x

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Kamis, 10 Agustus 2023 16:43 WIB

Skandal

Sebutir peluru menembus keningnya!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Enam bulan silam, Penelope tampil dalam pesta kebun di malam kampanye seorang calon wali kota. Kesempurnaan ragawinya sungguh memesona --dalam balutan gaun malam merah menyala, tubuhnya bagai boneka pualam—serta suara merdunya ketika melantunkan lagu-lagu nostalgia mampu meluluhkan hati siapapun yang memandangnya. Dan, malam itu seorang lelaki berkepala botak mempersembahkan setangkai mawar merah untuknya. 

Tak ada yang istimewa dari persembahan mawar itu. Penelope terlalu sering menerima bunga dari lelaki pengagumnya. Tetapi, selalu ada awal untuk sebuah skandal.

Pertemuan itu berlanjut. Diam-diam. Tersembunyi. Tiap kali bertemu, Penelope selalu setia mendengarkan lelaki botak itu bercerita tentang isterinya yang cerewet, gemuk, dan membosankan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Semua lelaki yang mendekatinya selalu menggunakan alasan yang sama, sehingga telinganya telah kebal dengan segala keluh. Namun, sebagai petualang sejati, Penelope segera tangkas memasang jerat. Ia telah lihai menghadapi lelaki yang mabuk kebayang padanya, melalui tatapan matanya yang lembut, dan senyumnya yang memikat. 

Mula-mula, lelaki botak itu hanya sesekali berkunjung ke apartemen Penelope. Pada akhirnya, walau hanya sejenak, lelaki itu mengunjunginya setiap hari, sekadar melepas hasrat. Hari-hari selalu bergetar di kamar apartemen perempuan berkaki belalang itu.

Pada hari yang direncanakan, Penelope berkunjung ke dokter kandungan. Mereka berbincang santai, namun kemudian wajah mereka tampak serius. Berkali-kali sang dokter menggeleng dan menghela napas.

“Mengapa tidak kita bicarakan dengan ...siapa nama lelaki itu?” tanya sang dokter.

“Dia percaya padaku, kukira itu sudah cukup,” Penelope menukas.

Sang dokter menandatangani berkas hasil pemeriksaan kandungan, memasukkannya ke amplop putih, lalu menyerahkannya pada Penelope.

“Semoga semua berkahir sempurna, seperti yang kau katakan,” kata sang dokter.

“Thanks. Kamu memang sahabatku yang paling baik, Dokter Steve,” tersenyum lebar, Penelope menerima berkas itu. Sebelum keluar dari ruangan, Penelepoe menghadiahi sang dokter dengan ciuman. Noda lipstik berbentuk bibir membekas di pipi kanan sang dokter.

Kemudian Penelope menelepon Antonio, lelaki botak itu, untuk datang ke apartemennya. Perempuan berhidung runcing itu mengadu dan meminta Antonio menuju sebuah kehidupan yang damai, walau ia harus berbagi kedamaian itu dengan perempuan lain.

“Gila! Itu tidak mungkin!” Antonio meradang.

“Apa bedanya menikah rahasia dengan apa yang kita lakukan selama ini?”

“Gugurkan saja!”

“Itu lebih gila!” Penelope meradang pula. 

“Tidakkah kau berpikir, aborsi akan menyelamatkan hidup kita?” desak Antonio.

“Kau boleh mencaciku sesuka kau, tapi jangan kau suruh aku membunuh janin dalam kandunganku,” Penelope bertahan.

“Kau lembek seperti pengecut!”

“Kau -lelaki botak dan payah di ranjang- yang mengajariku menjadi pengecut!”

Tak ada kesepakatan. Mereka saling mengancam. Penelope, pada batas waktu tertentu akan berkicau di media. Dan, Antonio telah pula menyiapkan ancaman.
***
Antonio, lelaki pengusaha dan anggota Dewan Kota berusia 55 tahun itu, telah menyewa seorang pembunuh bayaran. Si pembunuh bayaran itu seorang lelaki berkepala plontos dan bermata tajam seperti harimau.

Antonio gembira telah menemukan orang yang tepat. Setidaknya ia yakin mata harimau si plontos itu akan menciutkan nyali korbannya.

Si Plontos menolak menyebutkan nama, meskipun Antonio berdalih bagaimana harus mentransfer bayaran kepada orang tak bernama?

“Aku hanya terima cash,” kata si Plontos.

Permintaan yang aneh di zaman yang serba pencet tombol ini, tetapi Antonio menghormatinya.

“Baiklah, kau yang berkuasa. Berapa tarifmu?”

Si Plontos menyebutkan nominal dan ketika Antonio meminta menurunkan nominal, si Plontos menggunakan tatapan mata harimaunya sebagai senjata. Ciut nyali Antonio.

“Baiklah. Berapapun kau minta, kau harus melakukannya dengan rapi. Tanpa jejak,” kata Antonio menyerah.

“Percayalah padaku!” kata si Plontos yang sepanjang percakapan itu tak pernah tersenyum.

“Ya, aku percaya.”

Antonio membuka koper, memungut beberapa tumpuk uang, lalu memasukkannya ke kantong kertas coklat. 

“Ini uang muka. Sisanya setelah tugasmu selesai.”

Antonio menunjukkan foto perempuan berhidung runcing, bermata lentik, bibir tipis merah merekah.

“Kau bawa foto ini,” kata Antonio.

“Tak perlu. Dengan sekali tatap, wajah target telah melekat di kepalaku,” kata si Plontos.

“Kau tak ingin bertanya, mengapa kau harus melenyapkan perempuan ini?”

“Tak perlu. Aku hanya perlu tahu wajah dan alamat calon target. Tidak lebih.”

“Tapi setidaknya maukah kau meluangkan waktu untuk mendengarkan ceritaku?”

Si Plontos melirik arlojinya.

“Kau punya waktu lima menit,” katanya.

“Sepuluh menit,” Antonio menawar.

“Cepatlah, kau menghabiskan waktuku!”
***
Ini hari yang telah direncanakan itu. Begini rencana si Plontos --seperti yang ia paparkan pada Antonio-- ia akan mengunjungi apartemen Penelope. Ia akan mengetuk pintu. Ketika pintu terbuka, ia akan melepaskan sebuah tembakan yang akurat --dengan peredam suara, tentu saja-- di kening Penelope.

Ia hanya perlu sebutir peluru untuk melenyapkan Penelope. Hanya sebutir, tak lebih.

Pada Antonio, si Plontos menjamin tugasnya akan berhasil dengan gemilang. Usai tugas, ia akan menemui Antonio di tempat yang telah ditentukan, untuk menerima sisa pembayarannya.

Sekarang si Plontos telah berada di depan pintu kamar Nomor 212. Ia mengetuk pintu. Pintu masih tertutup rapat untuk beberapa saat. Si Plontos tahu ada seseorang di balik pintu itu sedang mengintip dari lubang pengintaian.

Ia berdiri tenang, sekira dua langkah dari pintu. Menatap lubang pengintaian itu dan ia begitu yakin rencannya akan berhasil dengan gemilang. Di balik jaket hitamnya terselip sepucuk pistol.

Pintu terbuka. Seorang perempuan berhidung runcing, mata lentik, bibir tipis merah merekah, tertegun.

“Kau?” gumam perempuan itu.
***
Di ruang tunggu sebuah bandara, seorang perempuan dengan kesempurnaan ragawi duduk di samping seorang lelaki muda berkepala plontos. Si perempuan memakan es krim berbentuk kerucut. Si lelaki membaca koran pagi. Mereka bercakap-cakap tanpa bertatapan dan sesekali si perempuan tertawa dan menyodorkan es krim pada si lelaki.

Si perempuan meraba perutnya yang ramping.

“Ia percaya begitu saja bila aku hamil,” si perempuan tertawa, menampakkan deret giginya yang putih dan rapi. Penyanyi klub malam harus bergigi rapi!

“Tipuan klasik,” sahut si lelaki plontos, tanpa menoleh.

“Tipuan klasik untuk lelaki tua yang bodoh. Manis sekali,” si perempuan tertawa dan membayangkan liburan yang menyenangkan di villa mewah di tepi danau yang sunyi.

Si lelaki plontos tersenyum tipis. Menutup koran dan melipatnya.

“Berapa jumlah uang dalam tas itu?” tanya si perempuan.

“Banyak. Sangat banyak.”

“Kau menguras uang lelaki tua bodoh itu?” si perempuan merasa kurang yakin.

“Uang akan menjauh dari orang-orang bodoh, kau tentu tahu itu,” sahut si lelaki.

“Jangan lupa, sisakan untuk dokter kawan kita. Kau tahu, surat palsu dokter itu telah bikin si tua botak itu kelabakan,” kata si perempuan.

“Tentu, tentu. Telah kusiapkan untuknya,” sahut si lelaki plontos.

Orang-orang berlalu lalang di sekitar mereka duduk. Beberapa polisi bandara sempat pula melintasi mereka. Si lelaki plontos merasa tak nyaman.

“Tinggalkan tempat ini.”

“Ke mana?” tanya si perempuan.

“Ke mana saja.”

Lelaki plontos itu membuang koran ke kotak sampah. Di halaman pertama koran itu terpampang berita utama: Seorang Anggota Dewan Kota Tewas di Hutan Pinus. Berita itu dilengkapi sub-judul: Sebutir Peluru Menembus Keningnya.
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB