x

Sumber foto: Pixabay.com, edit dengan Canva

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Kamis, 3 Agustus 2023 12:45 WIB

Pangeran di Halte Tua

Halte yang kumuh, tetapi bersejarah bagi Widuri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dahulu, Widuri sering diantar ibu ke sekolah naik bus kota. Mereka menunggu bus di halte itu. Dahulu, ramai orang di sana, menanti bus masing-masing datang. Ketika Widuri SMA, ia menunggu bus di sana bersama teman-teman. Kadang, mereka berkhayal bertemu pangeran di halte itu, seperti cerita di komik.

Zaman terus bergerak, halte-halte yang lebih modern berpendingin udara tumbuh di berbagai sudut kota. Bus kota pun semakin bagus, panjang seperti kereta api. Bus-bus itu hanya berhenti di halte khusus yang mewah, bukan di halte tua. 

Bus kota-bus kota berukuran kecil makin berkurang dengan kondisi mengenaskan; suara mesinnya seperti generator dan kadang terdengar letupan dari knalpot seperti orang tua batuk dimakan usia. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bus-bus yang ketinggalan zaman itu masih setia menyambagi halte yang juga sama tuanya. Di halte tua itulah, Widuri setia menanti kedatangan bus tua yang bodinya penuh dempul.
Khayalan bertemu pangeran di halte tua, masih pula sesekali melintas dalam pikiran Widuri. Ia pernah membaca komik Jepang tentang hal itu. Seorang gadis bernama Hikaru bertemu dengan pemuda bernama Kenzo seorang ilustrator komik. Mereka, dua tokoh komik itu bertemu di sebuah halte tua, saling jatuh cinta dan kemudian menjalani bersama kehidupan yang penuh romantika. Ah, romantis sekali.
***
Setelah setengah jam menungu bus bercat merah yang bodinya penuh dempul dan mesinnya bersuara keras seperti generator itu belum muncul, terbit cemas di hati Widuri. 

Mungkinkah bus yang dinantinya itu rusak? Bila itu terjadi, haruskah ia berjalan mencari halte modern, naik taksi atau ojek online? Ah, tidak, Widuri masih ingin menikmati naik bus kota legendaris kesayangannya itu. Gadis itu mengela napas, mencoba bersabar menanti.

Pada saat itu, datanglah seorang cowok bercelana jins dan kemeja jins biru, sepatu kets putih, dan membawa tas selempang kulit coklat. Cowok itu tersenyum pada Widuri, lalu perhatiannya tertuju pada kejauhan.

Widuri, diam-diam, mengamati sosok cowok itu. Hm, cowok itu jangkung dengan bobot tubuh ideal. Mungkin cowok itu mahasiswa seperti dirinya, pikir Widuri.

“Apa bus Legenda sudah datang?” cowok itu bertanya.

“Bus merah yang kuno?” Widuri balik bertanya.

“Mungkin,” sahut si cowok. “Kata paman, aku harus menunggu bus Legenda di halte tua ini. Hanya itulah bus yang menuju Jalan Imaji.”

“Aku juga menunggu bus itu. Setengah jam lebih aku menunggu, mungkin sebentar lagi datang,” kata Widuri.

“Syukurlah,” si cowok tampak lega. “Ini hari pertamaku kerja. Aku tak mau memberikan kesan buruk karena datang terlambat.”

“Sebentar lagi bus itu datang, aku yakin itu,” sahut Widuri.

Hening. Widuri dan si cowok dengan pikiran masing-masing. Mereka sama-sama memandang pada kejauhan, berharap bus yang mereka nantikan datang. Tetapi, kenyataan yang mereka dapatkan sama pula; harus bersabar.

Rupanya si cowok itu periang, ia mengajak Widuri ngobrol. Si cowok bercerita tentang dirinya yang seorang ilustrator di sebuah penerbit di Jalan Imaji. Itu adalah hari pertama ia kerja kantoran. 

Selama ini ia menjadi ilustrator freelance, menerima order membuat ilustrasi via internet. Sekarang ia bekerja di sebuah penerbit dan tinggal di rumah pamannya. Widuri senang mendengarnya dan merasa telah mengenal cowok itu demikian lama. Cowok itu pandai membawa diri, pikir Widuri.

Widuri juga becerita tentang dirinya yang seorang mahasiswi semester 4 Desain Grafis sebuah universitas swasta di Jalan Generasi. Dari halte tua itu, Widuri hanya bisa naik bus tua yang rutenya melintasi kampusnya.

“Namaku Subianto,” cowok itu menjulurkan tangan dan disambut uluran tangan Widuri dengan hati riang. “Orang-orang memangilku Anto, ada pula yang manggil Bian. Kamu, terserah mau panggil aku apa.”

“Bagaimana kalau Kak Bian?” tanya Widuri.

“Kak Bian? Boleh juga,” Bian, cowok itu, tersenyum.

“Namaku Widuri. Aku lebih suka dipanggil Duri, terdengar unik,” kata Widuri tersenyum, menampakkan sepasang lesung di pipi tirusnya.
***
Setelah hampir satu jam menunggu, Widuri melihat bus merah di kejauhan. Ia bersiap-siap dan mengatakan pada Bian bahwa bus mereka telah datang. Ketika bus berhenti di halte, Widuri naik duluan, lalu Bian menyusul.

Bus tampak sepi, hanya ada dua penumpang duduk di kursi depan dekat sopir. Widuri memilih kursi deret tengah sebelah kanan, ia duduk di dekat jendela. Bian masih berdiri di lorong, tampak ragu memilih tempat duduk.

“Boleh aku duduk bersama kamu?” tanya Bian.

“Silakan, Kak Bian,” sahut Widuri tersenyum

Berdekatan dengan cowok ganteng, sungguh, membuat dada Widuri senantiasa berdebar. Berkali-kali dan diam-diam, Widuri melirik wajah Bian yang berhidung mancung, bagai pangeran dalam komik. 

Mereka kembali terlibat dalam percakapan yang menarik. Bian benar-benar cowok yang pandai membawa diri, bahan obrolan seperti tiada habis ia curahkan. Sesekali Widuri tertawa ketika Bian melempar joke-joke segar.

Bertemu dengan Bian bagi Widuri adalah sangat menyenangkan. Itu bukanlah pertemuan pertama dan terakhir mereka. Karena, besok dan hari-hari berikutnya mereka akan selalu bertemu di halte tua dan bus tua itu.

Di kejauhan, tampak gedung menjulang bercat biru.

“Itu kampusku. Aku duluan ya, Kak Bian?” Widuri berdiri, bersiap-siap untuk turun. 

“Sampai jumpa lagi besok,” sahut Bian. “Apa tempat kerjaku masih jauh?”

“Tempat kerja Kak Bian masih sekitar lima menit lagi. Baik-baiklah dengan satpam kantor Kak Bian. Orangnya galak, tapi baik hati, suka menolong. Namanya Pak Jamin, biasa dipanggil Rambo,” kata Widuri.

“Kamu seperti mengenal benar kantorku?” tanya Bian.

“Tentu saja,” sahut Widuri. “Satpam di sana ayahku!”  
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB