x

Sumber foto: pixabay.com, desain dengan Canva

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Minggu, 10 September 2023 10:49 WIB

Ibu Tiriku Bidadari

Annie Novita punya gambaran buruk tentang ibu tiri. Sepasang mata yang senantiasa melotot, mulut yang selalu mengomel dan marah-marah, sepasang tangan yang berkacak di pinggang dan suka menampar, memukul, serta kekejamannya lainnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ibu tiri itu kejam! Sejarah sudah membuktikannya. Annie pernah mendengar, dahulu, di tahun 1970-an ada film berjudul Ratapan Anak Tiri yang berkisah tentang penderitaan anak tiri dan kekejaman ibu tiri.

Lantas di tahun 1980-an ada pula film Arie Hanggara Film itu bercerita tentang anak kecil bernama Arie Hanggara yang meninggal setelah sering disiksa ibu tirinya. Konon, film itu berdasarkan kisah nyata yang sempat menjadi pemberitaan di media massa pada masanya.

Masih ada lagi bukti-bukti bahwa ibu tiri itu kejam. Beberapa novel yang pernah Annie baca, menunjukkan kebengisan ibu tiri. Meski novel-novel itu kemudian disembunyikan oleh Sunarti, sang nenek, namun ceritanya masih membekas dalam benak Annie.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu saja nenek cemas dengan Annie yang makin hari makin membenci sosok ibu tiri. Nenek sudah menjelaskan dalam beberapa kesempatan bahwa tak semua ibu tiri itu jahat. Banyak pula ibu tiri yang baik hati bagai bidadari.

Namun, Annie membantah, bahwa tak semua berarti ada. Berarti ada ibu tiri yang jahat, seperti dalam film dan novel. Bagaimana kalau ibu tiri yang jahat itu adalah ibu tirinya? Tidak! Annie tak ingin itu terjadi padanya.

“Kasihan ayahmu, dia butuh teman hidup,” kata nenek, suatu kali. Nenek tiada lelah membujuk Annie agar mengizinkan Handoyo Aslam, ayah Annie, untuk menikah lagi.

Nenek berusaha membujuk Annie, karena Handoyo sudah menyerah karena selalu gagal meyakinkan Annie bahwa dirinya perlu menikah lagi. Annie perlu ibu baru, agar keluarga mereka sempurna.

Ya, Hayati, ibu Annie sudah meninggal sekira tiga tahun silam. Saat itu, Annie masih kelas 9 SMP. Tiap hari Annie diantar jemput oleh ibu. Suatu kali, setelah mengantar Annie, ibu yang mengendrai Vario berhenti di lampu bangjo. 

Dari arah belakang, ada truk melaju dengan kecepatan tinggi karena rem blong, menggasak kendaran-kendaran lain di lampu bangjo, termasuk ibu. Ibu tewas di tempat.

Setahun setelah kematian ibu, Annie mulai mendapat bujukan dari nenek agar ayahnya boleh menikah lagi. Annie boleh meminta apa saja, mobil sekalipun, asalkan mengizinkan ayah mengakhiri masa duda. Namun, Annie malah marah-marah.

“Jangan ada ibu tiri di rumah ini. Annie tak mau punya ibu tiri, sampai kapanpun!” kata Annie meradang, membuat nenek mengela napas dan mata berkaca-kaca.
***
Di sekolah, Annie punya teman sebangku bernama Astuti yang sering tampak murung. Astuti punya ibu tiri yang konon kejam padanya. Hampir tiap hari dia bercerita tentang perilaku ibu tirinya. Annie mendengarkannya dengan saksama, penuh perasaan, seakan dirinya yang mengalami peristiwa tersebut.

“Ibu tiriku hanya baik padaku saat di depan ayah. Kalau ayah tidak di rumah, ibu tiriku berubah seperti singa yang menerkam apa saja,” kata Astuti, suatu kali.

Dengan penuh emosi, Astuti menceritakan bahwa ibu tirinya memaksanya mencuci setumpuk pakaian kotor, bukan dengan mesin cuci, tapi mencuci secara manual. Bayangkan, betapa habis tenaga Astuti untuk mencuci pakaian yang demikian banyak.

“Mengapa tidak boleh pakai mesin cuci?” tanya Annie.

“Boros listrik, katanya. Setelah itu aku juga yang harus menyeterika semua pakaian,” jawab Astuti.

“Apa ayahmu tidak tahu?” tanya Annie.

“Tidak. Sebagai sopir truk, ayah pulang malam. Ayah tidak tahu apa yang terjadi di rumah, selama dia pergi kerja,” jawab Astuti.

“Kamu tidak mengadu pada ayah, nenek, atau saudaramu yang lain?” tanya Annie.

“Tidak. Ibu tiriku mengancam akan menyiksaku lebih kejam, bahkan membunuhku kalau aku mengadu,” jawab Astuti.

“Ya, Tuhan. Sadis sekali ancamannya,” sahut Annie tercekat.

Cerita lainnya, dan ini terjadi tiap hari, Astuti diberi uang saku oleh ayahnya sebanyak Rp 20.000. Namun, setelah ayahnya berangkat, ibu tirinya segera merampas separoh uang sakunya, bahkan lebih. 

Sering Astuti hanya membawa uang saku Rp 5.000, bahkan Rp 2.000, sehingga terpaksa ia berangkat sekolah dengan jalan kaki sejauh 3 km. Kalau beruntung, ada teman Astuti yang memboncengkannya sampai sekolah, namun itu tidak tiap hari.

“Mengapa uang sakumu dirampas?” tanya Annie.

“Ibu tiriku punya anak lelaki, masih kelas 2 SMP. Katanya, anak lelaki kebutuhannya banyak, jadi uang sakunya juga harus lebih banyak,” jawab Astuti.

“Tidak adil. Laki-laki atau perempuan sama saja. Kebutuhan kita sama-sama banyak,” Annie menyela.

Astuti mengangguk, membenarkan ucapan Annie.

“Tapi percuma, ibu tiriku tak peduli. Dia lebih sayang pada anaknya dan jahat padaku,” sahut Astuti.

“Karena itukah kamu jarang sekali ke kantin?” tanya Annie.

Astuti mengangguk lagi. Dan sejak itu, Annie sering mengajak Astuti ke kantin saat jam istirahat. Annie membebaskan Astuti makan apa saja yang disukainya. Annie kaget sekaligus iba melihat Astuti makan bakso, gorengan, dan jajan lainnya dengan lahap, seperti orang kelaparan.

“Apa kamu belum sarapan di rumah?” tanya Annie.

Astuti mengangguk, lalu bercerita bahwa ibu tirinya tidak memberinya sarapan. Padahal, tiap pagi Astutilah yang memasak.

“Apa ayahmu tidak sarapan juga?” tanya Annie.

“Ayah berangkat bakda subuh, cukup minum kopi. Ayah biasa sarapan di warung,” kata Astuti.

“Tega sekali ibu tirimu,” sahut Annie geram.

“Karena itu, Annie, jangan sampai kamu seperti aku. Jangan sampai kamu punya ibu tiri,” kata Astuti.

“Ya. Aku tak mau punya ibu tiri, sampai kapanpun!” sahut Annie bertekad.
***
Sebelum Annie mengambil keputusan itu, beberapa kali ayah mengenalkannya pada wanita yang akan menjadi ibu tirinya. Ayah memang ganteng, sehingga sangat mudah baginya mendapatkan wanita yang akan menjadi calon istri barunya. 

Tentu saja ayah menceritakan kebaikan-kebaikan dalam diri setiap wanita yang dikenalkan pada Annie. Ayah berharap Annie terpikat lalu bersedia menerima wanita itu sebagai calon ibu tirinya.

“Ayah masih punya Annie dan nenek. Apa itu tidak cukup bagi ayah?” tanya Annie, suatu kali, setelah ayah mengenalkannya pada seorang wanita muda dan cantik.

“Kamu sudah dewasa, Annie. Ayah berharap kamu mengerti, bahwa seorang lelaki butuh wanita sebagai teman hidup. Kamu benar, ayah masih punya kamu dan nenek. Namun, keluarga ini akan lengkap dengan kehadiran istri bagi ayah dan ibu bagi kamu,” jawab ayah.

“Annie bisa mengurus diri sendiri, tak perlu seorang ibu. Kalaupun perlu ibu, maka Annie bisa menganggap nenek sebagai ibu,” sahut Annie berdalih.

“Ya, ayah mengerti. Kamu bisa menganggap nenek sebagai ibu. Namun, bagaimana dengan ayah? Kamu tentu sudah belajar biologi di sekolah, bukan? Bagaimana pun ayah ini masih muda, perlu seorang istri.”

“Di kelas Annie tidak ada pelajaran Biologi, Ayah. Namun Annie mengerti maksud ayah. Meski begitu, ayah bisa mengatasinya dengan banyak istigfar, berzikir, olah raga atau menyibukkan diri dengan pekerjaan.”

“Lantas, sampai kapan ayah harus menduda? Itu sungguh menyiksa, Annie.”

“Kalau Annie punya ibu tiri, Annie yang akan tersiksa. Begitu mau ayah? Ayah mau Annie tersiksa?”

“Kamu terobsesi dengan fiksi, Annie.”

“Tidak, Ayah. Ini bukan fiksi, ini fakta!” tegas Annie.

“Maksudmu?”

“Annie punya teman. Ibu tirinya kejam. Teman Annie sangat tersiksa. Annie tidak mau itu terjadi pada Annie.”

“Tapi, Annie, tidak semua ibu tiri itu kejam....”

“Pokoknya Annie tidak mau punya ibu tiri, titik! Atau Annie akan pergi dari rumah ini!”
***

Pukul 06.30, Annie sudah sampai di sekolah. Astuti juga sudah datang, karena dia memang memilih berangkat lebih awal. Katanya, setelah selesai memasak di rumah, Astuti segera berangkat. Untuk apa menunggu sarapan, toh, ibu tirinya tidak memberinya sarapan? Lagi pula dia harus berjalan kaki sejauh 3 km, akan lebih baik dia berangkat sebelum matahari terbit, agar tidak terlambat sampai di sekolah.

Sebetulnya, Astuti punya motor Beat. Namun sejak kedatangan ibu tiri, motornya itu dipakai oleh adik tirinya untuk berangkat ke sekolah. Astuti tidak mau berangkat berboncengan dengan Ardian, karena adik tirinya itu kurang ajar, suka pegang-pegang tubuh Astuti. 

Di rumah pun, Ardian sering mengintip Astuti yang sedang mandi. Itu Astuti ketahui, karena Ardian pernah kepergok, saat Astuti tiba-tiba keluar kamar mandi, adik tirinya itu tergeragap sedang merunduk di luar pintu kamar mandi.

“Kamu tidak lapor ibu tirimu atau bahkan ayahmu?” tanya Annie, suatu kali, ketika Astuti bercerita tentang adik tirinya.

“Percuma, mereka tidak percaya dan menganggap adik tiriku hanya bercanda,” jawab Astuti.

Pagi itu, Annie mengajak Astuti sarapan di kantin. Seperti biasa, Astuti makan dengan lahap, meski hanya nasi rames dan kerupuk. Annie cukup dengan sepotong pisang goreng, karena dia sudah sarapan roti bakar di rumah.

Annie memperhatikan, tiap hari wajah Astuti kian murung. Annie yakin kemurungan itu karena Astuti menderita hidup bersama ibu tirinya yang egois. Sampai kapan sahabatnya itu harus menjalani kehidupannya yang sulit?

“Ada yang ingin kamu ceritakan padaku, tentang ibu tiri atau adik tirimu? Mungkin dengan bercerita, bisa mengurangi beban deritamu,” kata Annie.

Astuti mengangguk.

“Hari ini mungkin terakhir kali kamu traktir sarapanku. Besok, aku akan tinggal di rumah nenek. Nenek dan kakek akan memberiku uang saku yang cukup,” kata Astuti.

“Bagaimana dengan ayahmu?” tanya Annie.

“Ayah mencegah, namun aku memaksa. Kukatakan pada ayah, bahwa nenek dan kakek kesepian, butuh teman,” jawab Astuti.

“Bagaimana dengan ibu tirimu?”

Astuti tertawa ringan.

“Ibu tiriku juga mencegah, tapi aku tidak peduli,” kata Astuti.

“Mengapa begitu? Ibu tirimu tidak suka kalau kamu pergi dari rumah?”

“Tentu saja,” sahut Astuti. “Kalau aku pergi dari rumah, siapa yang akan mencuci pakaian, menyeterika, memasak, dan pekerjaan babu lainnya?”

Annie tersenyum dan mengangguk, mengerti.

“Ibu tirimu pasti bingung, saat ini dan hari-hari berikutnya, karena harus mengerjakan semua itu sendiri,” kata Annie.

“Biar saja. Emang gue pikirin?” sahut Astuti, tertawa.

Sarapan telah selesai, Annie yang membayar. Kemudian mereka beranjak menuju kelas mereka, XII Akuntansi 1. Ketika melintas dekat taman, mereka berpapasan dengan Bu Maya Puji Lestari yang baru datang. Mereka segera mengucap salam seraya mencium tangan wanita bertubuh jangkung itu. Wanita cantik itu adalah guru Bahasa Inggris dan wali kelas mereka.

Annie dan Astuti kembali melangkah menuju kelas. 

“Kalau waku bisa diundur, aku ingin Bu Maya yang jadi ibu tiriku,” kata Astuti di perjalanan.

“Bercanda kamu,” Annie menukas. “Mengapa harus Bu Maya?”

Astuti terkekeh.

“Bu Maya itu baik, ramah, aku belum pernah melihat beliau marah. Beliau juga cantik,” kata Astuti.

“Ya, beliau cantik. Cantik sekali,” Annie menukas.

“Kukira, Bu Maya cocok jadi ibu tirimu, Annie.”

“Apa?” Annie membelalak.

***
Annie masih teringat ucapan Astuti. Bu Maya cocok jadi ibu tiri untuk Annie? Itu gagasan yang tak pernah terlintas dalam pikiran Annie, karena gadis berkulit putih ini masih bertahan dengan tekadnya untuk menolak kehadiran ibu tiri dalam keluarganya.

Bu Maya memang baik, Annie mengakuinya. Annie juga akrab dengan guru yang pernah mengikuti program pertukaran guru di Qeensland, Australia, selama 6 bulan itu. Setiap siang, mereka sering bersama menumpang bus kota, dan duduk berdampingan pula, bila kebetulan mendapatkan kursi kosong. 

Annie senang bepergian dengan bus, termasuk ketika berangkat dan pulang sekolah. Di dalam bus yang sejuk ber-AC membuat tubuh Annie terasa segar. Dahulu, dia pernah ke sekolah naik motor, namun sampai di sekolah, dia merasa tubuhnya lelah karena angin dan panas sinar mentari. Maka , dia memilih ke mana-mana naik bus.

Bagaimana dengan Bu Maya, mengapa selalu juga naik bus? 

“Saya belum punya SIM,” kata Bu Maya, menjawab pertanyaan Annie, ketika suatu kali mereka berada di bus kota. Annie bertanya lagi, apakah semua guru yang mengendarai motor sudah punya SIM?

Bu Maya tersenyum.

“Banyak yang belum,” jawab Bu Maya, lalu menyebutkan beberapa guru yang sebetulnya belum punya SIM namun selalu mengendari motor. Kalau Bu Maya meniru mereka yang belum SIM, itu tidak konsisten. Bukankah guru harus memberikan teladan yang baik?

Jantung Annie berdesir, merasa memiliki persamaan dengan Bu Maya. Annie memilih naik bus, juga karena alasan belum punya SIM. Annie merasa telah menemukan teman yang sepaham, teman yang patuh pada peraturan dan konsisten dalam perilaku. Maka, bertemu dengan Bu Maya adalah hal yang menyenangkan bagi Annie.

Saat duduk di dekat Bu Maya, di bus kota, diam-diam Annie sering melirik, memperhatikan sosok gurunya itu. Hidung Bu Maya mancung, dagu lancip, pipi agak tirus, kulit putih, dan bibirnya memerah alami. Wajah guru itu tampak sempurna meski tanpa polesan kosmetik apapun. Annie kadang berpikir sedang bersama bidadari yang menyamar menjadi guru.

Dan, ucapan Astuti kembali terlintas dalam pikiran Annie. Mampukah Annie bertahan dengan tekadnya, bila ada Bu Maya yang baik hati dan cantik bagai bidadari yang pantas menjadi ibu tirinya? Oh, entahlah, Annie bimbang.
***
Di rumah, tak ada lagi pembicaraan tentang ibu tiri. Ayah dan nenek sudah menyerah dan menganggap tak ada lagi yang mampu menggoyahkan keputusan Annie; jangan ada ibu tiri di rumah ini!

Rumah juga terasa sunyi. Ayah dan nenek mendadak jadi pendiam. Memang ayah dan nenek masih selalu tersenyum, namun mereka tak banyak bicara. Sedikit bicara dan dengan kalimat pendek-pendek, seakan memendam sesuatu.

Nenek tampak lebih aktif, melakukan banyak hal di rumah, yang sebelumnya dilakukan oleh Annie. Ketika Annie hendak mencuci pakaian, segera nenek mengambil alih.

“Biar nenek saja yang mencuci pakaian. Ini tugas seorang ibu,” kata nenek, tersenyum, meraih keranjang rotan berisi pakaian kotor dari tangan Annie.

“Tapi, Nek, nanti nenek capek?” tanya Annie, mengernyitkan dahi, heran dengan perubahan perilaku neneknya belakangan ini.

“Kalau capek, ya istirahat sebentar. Lagi pula ini mencuci pakai mesin, tidak akan capek,” sahut nenek.

Annie menurut, membiarkan nenek mencuci pakaian. Dia akan melakukan hal lain. Annie mengambil sapu, lalu menyapu lantai rumah. Namun, baru beberapa detik Annie menyapu lantai, nenek muncul.

“Biar nenek saja yang menyapu. Ini tugas seorang ibu,” kata nenek, tersenyum, meraih sapu dari tangan Annie.

“Tapi, Nek, bukankah nenek sedang mencuci pakaian?” tanya Annie.

“Cuci pakaian kan pakai mesin, bisa ditinggal melakukan hal lain,” jawab nenek.

Annie kembali menurut, membiarkan nenek menyapu lantai rumah. Annie segera menuju dapur, mungkin ada yang bisa dia kerjakan di sana. Namun, dapur tampak bersih, tak ada piring kotor. Semula, Annie hendak mencuci piring dan peralatan makan yang kotor, namun urung.

Baiklah, Annie akan memasak untuk makan malam nanti. Annie memeriksa persediaan bahan makanan yang ada, dan dia akan memasak berdasar bahan-bahan tersebut. Annie sedang berpikir, kira-kira mau masak apa? Telur dadar saja, deh, yang gampang bikinnya.

Annie menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan: lima butir telur, bawang putih, muncang/daun bawang, lombok, garam. Annie hendak mulai memasak, namun suara nenek telah mengurungkannya.

“Biar nenek saja yang memasak. Ini tugas seorang ibu,” kata nenek, tersenyum, meraih pisau dari tangan Annie.

“Tapi, Nek, bagaimana dengan cucian?” tanya Annie.

“Sudah selesai,” sahut nenek, lalu mengambil alih urusan memasak. Annie melangkah mundur, lalu keluar dari dapur. 

Selain heran, Annie juga agak kesal. Dirinya bisa melakukan tugas-tugas domestik: menyapu lantai, mencuci pakaian, memasak, namun mengapa dia tidak boleh melakukannya? Mengapa nenek melarang Annie melakukan itu semua? Hh, mengapa nenek berubah?
***
Bukan hanya nenek, ayah juga berubah. Mendadak ayah juga jadi pendiam, bicara hanya seperlunya saja. Ini aneh, karena biasanya ayah banyak bicara. Dahulu, tiap hari ayah selalu bertanya tentang sekolah Annie, rencana-rencana masa depan Annie, dan lainnya. 

Sekarang, Annie selalu melihat ayah sibuk melakukan sesuatu, entah memangkas rumput taman atau menyiram tanaman, sesuatu yang jarang ayah lakukan sebelumnya. Biasanya, tugas itu dilakukan oleh Annie.

Di meja tulis, ayah bisa berjam-jam lamanya berkutat dengan laptop. Entah apa yang dilakukan dengan laptopnya. Mengerjakan tugas kantor? Rasanya tidak, karena ayah punya prinsip urusan kantor jangan dibawa ke rumah. Main game, tidak. Di depan laptop, ayah bisa sampai dini hari melakukannya.

“Mengapa ayah belum tidur?” tanya Annie, suatu malam, ketika terjaga dari tidur, hendak pipis ke kamar mandi.

“Nanti, kalau sudah benar-benar mengantuk,” jawab ayah, menoleh sejenak.

“Ayah lembur?”

“Bukan, Annie. Ayah mengikuti saran kamu, menyibukkan diri agar tidak berpikiran yang tidak-tidak.”

Deg! Jantung Annie berdesir. Jadi itukah alasan ayah dan juga nenek berubah belakangan ini? 

Annie yang cerdas segera dapat menangkap maksud ucapan ayah. Annie mengaitkan perubahan sikap nenek sebagai bentuk sindiran padanya. Demikian juga sikap ayah. Mereka sedang menyindir Annie bahwa, rumah ini perlu seorang ibu.

Berpikir seperti itu, Annie memutuskan untuk tidak peduli pada perubahan sikap ayah dan nenek. Annie tetap pada pendiriannya bahwa kehadiran ibu tiri bukan solusi terbaik. Lebih baik rumah ini sunyi daripada ramai oleh kekejaman ibu tiri.

Hari-hari berikutnya, Annie bersikap masa bodoh dengan apa yang dilakukan ayah dan nenek. Biar saja nenek yang menyapu lantai, mencuci pakaian, mencuci piring, memasak. Biar saja ayah yang memangkas rumput taman, menyiram tanaman. Sampai kapan mereka mampu bertahan? Tak akan lama, pikir Annie begitu yakin.

Namun, perkiraan Annie meleset. Enam bulan sudah ayah dan nenek jadi pendiam. Nenek masih saja bertahan untuk rajin menyapu lantai, mengepel, mencuci pakaian, memasak. Ayah masih juga bertahan dengan urusan taman, dan tiap malam begadang menanti matanya benar-benar mengantuk.

Akibatnya, nenek jatuh sakit karena kelelahan. Seminggu nenek berbaring di kamar untuk memulihkan tenaga. Ayah hendak membawa nenek ke rumah sakit, namun nenek menolak. Syukurlah, perlahan namun pasti, nenek sehat kembali. Nenek kembali melakukan tugas domestik di rumah seperti biasanya, meski Annie sudah melarangnya. 

Setelah nenek, gantian ayah yang jatuh sakit. Dokter yang berkunjung ke rumah mendiagnosa ayah kena tifus karena kelelahan bekerja. Ayah harus opname di rumah sakit. Annie dan nenek bergantian menjaga ayah di rumah sakit.

Keluarga almarhumah ibu datang menjenguk; ada kakek-nenek, paman, pakdhe, budhe, dan saudara lain dari pihak almarhumah ibu. 

Teman-teman kelas Annie juga datang menengok. Juga beberapa guru dari sekolah Annie. Namun, Bu Maya tidak ikut. Annie heran mengapa Bu Maya tidak datang berkunjung, bukankah beliau akrab dengan Annie?

Namun, suatu malam, ketika Annie kembali dari membeli snack untuk bekal dirinya menjaga ayah, Annie melihat sepasang sepatu wanita di depan pintu ruang perawatan ayah. Ayah dirawat di ruang VVIP, sehingga bisa menerima tamu kapan saja, tanpa dibatasi jam bezuk.

Annie urung masuk kamar, berjalan berjingkat dan berhenti di luar teras, dekat kaca jendela yang tirainya sudah ditutup. Annie menajamkan telinga, dan mendengar pembicaraan di dalam ruangan.

“Maafkan aku. Aku telah mengecewakanmu. Aku yang bodoh, tidak mampu memahami arti kesetiaan,” terdengar ayah berbicara dengan suara bergetar.

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Han. Semua itu sudah kehendak Allah, kita hanya menjalaninya saja,” jawab si wanita, yang entah siapa. Namun, Annie merasa mengenal suara itu, meski masih ragu.

“Aku sudah berusaha untuk menebus kesalahanku, namun aku tak mampu. Anakku belum bisa menerima kehadiran ....”

“Ssst, jangan kamu pikirkan hal itu. Jangan pikirkan hal lain. Istirahatlah, agar kamu lekas sembuh. Sudah malam, Han, aku pamit dulu. Salam buat ibu, ya, dan juga anakmu. Dia anak yang baik, kamu beruntung punya anak sepertinya.”

Di luar ruang, Annie hendak beranjak menghindar, namun terlambat. Tamu wanita itu sudah berdiri di ambang pintu.

“Annie?”

“Bu Maya?”

***
FLASHBACK
Dahulu, Handoyo, Hayati, dan Maya menjadi tiga serangkai di SMA. Sering melakukan kegiatan bersama, mulai dari mengerjakan PR, jalan-jalan, pokoknya apapun acaranya mereka selalu bersama.

Keakraban itu telah memunculkan benih-benih cinta di antara mereka. Hayati dan Maya sama-sama menaruh hati pada Handoyo. Namun, Handoyo lebih memilih Maya yang lebih cantik dari Hayati. 

Mengetahui hal itu, Hayati sadar diri, perlahan menata hatinya untuk tidak lagi mengharap cinta dari Handoyo. Meski begitu, Hayati masih berteman dengan Maya, tidak membencinya.

Handoyo telah menyatakan cintanya pada Maya, tepatnya usai acara perpisahan SMA mereka. Maya menerimanya meski dengan syarat. Maya tidak mau buru-buru menikah, karena akan kuliah serta menjalankan janjinya pada mendiang ayahnya.

“Sebelum ayah meninggal, beliau memintaku untuk mengurus adik-adikku. Aku menyanggupinya dan berjanji akan membantu biaya pendidikan mereka,” kata Maya, ketika Handoyo menyatakan cinta padanya.

Handoyo mengerti, telah mengetahui perjalanan hidup Maya. Ayah Maya pegawai kantor kecamatan yang telah meninggal karena sakit diabetes. Berbekal uang pensiun ayahnya, Maya dan adik-adiknya bisa sekolah, meski dengan segala keterbatasan.

Beruntung, Maya yang cerdas mampu meraih beasiswa hingga bisa kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri. Dia memilih program studi Pendidikan Bahasa Inggris, dan lulus tepat waktu, lalu mengajar di sebuah SMK swasta sebagai guru Bahasa Inggris.

Handoyo kuliah Akuntansi dan Hayati kuliah Manajemen di sebuah PTS yang sama. Mereka sering bertemu di kampus dan tetap akrab seperti saat di SMA. Diam-diam, Hayati masih mengharap cinta dari Handoyo, meski sadar kalau lelaki itu mustahil bisa menjadi miliknya.

Dalam tahun yang sama, Handoyo dan Hayati lulus kuliah. Handoyo kemudian bekerja di sebuah bank swasta, dan Hayati bekerja di sebuah kantor notaris, di kota yang sama.

Merasa sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk membina keluarga, Handoyo nekad menemui Maya untuk melamarnya. Maya menerimanya, namun dengan syarat.

“Aku mau dua adikku lulus kuliah dulu, setelah itu kita menikah. Kalau aku menikah sebelum mereka lulus kuliah, aku takut tak bisa membantu biaya kuliah mereka,” kata Maya.

“Aku akan bantu biaya kuliah mereka, meski kita telah menikah,” Handoyo menukas, meminta Maya untuk sedia segera menikah dengannya.

“Itu harapan, Han. Kenyataannya, belum tentu. Akan banyak hambatan yang akan menyulitkanmu mewujudkan harapan itu,” sahut Maya.

“Lantas, aku harus bagaimana?” tanya Handoyo.

“Tunggu sampai adik-adikku lulus. Kuharap kamu sabar menanti, Han.”

Handoyo menyerah, terpaksa menerima syarat itu. Itu berarti, dia harus menunggu sampai lima tahun, menunggu adik-adik Maya lulus kuliah, setelah itu bisa menikahi gadis pujaannya itu.

Lima tahun menunggu? Itu melelahkan dan memang itulah kenyataannya. Semangat Handoyo mulai luntur dan muncul pikiran dirinya tidak mau menjadi perjaka tua gara-gara menunggu seorang gadis!

Maka, Handoyo mulai berpaling. Dia mendekati Hayati yang sampai saat itu juga masih melajang. Serasa tak percaya gadis itu, ketika Handoyo datang melamarnya. Tanpa pikir panjang, meski tahu Handoyo bertunangan dengan Maya, Hayati menerima lamaran lelaki itu.

Handoyo dan Hayati menikah setelah tiga bulan tunangan. Maya tidak datang pada pesta pernikahan mereka, karena alasan sakit. Handoyo dan Hayati mengerti, Maya tentu sakit hati sehingga enggan datang ke pesta mereka.

Handoyo dan Hayati berbulan madu di sebuah kamar hotel. Usai menikmati malam pertama, dalam tubuh yang basah oleh keringat, Hayati memeluk Handoyo dan mengucapkan sesuatu.

“Kamu memikirkan Maya, Han?”

Handoyo terkejut.

“Mengapa kamu bicara seperti itu?”

“Aku bukan marah atau cemburu, Han,” sahut Hayati. “Aku mengerti, meski kini aku istrimu, namun dalam hatimu masih tersimpan kerinduan pada Maya. Jangan salah sangka, Han. Bukan aku cemburu, aku hanya mencoba memahami keadaan. Berjanjilah padaku, Han.”

“Janji apa?”

“Kalau aku meninggal lebih dahulu, dan Maya masih sendiri, aku minta kamu menikahinya.”

“Bicara apa kamu ini?”

“Berjanjilah, Han.”

“Tak seharusnya kita bicara hal itu. Kita sedang bulan madu....”

“Aku hanya minta kamu berjanji, Han. Dan, setelah ini aku akan berusaha menjadi istri yang baik bagimu, dan ibu yang baik bagi anak-anak kita. Berjanjilah, Han!”

“Baiklah, aku janji,” ucap Handoyo lirih.

Bertahun-tahun kemudian, ucapan Hayati menjelma nyata. Hayati meninggal saat Maya, anak mereka, kelas 9 SMP. Handoyo teringat wasiat istrinya. Lelaki itu akan melaksanakan wasiat itu, menikahi Maya dan menjadikan ibu tiri bagi Annie. 

Namun, ternyata Annie sangat membenci ibu tiri. Lantas, bagaimana cara Handoyo untuk melaksanakan wasiat mendiang istrinya? Bukankah itu bisa menjadi bencana bagi keluarganya?
***
Menjadi single parent cukup berat bagi Handoyo. Beruntung, dia masih memiliki ibu yang mau membantu merawat dan membesarkan Annie. Tiap hari Handoyo mengantar-jemput Annie ke sekolah. Namun, ketika kesibukan Handoyo makin bertambah, dia meminta Annie untuk naik bus kota.

Andaikan Annie memiliki ibu lagi, tentu ada yang bisa mengantar-jemputnya ke sekolah. Pikiran itu ada dalam benak Handoyo dan ibu, namun sejauh ini keinginan mereka masih terhambat, karena Annie membenci ibu tiri.

Handoyo telah mencoba mengenalkan Annie dengan beberapa wanita yang layak jadi ibu tiri, namun anaknya itu selalu menolak, bahkan marah-marah.

“Mengapa tidak kamu kenalkan Annie dengan Maya?” tanya ibu.

“Saya tidak berani, Ibu,” jawab Handoyo.

“Mengapa?”

“Melihat reaksi Annie selama ini, dia menolak semua wanita yang saya kenalkan padanya. Annie sangat benci ibu tiri. Kalau saya kenalkan Annie pada Maya, saya kawatir Annie akan membencinya pula. Sedangkan Maya adalah guru sekolah Annie. Kalau Annie membenci Maya, itu tidak baik bagi hubungan mereka di sekolah, Ibu,” jelas Handoyo.

“Bukankah Annie akrab dengan Maya? Ya, setidaknya itulah yang Annie ceritakan tentang Maya. Katanya, Maya itu guru yang baik, tak pernah marah, dan kebaikan lainnya. Lagi pula bukankah dulu maksud kamu memasukkan Annie ke SMK Kusuma Bangsa, agar Annie mengenal Maya, karena Maya mengajar di sana?” kata ibu.

“Ya, Ibu, saya mengerti. Tapi, kalau Annie tahu Maya akan menjadi ibu tirinya, apakah keakraban mereka masih terjalin baik, atau sebaliknya malah rusak? Itu yang jadi beban pikiran saya, Ibu.”

“Kita harus mencobanya, dengan berbagai cara. Kamu juga harus ingat wasiat Hayati,” kata ibu.

“Ya, Ibu. Saya akan coba bicarakan dengan Maya. Semoga ada solusi terbaik,” jawab Handoyo.

Diam-diam, Handoyo beberapa kali melakukan pertemuan dengan Maya, di sebuah kafe. Membicarakan hubungan mereka, masa depan mereka. Maya sudah tahu tentang wasiat Hayati, dan dia pun siap menjadi ibu tiri bagi Annie.

“Jangan tergesa-gesa, Han. Annie punya persepsi buruk tentang ibu tiri. Tidak mudah untuk mengubah persepsinya itu,” kata Maya, suatu kali.

“Sampai kapan?”

“Sabar, Han. Bukankah selama ini kamu sudah mampu merahasiakan hubungan kita? Nanti, kalau Annie sudah lulus SMK, kita bisa ungkapkan hubungan kita pada Annie.”

“Sampai Annie lulus?”

“Ya, Han. Tak sampai satu tahun lagi, kan? Tetaplah bersabar, Han.”

Handoyo mengangguk, menerima usulan Maya, walau cukup berat baginya untuk kembali bersabar. Handoyo menyibukkan diri dengan pekerjaan dan kegiatan lain yang bisa untuk melupakan sejenak bahwa bersabar itu melelahkan. 

Ketahanan fisik Handoyo pun melemah, dia sakit tifus, karena kelelahan fisik dan pikiran. Handoyo masuk rumah sakit. Maya datang berkunjung, dan tanpa sengaja membicarakan hubungannya dengan Handoyo. Pembicaraan mereka tanpa sengaja didengar oleh Annie.

Ketika Maya hendak keluar dari ruang rawat, dia terhenyak di ambang pintu.

“Annie?”

“Bu Maya?”

Tubuh Annie gemetar, bibirnya bergetar. Kaget, marah, kesal, bercambur di benak dan hatinya. Dia tak mampu berkata-kata, sepasang mata indahnya berkaca-kaca. Dia segera berpaling dan beranjak cepat dari teras ruang rawat itu, berlari dengan mata berair.

“Annie!” seru Maya, hendak mengejar Annie, namun langkahnya terhenti oleh keraguan. Maya kembali ke dalam ruang rawat, menemui Handoyo.

“Annie mendengar pembicaraan kita, Han,” kata Maya, cemas.

“Ya, aku tahu,” sahut Handoyo, suaranya lemah.

“Aku akan menyusulnya ....”

Handoyo meraih tangan Maya, mencegahnya.

“Jangan. Biarkan Annie sendiri, untuk menenangkan diri,” kata Handoyo.

“Tapi, Han, aku kawatir....”

“Annie tak akan seperti itu. Kamu tak perlu cemas. Annie tak akan melakukan tindaKan bodoh. Percayalah.”

“Apa yang harus kita lakukan, Han?”

“Tunggulah di sini. Annie pasti kembali, aku yakin itu.”

“Baiklah, Han,” Maya mengangguk.

Lima belas menit kemudian, Annie muncul dengan langkah pelan. Matanya masih sembab, bibirnya gemetar, seakan ingin mengucapkan sesuatu.

Maya berdiri canggung. Jantungnya berdebaran dan tak mampu berkata-kata. Namun, dia siap andaikan Annie akan memakinya atau bahkan menamparnya. Maya mengerti dirinya saat ini adalah sosok yang mengerikan bagi Annie, karena gadis itu telah mengetahui bahwa Maya akan menjadi ibu tiri baginya.

Annie melangkah pelan mendekati Maya. Baru dua langkah, Annie berhenti, matanya menatap Maya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Apakah itu tatapan kebencian, ataukah...

Tiba-tiba Annie menubruk Maya, membuat wanita itu terhenyak. Detik berikutnya, Maya terharu ketika menyadari bahwa Annie memeluk dirinya dengan pelukan yang sangat erat, seakan ingin menumpahkan kerinduan yang demikian dalam.

“Ibu,” ucap Annie dengan suara serak oleh keharuan. “Annie ingin Bu Maya jadi ibu bagi Annie.”

Maya dan Handoyo terhenyak!
***
Seminggu setelah Annie lulus dari SMK, dia hadir di sebuah rumah. Di ruang tamu rumah itu yang luas, tampak Handoyo yang berjas biru muda, duduk bersila di lantai berkarpet coklat polos. Di hadapannya, ada seorang lelaki sebaya dengannya, berjas coklat. Di antara dua lelaki itu ada sebuah meja kecil.

Lelaki berjas coklat menjabat tangan Handoyo, mengucapkan serangkaian kalimat. Ketika tiba waktunya, Handoyo segera menyahut.

“Saya terima nikahnya Maya Puji Lestari binti Ahmad Sutarjo dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang 45 juta rupiah dibayar tunai!”

Usai acara sakral itu, fotografer meminta sesi pemotretan. Handoyo, Annie, dan Maya berfoto bersama. Mereka tersenyum ceria. Kini, mereka telah menjadi keluarga yang bahagia!
TAMAT

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB