Setelah Muncul Pahlawan Digital, Lantas Apa Lagi?
Kamis, 7 September 2023 16:50 WIBSosok pahlawan digital yang menghasilkan karya-karya berteknologi digital untuk memudahkan hidup manusia memang sangat dibutuhkan. Namun, insan yang mampu menjaga suasana kondusif di masyarakat tanpa gangguan yang bersumber dari teknologi digital juga layak diacungi jempol.
Siapakah sosok terhormat yang berhak menyandang gelar pahlawan digital?
Sejauh ini, belum ada definisi baku menyangkut urusan ini. Saya hanya menemukan pihak-pihak yang menggulirkan sebutan pahlawan digital dikaitkan dengan program kerja mereka.
Saya coba “berkelana” ke Barat, mencari-cari seperti apa sosok pahlawan digital di sana. Berbekal kata kunci “digital heroes” di tangan, saya menjumpai dua makna mencuat di belahan bumi yang acap kita anggap sebagai dedengkotnya dunia digital.
Menurut Digital Communities Wales, sebuah organisasi kelolaan pemerintah Wales, digital heroes adalah “children and young people who are confident users of tech and can support others to get online”.
Kita beranjak ke Inggris untuk melongok aktivitas digital yang dilakukan sebuah organisasi penjaga warisan budaya. Heritage Trust Network mengartikan digital heroes sebagai “volunteers aged between 18-30, have a wide variety of digital experiences and skills, and will be taking part in training by Audience Agency designed around their needs and the needs of our members.”
Ada dua persamaan dalam dua definisi di atas. Pertama, adanya “penunjukan” anak-anak muda sebagai aktor utama. Kedua, aktivitas yang dibahas merupakan kegiatan menyangkut teknologi yang bersifat daring.
Setali tiga uang dengan kondisi di Indonesia. Beberapa kementerian dan instansi negara atau swasta melabeli individu atau kelompok yang memenangi atau mendukung program bernuansa digital yang mereka selenggarakan sebagai pahlawan digital.
Selalu ada satu kesamaan yang bisa kita lihat dalam bahasan mengenai pahlawan di era digital. Sebutan pahlawan digital senantiasa dikaitkan dengan aktivitas-aktivitas “berbau” internet nan kental.
Memang besar sekali peran jagat digital dalam mempermudah hidup manusia. Pelbagai sistem dan perangkat digital rekaan orang-orang kreatif telah memangkas penggunaan waktu dan sumber daya lainnya.
Sejak teknologi berbasis komputer berkembang pesat, manusia bekerja lebih efisien. Banyak cara kerja digital terbukti lebih andal ketimbang cara manual.
Jadi, mustahil kita melupakan jasa teknologi digital yang di zaman dulu berasa tak masuk akal. Kini, kita memang hidup di era digital dan nyaris bisa menghindar dari kepungan teknologi pintar.
Waspadalah! Ada Sisi Buruk Teknologi Digital
Sekarang kita lihat sisi yang berbeda. Bak pisau bermata dua, tak bisa kita mungkiri bahwa dunia digital juga telah menyemai bibit-bibit keburukan.
Kita bisa melihat beberapa contoh perkembangan tak menyenangkan yang hanya bisa terjadi berkat masifnya digitalisasi.
Begitu mudah kita menemukan hoaks di kanal-kanal digital. Para bandar memilih media digital sebagai mesin pemutar judi daring. Akad utang-piutang dengan bunga mencekik dan cara-cara penagihan brutal juga dioperasikan di tempat serupa.
Tentu masih banyak lagi jagat onlen-onlen yang kemudian menimbulkan petaka bagi manusia. Kita akan mengulik 3 bentuk dampak buruk perkembangan teknologi digital.
1. Hoaks meluap bagai air bah
Hoaks menjadi persoalan besar yang harus kita hadapi hingga kini. Data mengindikasikan masifnya berita-berita bohong yang disebar melalui jaringan digital.
Barangkali, sekumpulan emak-emak yang tengah berbelanja sayur di kompleks-kompleks perumahan masih bisa kita temui. Di antara kumpulan-kumpulan legendaris itu, adakalanya tercuat bisik-bisik yang tak sedap.
Namun, rumpian ibu-ibu kompleks tak bakal mampu menyaingi hoaks yang merebak melalui jaringan digital.
Persebaran kebohongan di jagat maya tak membutuhkan sekian banyak manusia yang berkumpul di suatu tempat. Hanya bersenjatakan jemari tangan, kebohongan tak hanya menyebar ke sebelah rumah, melainkan merayap ke tempat-tempat jauh yang tak terbatas ruang dan waktu.
Grafik jumlah isu hoaks yang dikumpulkan Kementerian Kominfo. Sumber data: kominfo.go.id.
Tengoklah sejenak gambar di atas. Setelah menurun sejak awal 2021 hingga akhir 2022, jumlah isu hoaks mulai menanjak di awal 2023. Periode ini memang sangat rawan terkontaminasi kabar-kabar tidak benar mengingat pilpres bakal segera digelar.
2. Judi online menjerat bikin orang makin melarat
Sesekali kita menyaksikan siaran televisi mewartakan polisi menggerebek sekumpulan penjudi sabung ayam. Model judi tradisional semacam ini memang masih eksis secara sembunyi-sembunyi.
Namun, dunia digital telah mengubah segalanya. Kini, media-media daring menjadi wadah taruhan bernama judi online yang bisa diikuti sembari ngopi atau rebahan. Korban judi daring jauh lebih banyak dibandingkan judi sabung ayam atau judi kartu remi.
Tak salah jika Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi menyebut kita sedang berada dalam kondisi darurat judi online. Bayangkan, dalam kurun 2018 hingga pertengahan 2023 saja, kementerian yang dipimpinnya telah memutus akses 846.047 situs yang mengandung konten judi daring.
Tentu saja konten sebanyak itu belum mencakup semua aktivitas judi yang eksis di negeri ini. Iklan-iklan bermuatan ajakan mencari kekayaan melalui cara untung-untungan masih terus berseliweran.
3. Pinjol ilegal mengincar guru dan pelajar
Berita seputar pinjol tak pernah putus kita dengar. Kejadian yang tak dikabarkan tentu lebih banyak lagi.
Dampak buruk fintech kita temukan di mana-mana. Kabar tentang orang depresi dan hendak mengakhiri hidupnya sendiri lantaran terjerat pinjol telah menjadi santapan kita sehari-hari.
Data yang dirilis OJK menunjukkan sebanyak 5.450 entitas pinjaman online ilegal telah dihentikan. Mereka bukan hanya telah menguras harta para guru, korban PHK, ibu rumah tangga hingga pelajar, melainkan juga merusak ketenangan hidup orang-orang di sekitarnya.
Kemampuan Literasi Harus Diperbaiki
Kita gembira melihat angka melek huruf terus bertambah. Data jumlah penduduk Indonesia yang masih buta aksara terus berkurang tentu saja bikin hati senang.
Grafik angka melek huruf penduduk usia 15-59 tahun. Sumber data: bps.go.id.
Namun, apakah melek huruf sudah cukup?
Kemampuan membaca dan menulis memang bagian dari literasi. Itulah makna literasi yang kita temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Namun, KBBI tak berhenti memaknai literasi sebatas kemampuan tulis dan baca. Bausastra itu juga mengemukakan bahwa literasi adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.
Jadi, setelah memperoleh informasi dengan membaca, kita dituntut untuk mengolahnya dengan benar. Sebab, bila tidak, bukan hanya tak memberi faedah, beragam informasi yang kita terima justru bisa mencelakakan diri kita dan orang-orang di sekitar kita.
Nah, kini kita akan melongok tingkat literasi yang sebenarnya. Berdasarkan rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atas hasil kajian Program for International Student Assessment (PISA), tingkat literasi penduduk Indonesia berada pada peringkat 62 di antara 70 negara yang menjadi objek kajian.
Literasi memang tak sekadar bisa membaca ‘ini ibu budi’. Jelas sekali, kemampuan literasi tidak serta-merta dikuasai kalangan yang mampu menulis dan membaca.
Kita telah melihat data yang mengindikasikan bahwa tingkat literasi bangsa kita tak berbanding lurus dengan tingkat melek huruf warganya. Kenaikan jumlah penduduk yang bisa membaca tak mampu mengatrol tingkat literasi yang masih berada di dasar lembah.
Hoaks, judi daring, pinjaman daring, dan hal-hal daring lainnya menyebar melalui media digital. Media digital hanya bisa diakses oleh orang-orang yang mampu membaca. Sungguh terasa sesak di dada, saat kemampuan baca tulis terus naik, kekacauan yang ditimbulkan oleh pemahaman literasi yang minim justru semakin banyak.
Lantas, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kita telah melihat pelbagai kerusakan sebagai dampak berkembangnya teknologi digital. Lantas, apa yang bisa kita perbuat?
Media massa, terutama media daring, tentu sangat kita harapkan ikut cawe-cawe. Mereka bisa menyebarkan literasi digital yang benar. Materi-materi edukasi dalam bidang-bidang yang rawan disalahgunakan merupakan bahan pelajaran yang amat dibutuhkan.
Bagaimana cara mengenali hoaks, judi online, atau pinjol ilegal merupakan pengetahuan berharga yang harus terus dikembangkan. Tips-tips menghindari potensi-potensi bahaya yang selalu mengincar di dunia maya juga bagian dari literasi yang dibutuhkan masyarakat.
Nah, setelah peran-peran itu dimainkan media dan berbagai pihak lainnya, akhirnya tuntutan serupa sampai kepada diri kita sendiri. Apakah kita mampu mendapatkan informasi, mempelajarinya, dan terhindar dari dampak buruk digitalisasi?
Selalu menjaga data pribadi bisa menjadi pintu pertama yang akan menutup akses para penjahat digital masuk ke ranah privasi. Selanjutnya, membiasakan diri meneliti dan mencari sumber yang dapat dipercaya merupakan lapisan kedua pengaman kita.
Kecenderungan ikut perlombaan tercepat menyebarkan kabar (yang belum tentu benar) bisa memunculkan potensi bahaya. Sebab, risiko yang terkandung dalam suatu kabar yang belum jelas kebenarannya lebih besar ketimbang kebanggaan sesaat yang kita rasakan.
Pahlawan-pahlawan di era digital mampu menciptakan perangkat atau sistem digital untuk meringankan beban masyarakat. Tentu saja kita memberikan apresiasi yang tinggi. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi sesama?
Namun, tidak mengapa juga bila kita belum mampu berkarya seperti mereka. Keberadaan kita tetap berharga selama kita berusaha menguasai literasi dan mengaplikasikannya secara benar.
Upaya itu akan mendorong kita melakukan aktivitas di dunia maya yang tidak mencelakai diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Bukankah itu bukti kita cinta Indonesia?
Dalam permainan sepak bola, 3 gol yang dilesakkan seorang penyerang tak akan berarti bila ada 4 gol atau lebih bersarang di gawang timnya. Kemampuan bertahan bukan hal sepele yang pantas dipandang sebelah mata.
Melihat kondisi saat ini, kemampuan menjaga keamanan dan kedamaian dengan meminimalisir dampak buruk teknologi digital bisa dikategorikan urusan vital. Meskipun, mungkin, para pelakunya tak beroleh gelar pahlawan digital.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler