x

Bali

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Rabu, 26 Juli 2023 17:27 WIB

Angka, Jawa dan Manusia

Petahuan ini layak untuk memahami perilaku orang Indonesia, dan orang Jawapada khususnya. Secara filosofi angka-angka tersebut adalah penanda kecenderungan perilaku manusia di tiap tahapan usia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Jawa, hitungan tidak hanya sekadar hitungan. Angka tidak semata-mata angka. Contohnya deret hitung bilangan Jawa yang sebenarnya menyimpan filosofi umur manusia. Normalnya, deret hitung harus taat asas. Penyebutannya harus setia dengan kaidah-kaidah. Misalnya dalam bahasa Indonesia, sebutan angka setelah dua puluh adalah dua puluh satu. Berbeda dengan bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa angka setelah rongpuluh (dua puluh) bukan rongpuluh siji (yang secara harfiah berarti dua puluh satu), melainkan selikur.

Setidaknya ada 5 satuan angka dalam bahasa Jawa yang tidak mematuhi kaidah-kaidah urutan bilangan: welasan (11-19, sewelas dst: seharusnya sepuluh siji, sepuluh loro sampai sepuluh sanga), likuran (21-29, selikur dst: seharusnya rongpuluh siji, rongpuluh loro sampai rongpuluh sanga), selawe (25: seharusnya rongpuluh lima), seket (50: harusnya limangpuluh, karena 10, 20, 30, 50 secara berurutan disebut sepuluh, rongpuluh, telungpuluh, patangpuluh), widakan (60-69, sewidak: harusnya nempuluh sampai nempuluh sanga).

Saya mengingat filosofi bilangan Jawa ini ketika sedang membaca mengenai Catur Ashram dalam agama Hindu, konsep empat tahap pendidikan manusia berdasarkan usianya. Dan saya bukannya paham betul perkara ini tetapi sekadar diwuruki, diberitahu oleh teman-teman penulis yang lebih dahulu mengulasnya. Saya rasa pengetahuan ini nice to know untuk memahami perilaku orang Indonesia pada umumnya, dan orang Jawa sendiri pada khususnya. Karena secara filosofi, angka-angka tersebut adalah penanda kecinderungan perilaku manusia di tiap tahapan usia. 

Pertama, welasan atau belasan yang berasal dari kata welas. Artinya di usia ini, manusia mulai mengenal akan rasa welas asih, kasih sayang kepada sesama manusia juga alam sekitarnya. Fase ini juga disebut akil baligh. Masa ketika akil (akal) manusia sudah baligh (sampai) atau mampu mengetahui, memahami, dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 

Kedua, likuran yang artinya linggih kursi. Yaitu usia manusia saat linggih kursi, duduk di kursi atau jabatan tertentu. Lazimnya manusia di usia ini sudah mendapatkan "tempat duduknya", mempunyai profesi atau pekerjaan dengan jabatan tertentu untuk menunjang hidupnya. Seseorang di fase ini seharusnya sudah tidak lagi pusing mencari pekerjaan dan bingung menentukan mana yang menurutnya cocok. Dapat dikatakan, dalam hal ekonomi manusia di umur ini seharusnya sudah mapan.

Ketiga, selawe, dua puluh lima. Kepanjangannya adalah senenge lanang lan wedok, saling jatuh cintanya laki-laki dan perempuan. Usia ini adalah puncaknya asmara antara laki-laki dan perempuan. Setelah memiliki welas, rasa sayang dan likur, pekerjaan, manusia di umur ini biasanya berkomitmen untuk memasuki jenjang pernikahan. Usia selawe, atau dua puluh lima merupakan usia ideal untuk berumah tangga.

Keempat, seket, dapat diartikan seneng gawe uket. Senang memakai penutup kepala. Setelah Islam masuk ke Nusantara, sering diterjemahkan sebagai seneng ketunan, suka memakai peci atau kopiah. Di umur seket atau lima puluh, seharusnya manusia mulai lebih memperhatikan urusan spiritualnya. Dia akan lebih banyak menghabiskan waktu mendalami agama, memperbanyak ibadah, dan sedikit demi sedikit meninggalkan urusan yang bersifat duniawi.

Kelima, sewidak, yang merupakan singkatan dari sejatine wis wayah tindak, sejatinya sudah saatnya pergi. Di umur enam puluhan, sejatinya manusia sudah saatnya pergi meninggalkan dunia ini menuju selanjutnya. Sebuah alam yang lebih abadi. Bersiap-siap meninggalkan segala kepalsuan dunia untuk bertemu Tuhan, sang pemilik jagat raya.

Dalam Catur Ashram, yang membagi pendidikan manusia menjadi empat tahap sesuai usianya, bukan merupakan suatu hal yang salahbahkan diutamakanjika manusia di tahap pertama sudah memiliki jiwa layaknya manusia di tahap keempat. Seorang Brahmacari, manusia yang fokus menimba ilmu dari lahir sampai umur 25 tahun, tidak akan dipersalahkan oleh otoritas agama Hindu mana pun jika mempunyai jiwa seorang Wana Phrasta, manusia di umur 50 tahunan yang mengasingkan diri dari riuh-rendah kehidupan dunia. Bukan hal yang salah juga jika di umur yang masih muda itu, manusia sudah memiliki jiwa seorang Bhiksuku, manusia yang berumur di atas 70 tahun yang mengabdikan hidupnya hanya pada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.

Masalahnya, di Indonesia ini yang terjadi adalah kebalikannya. Begitu banyak kita saksikan orang-orang yang telah berumur lanjut, jiwanya masih seperti likuran. Masih sangat suka linggih kursi, duduk di kursi dengan bermacam-macam jabatan. Bahkan ada yang menduduki 30 kursi sekaligus. Untuk mendapatkannya mereka melakukan segala cara. Sikut kanan-kiri, jilat sana-sini. Kita lihat betapa berlimpah manusia Indonesia yang berumur di atas 50 tahun tetapi orientasinya tidak beranjak dari selawe, senenge lanang lan wedok. Bagaikan Rahwana, berumur 56 juta tahun tetapi isi otaknya hanya perempuan. Alangkah jamak kita temui pejabat di negeri ini yang perilakunya seperti umur welasan. Tiap hari kerjaannya bertikai seperti anak-anak yang rebutan mainan.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler