada 8 Februari 2023. “Mereka bilang datang untuk naikkan daya listrik di rumah warga,” ungkap seorang ibu.

Sejak itu, petugas PLN dan Pemda Manggarai rutin turun ke Pocoleok, meski selalu menghadapi protes dan penghadangan oleh warga, termasuk kaum perempuan.

Tercatat enam kali aktivitas PLN dan Pemda sebelum aksi 27 Februari, yaitu tanggal 14, 15, 17, dan 20 Februari. Berbagai aktivitas dilakukan, khususnya dalam rangka pengukuran lahan untuk jalan yang akan dilalui kendaraan proyek. “Tanggal 14, mereka ukur jalan malam-malam.”

Hal lainnya yang membuat situasi ‘agak lain’ adalah kedatangan tim PLN dan Pemda yang didampingi aparat keamanan, Polisi dan TNI, yang semakin hari personilnya semakin bertambah banyak.

Strategi Penghancuran

Koran Tempo, 20 Mei 2023 melaporkan, Menkomarves Luhut B. Panjaitan 'kesal' karena pendanaan program Just Energy Transition Partnership [JETP], komitmen negara-negara dalam acara G-20 di Bali tahun lalu, tidak kunjung pasti.

Di tengah ketidakpastian pendanaan dari JETP dan pemerintah sibuk memikirkan pendanaan lain dari dalam dan luar negeri, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM Gigih Udi Atmo, yang menyusun rencana investasi komprehensif [CIP] mengatakan "para donor tinggal memilih dari dokumen tersebut layaknya memilih menu di restoran."

Pernyataan seperti ini memang lumrah di negara kita, di mana supremasi bisnis investasi mengendalikan otak pejabat, lalu hal-hal yang disebut sebagai 'potensi pertumbuhan ekonomi' pun diobral bagai barang jajanan.

Proyek geothermal Pocoleok, sudah pasti adalah satu dari sekian menu yang sedang diobral oleh pemerintah kepada korporasi dan negara-negara lain. Bank pembangunan dari Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) dikabarkan telah menyatakan kesiapan mendanai proyek tersebut.

Dengan target kapasitas listrik 2 x 20 MW, meningkat dari 7,5 MW di PLTP Ulumbu saat ini, PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] mula-mula melakukan survey di 60 titik di kampung-kampung Pocoleok, yang terdiri atas tiga desa; Lungar, Mocok, dan Golo Muntas.

Penelusuran kami di lapangan pada 2 – 7 Maret 2023, wellpad D berada di tanah ulayat atau Lingko Tanggong milik warga Gendang Lungar, wellpad F di Lingko Rembong milik warga Gendang Ncamar, dan wellpad G di Lingko Lapang milik Gendang Mocok. Sementara wellpad E yang diduga berada di Lingko Pinis milik Gendang Lelak belum berhasil kami telusuri hingga kunjungan terakhir pada 28 April 2023.

Dalam catatan sejarah, aktivitas survey lapangan terhadap potensi panas bumi Pocoleok oleh ahli geologi sudah dilakukan sejak era 1980-an [Teredi, Sukarno, dan Jaya, 2022].

Survey tersebut berhubungan dengan pembangunan PLTP Ulumbu, yang kemudian dikelola PT PLN, dengan anak perusahaannya PT Indonesia Power dan PT Cogindo Daya Bersama. Diresmikan pada 11 November 2011, pembangkit listrik yang diklaim memenuhi kebutuhan listrik di tiga kabupaten [Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur] mulai beroperasi pada Januari 2012.

Pada tahun 2017, tahun yang sama ketika Menteri ESDM Ignasius Jonan menandatangani penetapan Flores sebagai Geothermal Island, sosialisasi geothermal Pocoleok, perluasan PLTP Ulumbu, diadakan pertama kali di Kampung Mesir, Desa Lungar. Warga bilang, materi sosialisasi kala itu “semuanya serba baik, tidak ada hal buruk” yang disampaikan.

Sejak itu, petugas perusahaan semakin leluasa melakukan survei di lahan-lahan milik warga, sebab warga mengaku "merasa tidak ada masalah." Apalagi, wacana yang dibawa oleh perusahaan selalu berkaitan dengan kemajuan, lapangan kerja, kesejahteraan, dan perluasan jaringan listrik. Warga mengaku merasa 'terberkati', sebab sejak PLTP Ulumbu diresmikan tahun 2011, beberapa kampung di Pocoleok belum teraliri listrik, bahkan hingga hari ini.

Kedatangan tim survei perusahaan pada 2019 hingga 2020, menurut pengakuan Tadeus Sukardin, juga tidak mendapat respons resisten dari warga.

Situasi mulai berubah ketika pada tahun 2021, informasi tentang pengeboran panas bumi di berbagai tempat di Indonesia dan luar negeri tersebar luas di kalangan warga Pocoleok. "Kami membaca berita di media, menonton di televisi dan banyak platform video," ungkap Agustinus Egot, warga Kampung Mesir.

Pada paruh kedua tahun 2021, tim survei PLN yang masuk ke lahan ulayat Lingko Lapang milik warga adat Mocok dihadang, peralatan mereka disita dan dibawa ke rumah adat. Alasannya jelas, "Mereka masuk bagai pencuri ke lahan adat kami," ungkap Petrus Jehaput, Tua Adat Gendang Mocok.

Setelah kejadian itu, sosialisasi makin gencar dilakukan oleh pihak PT PLN, Pemda Kabupaten Manggarai, juga aparat Polisi dan TNI yang mengkawal mereka. Acara adat Tabe Gendang juga diinisiasi oleh PT PLN, bertujuan untuk meminta maaf atas kelakuan mereka yang beraktivitas tanpa izin di lahan warga. Sebagian besar warga tidak menerima inisiatif itu.

Hingga akhir tahun 2022, beberapa kali sosialisasi diadakan di Pocoleok dan Ruteng, pusat Kabupaten Manggarai. Hal yang sama dari semua proses itu adalah, "Undangan hanya ditujukan kepada sebagian kecil warga, juga tokoh-tokoh penting yang mendukung dan mungkin mendapat keuntungan dari kegiatan ini," ungkap warga.

Sosialisasi tidak mempan mempengaruhi warga yang menolak ruang hidupnya dirusak, hari ini PLN dan Pemda gemar melakukan pendekatan secara pribadi kepada pemilik lahan, yang menurut warga dilakukan, "Sembunyi-sembunyi seperti pencuri."

"Tanah itu Ibu Kami": Perempuan Pocoleok Melawan

Hal yang dikatakan Korida Jehanut, "aru kali ini banyak kaum perempuan dan ibu-ibu terlibat dalam aksi seperti ini”, memang beralasan sebab proses sosialisasi dan semua aktivitas lainnya dalam perluasan PLTP Ulumbu di Pocoleok selalu mengabaikan suara kelompok perempuan.

Maria Suryanti Jun, perempuan asal Kampung Mocok mengonfirmasi hal tersebut, bahwa kaum perempuan seringkali "tidak tahu cara menolak geothermal karena tidak mendapat tempat dalam forum-forum resmi", yang semuanya dihadiri atau didominasi oleh kaum laki-laki.

Keresahan dan kegelisahan bersama yang semakin memuncak kemudian membuat kaum perempuan di kampung-kampung Pocoleok mulai bermunculan.

Di Kampung Lungar dan Tere, beberapa kali aksi penghadangan terhadap petugas perusahaan dan Pemda turut diikuti oleh beberapa ibu-ibu, hingga aksi penghadangan Bupati Hery Nabit pada 27 Februari, sebagian besar kaum ibu dan remaja perempuan ikut berada di garis depan.

Kemunculan kelompok perempuan dalam forum dan aksi-aksi juga lalu tampak di kampung-kampung lain: Jong, Mesir, Cako, Nderu, Ncamar, Mori, Mocok, dan Mucu.

Beberapa pertemuan kami dengan kelompok perempuan ini menemukan bahwa alasan paling mendasar dari penolakan mereka berhubungan dengan kosmologi orang Manggarai, yaitu kedaulatan atas tanah sebagai "ibu" dan langit sebagai "ayah" bagi kehidupan manusia.

Pertama, sebagaimana orang Manggarai, Flores memiliki pandangan kosmik tentang interrelasi langit dan bumi sebagai ema atau ayah dan ende atau ibu, kaum perempuan Pocoleok yakin benar bahwa ekstraksi industri panas bumi akan membuat hancur ‘ibu bumi’. Dengan demikian, keyakinan kosmik akan hubungan langit-bumi tidak lagi akan menjadi pegangan hidup bersama masyarakat adat.

Mengenai kosmologi ini, orang Manggarai mengenal beberapa ungkapan penting, misalnya langkok laing tana, tendeng laing awang, yang menunjukkan bumi atau tanah sebagai tumpuan dan langit sebagai atap perlindungan. Selain itu ada juga istilah tana wa’n, awang eta’n, atau tanah di bawah [tumpuan] dan langit di atas [tutupan].

Elisabeth Lahus menyatakan tana hitu ende dami: tanah adalah ibu kami. Menurutnya, sebagaimana hubungan perkawinan suami-istri atau ayah-ibu yang tak terpisahkan, begitupun langit dan bumi yang integral, dan akan cacat bahkan hancur jika manusia berusaha memisahkannya.

Pernyataan lainnya dari Yustina Nunjung, ibu asal Kampung Mocok, adalah, “jika tanah itu terluka, hati kami kaum ibu juga terluka.” Yustina ingin menegaskan bahwa dirinya dan kaum ibu lain di Pocoleok mengidentifikasi dirinya sebagai bumi, atas dasar kesamaan peran sebagai tumpuan hidup keluarga; dari urusan dapur hingga ladang untuk pangan.

Kedua, hal yang mendasari pandangan kosmik orang Manggarai, termasuk kaum perempuan Pocoleok ini adalah fungsi tanah atau bumi sebagai pemberi hasil pangan bagi kehidupan keluarga.

Ibu-ibu Pocoleok meyakini bahwa tanah yang hancur akibat ekstraksi panas bumi tidak lagi akan menghidupi mereka yang selama ini dijamin oleh hasil ladang untuk pangan dan hasil bumi lainnya. Selama ini mereka menanam kopi, cengkeh, ubi, jagung, pisang, aren [tuak], dan lain-lain.

“Untuk apa lagi mengganggu tanah kalau hasilnya adalah kehilangan hidup?” ungkap Maria Teme, ibu asal Kampung Lungar.

Ketiga, kedaulatan atas tanah sebagai pemberi hidup, bagi orang Manggarai, tidak terpisah dari konsep yang lebih besar tentang ruang hidup. Ruang hidup dalam hal ini mencakup enam poin; Gendang’n one [rumah Gendang atau rumah adat], Lingko’n peang [kebun ulayat], Natas bate labar [halaman kampung sebagai tempat bermain], Compang [altar sesajian di tengah kampung], Wae bate teku [mata air sumber hidup], dan Boa [kuburan leluhur].

Kesatuan ruang hidup ini menjadi dasar perlawanan perempuan Pocoleok. Alasannya jelas, jika salah satu dari poin-poin tersebut hilang, maka suatu budaya atau kampung tidak lagi memiliki arti penting.

Gendang sebagai simbol kampung tidak lagi memiliki arti ketika Lingko sudah tidak lagi digarap oleh komunitas adat dari kampung itu. Natas labar juga tidak punya arti ketika ruang publik tersebut hanya menjadi tempat fisik tanpa diberi arti oleh adanya compang sebagai altar sesajian, tanpa wae teku sebagai sumber hidup, dan boa sebagai situs kuburan leluhur.

Maria Suryanti Jun, mengaku cemas jika proyek geothermal menghancurkan beberapa mata air di sekitar kampungnya, misalnya Wae Nobak, Wae Lapang [sekitar 100 m dari titik wellpad G], Wae Sower, Wae Kilo Manuk, Wae Lanteng, dan Wae Ruka.

Begitu juga Wihelmina Sesam, asal Lungar, yang mengatakan titik wellpad F terletak sangat dekat dengan kuburan leluhurnya di Bangka Mesir. Bangka adalah istilah untuk bekas kampung.

“Sebagai orang Manggarai, kita tentu tahu bahwa kubur leluhur tidak dapat begitu saja kita buang demi mendapatkan uang,” ungkapnya.

Titik-titik pengeboran [wellpad] yang direncanakan perusahaan memang berada sangat dekat dengan poin-poin ruang hidup warga Pocoleok; wellpad D ada di Lingko Tanggong dengan lebih dari 3 mata air, wellpad E di Lingko Pinis yang juga tempat mata air Wae Pinis yang mengairkan kehidupan, termasuk untuk warga di pantai selatan, luar Pocoleok, wellpad F di Lingko Rembong, 50 meter dari kuburan leluhur dan 100 meter dari Kampung Ncamar, dan wellpad G di Lingko Lapang dengan lebih dari 3 mata air.

Pelajaran Penting

Sementara pemerintah gencar mengobral ruang hidup warga Pocoleok sebagai “menu di restoran”, gejolak perlawanan warga semakin meningkat. Kaum perempuan, yang aktif berperan dalam forum dan aksi-aksi sebetulnya sedang memberi kita pelajaran penting berikut.

Pertama, di tengah derasnya arus patriarki, yang menjadi ciri khas masyarakat Manggarai, kaum perempuan ini tampil di garda terdepan untuk mempertahankan tanahnya. Secara kultural, kaum perempuan Manggarai tidak dilibatkan dalam urusan-urusan publik, termasuk dalam membicarakan kedaulatan atas tanah, hak ulayat, Gendang, dan lain sebagainya.

Sebagai orang Manggarai, kita tentu akan merasa ada loncatan yang cukup aneh ketika kaum perempuan yang biasanya hanya terlibat dalam urusan domestik [keluarga] akhirnya tampil mempertahankan tanahnya. Meski pewarisan aset budaya [tanah] mengikuti alur patrilinear [diwariskan kepada anak laki-laki], kaum perempuan Pocoloek berusaha keluar untuk membicarakan aset tersebut sebagai ruang hidup. Sebab ancaman terhadap ruang hidup, pangan, dan keberlangsungan anak cucu tidak hanya akan berdampak pada kaum laki-laki. “Ini bukan tentang hak pewarisan, tetapi tentang kehidupan kami dan anak cucu kami nanti,” ungkap Maria Teme.

Kedua, perjuangan perempuan Pocoleok yang ‘hidup mati demi ruang hidup’ sebetulnya timbul dari keresahan bersama atas situasi yang kian genting, sebab pemerintah daerah hingga pusat tidak hadir sebagai pendengar suara publik tetapi malah menjadi corong perusahaan. Kepentingan bisnis investasi, hal yang menyerang Flores dan Indonesia Timur belakangan ini, menutup telinga pemerintah terhadap berbagai teriakan warga yang terdampak proyek geothermal. Tugas pemerintah adalah mendengarkan suara warga, dan untuk warga yang terancam itulah alasan mengapa pemerintahan atau negara diadakan.

Perjuangan kaum perempuan Pocoleok yang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya dari ancaman proyek geothermal adalah tanda bahwa ambisi investasi energi bersih yang diklaim sebagai pilihan terbaik oleh pemerintah tidak akan berjalan mulus. Bara perlawanan akan terus memanas, hingga semua pihak sadar dan yakin bahwa tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan dan ruang hidup tidak dapat diobral segampang mengobral “menu di restoran”.

 

Anno Susabun, Divisi Riset dan Advokasi Sunspirit for Justice and Peace, Labuan Bajo Hp/WA: 081236936211

 

Ikuti tulisan menarik Anno Susabun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler