x

Sumber foto: https://pixabay.com/id/vectors/tentara-militer-bersenjata-pria-311384/\xd desain dengan PowerPoint

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Selasa, 12 September 2023 16:28 WIB

Pulang dari Perang

Ketika Paleto telah berusia lima belas tahun, negeri mereka mengalami kekacauan. Pemerintah berperang dengan pemberontak yang ingin mendirikan negara sendiri. Pihak pemerintah mewajibkan anak lelaki yang telah berusia lima belas tahun wajib menjadi tentara. Rendevo tak bisa menolak, ia merelakan Paleto menjadi tentara untuk bertempur menggempur pasukan pemberontak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di negeri entah berantah seseorang mengetuk pintu rumah Rendevo. Lelaki tua itu hendak makan malam dengan sepotong burger. Ia meletakkan burgernya begitu saja di meja makan, lalu bergegas membuka pintu.

“Anda rupanya, Tuan Durban? Masuklah,” kata Rendevo.

“Terima kasih. Maaf, bisakah saya menyita waktu Anda sebentar, Tuan Rendevo?” jawab Durban, si lelaki pengetuk pintu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Tentu saja bisa, Tuan Durban. Masuklah.”

Dua orang lansia itu duduk di ruang tamu. Durban mengeluarkan amplop putih yang agak kumal dari balik jaket denim biru kumalnya.

“Tolong bacakan surat ini untuk saya, Tuan Rendevo,” kata Durban.

Pasukan pemberontak telah menghancurkan jaringan telepon di negeri itu. Hanya bersuratlah, rakyat yang dicekam ketakutan dapat berkomunikasi dengan kerabat di tempat lain.

“Surat dari siapa kali ini?” tanya Rendevo. 

“Kata Pak Pos, itu surat dari Monica,” jawab Durban.

Rendevo membuka surat itu lalu membacakannya. Ketika Rendevo selesai membaca, Durban berseru girang.

“Monica sudah melahirkan anak laki-laki? Oh, terima kasih, Tuhan,” ucap Durban.

“Selamat, Tuan Durban. Sekarang Anda telah menjadi seorang kakek,” Rendevo menjabat tangan Durban.

“Terima kasih, Tuan Rendevo,” sahut Durban. “Terima kasih Anda sudah membacakan surat untuk saya. Saya permisi, Tuan Rendevo. Selamat malam.”

Setelah tamunya pergi, Rendevo hendak melanjutkan makan malam yang tertunda, tetapi tak ada burger di meja makan. Tuan Rendevo mengela napas, lalu tersenyum.

“Kau yang mengambil makan malamku, Kitty?” kata Rendevo. “Ayolah, Kitty. Kau tak perlu malu atau takut. Aku tahu kau yang mengambil makan malamku.”

Seekor kucing berbulu coklat muncul dari belakang lemari makan. Sepasang mata kucing itu membulat, seperti menyimpan ketakutan.

“Meong!”

Rendevo merendahkan tubuh dan menjulurkan kedua tangan. “Kemarilah, Kitty. Jangan takut. Aku tak pernah marah padamu, bukan?” 

Kucing itu melompat dan mendarat dalam dekapan Rendevo. 

“Aku tak mungkin marah padamu, meski kau telah menghabiskan makan malamku. Hanya kau yang kumiliki saat ini, Kitty,” kata Rendevo.

Semua orang di kawasan kumuh itu tahu bila Rendevo kesepian. Istrinya meninggal saat melahirkan anak pertama, belasan tahun silam. Paleto, anak yang malang itu, diasuh Rendevo dengan kasih sayang yang melimpah.

Ketika Paleto telah berusia lima belas tahun, negeri mereka mengalami kekacauan. Pemerintah berperang dengan pemberontak yang ingin mendirikan negara sendiri. Pihak pemerintah mewajibkan anak lelaki yang telah berusia lima belas tahun wajib menjadi tentara. Rendevo tak bisa menolak, ia merelakan Paleto menjadi tentara untuk bertempur menggempur pasukan pemberontak.

Lalu datang kabar itu. Paleto hilang di medan perang. Sejak itu  Rendevo menumpahkan kasih sayangnya pada Kitty, kucing betina kesayangan Paleto.

Suatu pagi, ketika hendak berangkat menuju toko bukunya di dekat taman kota, Rendevo melihat Durban berada di halaman rumah menenteng koper lusuh. Di luar pagar halaman, telah menunggu taksi murahan yang pudar warnanya dan cat mengelupas di beberapa bagian.

“Anda hendak pergi jauh, Tuan Durban?” tanya Rendevo.

“Dugaan Anda tepat, Tuan Rendevo,” sahut Durban tersenyum lebar. “Saya hendak mengunjungi Monica.”

“Anda pergi sendiri?” tanya Rendevo.

“Yeah,” Durban mengangkat bahu. “Margaret tak mau ikut.”

“Menurut saya tindakan istri Anda tepat, Tuan Durban. Berbahaya berpergian jauh pada kondisi negeri yang kacau saat ini.”

“Tapi saya harus melihat Monica dan cucu saya, Tuan Rendevo. Anda tentu tahu bagaimana menderita menyimpan kerinduan.”

Rendevo tertegun. Ucapan Durban itu seperti ditujukan padanya, meski si pengucap tak menyadari.

“Baiklah, Tuan Durban. Selamat jalan,” kata Rendevo tak ingin melanjutkan obrolan pagi itu.

“Sampai jumpa lagi, Tuan Rendevo. Semoga ada yang datang ke toko buku Anda hari ini,” sahut Durban melambai, lalu memasuki taksi.

Ketika taksi telah pergi, Rendevo melangkah menuju toko bukunya. Sesekali matanya menoleh pada bangunan di sekitarnya. Ah, banyak bangunan telah menjadi puing-puing karena hancur dihantam peluru dan bom. Ah, siapa pula yang mau berkunjung ke toko buku di saat perang seperti ini? Tetapi, lelaki tua itu terus melangkah menuju toko bukunya.

Dan, ia melihat seseorang di kejauhan. Seseorang yang memakai seragam tentara yang tampak lusuh dan kelelahan, melangkah gontai mendekati  Rendevo.

Rendevo membelalak dan berseru dengan suara tercekat. Dua tahun Rendevo tidak bertemu pemuda berseragam tentara itu.

“Paleto? Kaukah itu, anakku?”

Seseorang itu mencoba tersenyum, tetapi yang tergambar di wajahnya adalah perih yang tertahan. Seseorang itu limbung lalu jatuh dalam dekapan Rendevo.

“Tolong...aku lelah....” seseorang itu merintih.

Rendevo memapah seseorang itu memasuki rumah. Membaringkannya di ranjang kamar anaknya. Seseorang itu memejamkan mata dan dadanya naik turun teratur, seperti orang yang kelelahan usai menempuh perjalanan selama berabad-abad. Seseorang itu tentu menyimpan banyak cerita, tetapi saat ini ia harus istirahat senyaman mungkin.

Rendevo urung berangkat membuka toko bukunya. Rendevo akan mendengarkan banyak cerita dari seseorang yang kini berbaring di ranjang kamar anaknya, nanti kalau seseorang itu telah bugar. Rendevo menutup pintu kamar anaknya dan berharap seseorang itu baik-baik saja.
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, penulis cerpen kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Cerpen-cerpennya tersiar di Jawa Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, dan media cetak lainnya. Sehari-hari membantu istri jualan soto ayam. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB