x

Sumber foto: pixabay.com, desain dengan PowerPoint

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Rabu, 13 September 2023 15:09 WIB

Dering Telepon Tua

Kali ini Marjono datang ke rumahku membawa pesawat telepon tua. Tentu saja si penjudi itu akan menemuiku membawa apa saja, karena akulah yang masih punya rasa kasihan padanya. Hanya aku yang tidak memakinya sebagai calon penghuni neraka!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ah, seharusnya aku membentak, mengusir, atau setidaknya menghindar seperti yang orang-orang lakukan padanya, tetapi aku tak tega. Lelaki bertubuh kurus dan pendek mirip anak SMP itu sahabatku. 

Aku tersenyum, walau terpaksa, menyambutnya di teras, pagi itu, dan sudah menduga apa yang akan Marjono katakan: “Aku butuh duit.” 

Marjono meletakkan telepon tua yang hitam dan cukup mengkilap itu di meja teras, lalu duduk di kursi seberang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kamu mencurinya?”

“Tidak. Ayahku menyimpannya dan mewariskannya padaku,” jawabnya. Mata Marjono merah dan berat karena selalu begadang.

“Berapa duit kau butuh?” tanyaku.

“Telepon ini barang antik. Kalau kujual di luar, pasti laku jutaan.”

“Aku tak punya uang sebanyak itu,” tukasku.

Marjono menyeringai.

“Aku tahu. Kau penulis, tak punya uang jutaan. Jadi, aku tak akan jual telepon ini sama kau. Aku gadaikan saja.”

“Berapa kau butuh?”

Marjono berpikir sejenak.

“Lima puluh ribu saja. Besok atau lusa aku kembalikan, plus bonus.”

“Bagaimana kalau meleset?” tanyaku, bercanda. Tetapi Marjono menanggapinya serius.

“Telepon ini jadi milik kau. Kau bisa menjualnya. Kau akan jadi penulis jutawan dan menikahi wanita yang kau suka. Hehehe!” Marjono terkekeh.
***
Dahulu, telepon tua itu berada di sebuah ruang sempit di sisi belakang kantor kecamatan. Dahulu, aku, Marjono, dan beberapa teman lain suka bermain di kompleks kantor kecamatan. Dahulu, kami bebas bermain di sana karena Pak Ramelan, ayah Marjono, kerja di sana sebagai penjaga telepon.

Sering kulihat Pak Ramelan duduk dengan kepala tertunduk mengantuk. Kata Marjono, dalam seminggu telepon itu berdering sekali dua kali. Praktis, tugas Pak Ramelan hanya duduk dan mengantuk sepanjang hari.

Mungkin untuk mengusir kantuk, Pak Ramelan mencoret-coret sesuatu di kertas. Entah, lelaki itu sedang menulis apa. 

Suatu kali ketika Pak Ramelan sedang ke kakus, Marjono mengajakku ke ruang kerja ayahnya. Kami melihat kertas-kertas itu; kertas bertuliskan angka-angka, dan kertas fotokopian bergambar Petruk, Bagong, Gareng, dan Semar.

“Ini ramalan SDSB,” kata Marjono. Ia menyobek kertas, mengambil pulpen, dan menulis sederet angka, lalu bergegas menarik tanganku keluar dari ruangan sempit itu.

Marjono bergegas melangkah. Aku mengikutinya. Kami mengelilingi kompleks kantor kecamatan dan menemukan Pak Jamin sedang membakar sampah di pojok halaman belakang.

“Kamu tunggu di sini,” kata Marjono.

Aku menurut. Kulihat Marjono berbicara dengan Pak Jamin, merogoh uang dari kantung celana pendek, lalu menyerahkannya bersama sobekan kertas pada lelaki paruh baya itu.

Hari berikutnya, Marjono mengajakku menemui Pak Jamin lagi. Kawanku itu menyerahkan sejumlah uang dan mengucapkan terima kasih pada Pak Jamin. Setelah itu, kami menuju sungai, menikmati Djarum Super yang Marjono beli dari hasil nembus buntut SDSB. Kami masih kelas 6 SD saat itu.

Masa berganti, teknologi berkembang. Telepon dengan tombol putar berganti telepon tombol pencet. Pak Ramelan berganti tugas, jadi pesuruh kantor. Ruang telepon beralih fungsi jadi gudang. Telepon tombol pencet berada di ruang kerja Pak Camat. Meski begitu, masih sering kulihat Pak Ramelan mencoret-coret kertas di sebuah ruangan.

“Ayahku piket,” kata Marjono.

Kebiasaan Marjono pun berlanjut, mencuri waktu untuk menyobek kertas dan menulis sederet angka dari meja di ruangan itu. Menemui Pak Jamin untuk membelikan nomor SDSB, meski hanya dua atau empat angka saja, alias buntut. Tetapi sampai ayahnya pensiun, Marjono tak pernah lagi nembus buntut.

Suatu sore, ketika kami kelas 3 SMA, kami bermain catur di teras rumah Marjono, kami mendengar jerit perempuan dari dalam rumah. Bu Sakdiah, ibu Marjono, menangis dan mengabarkan bila Pak Ramelan meninggal. 

Kami bergegas masuk rumah dan melihat Pak Ramelan duduk kaku di kursi di ruang tengah. Di depannya, sebuah meja berserak kertas-kertas penuh coretan angka-angka.

“Cepat, kalian singkirkan semua kertas itu!” perintah Bu Sakdiah.

Buah jatuh tak jauh dari pohon. Marjono gemar bermain-main dengan nasib, seperti ayahnya. Setelah pemerintah melarang peredaran SDSB, Marjono bermain rolet, tetapi favoritnya dadu.

“Bandar rolet sering curang, mesinnya tidak beres. Kalau dadu, aku bisa mengocok dadu sendiri, lebih mantap,” kata Marjono.

Judi sudah mendarah daging bagi sebagian warga di kampung kami. Marjono suka pergi ke kuburan Cina di dekat hutan di selatan kampung untuk bermain dadu. Ramai orang di sana, siang-malam, baik penjudi maupun penonton. 

Konon, seorang tokoh masyarakat anggota DPRD jadi beking, sehingga arena perjudian itu aman tenteram. Beberapa pedagang kecil menggelar dagangan di sana, ikut mengais rupiah. 

Kegilaan Marjono pada judi dadu demikian parah. Ia dipecat dari kantor pasar desa. Keluarganya kacau. Istrinya minta cerai dan membawa anak tunggal mereka ke kota. 

Kabarnya, mantan istri Marjono telah menikah lagi dengan seorang pedagang buah. Pada usia 37 tahun, Marjono telah menjadi duda karena tergila-gila pada dadu.

Marjono sering datang padaku, meminjam uang, apalagi bila ia melihatku keluar dari bilik ATM.

“Bisa kau pinjamkan sedikit untukku?” 

Ah, aku tak bisa menolak, selalu begitu. Marjono penjudi yang tepat janji. Bila menang, ia selalu melunasi utangnya padaku, bahkan memberi lebih.

“Doakan agar aku sering menang, agar tak perlu pinjam uang terus sama kau,” katanya.

Dasar gila, batinku. Doa macam apa itu? Aku hanya menyungging senyum agar Marjono tidak tersinggung.
***
Telepon tua itu masih teronggok di meja di ruang tengah. Sudah seminggu Marjono belum mengambil barang antik itu. Aku bukan penggemar barang antik dan tak tahu bagaimana merawatnya. Jadi, kubiarkan saja telepon tua itu dimakan debu. 

Aku pun tak memikirkan mengapa Marjono tak datang untuk menebus barang jaminannya. Anggap saja uang lima puluh ribu itu sebagai sumbanganku pada sahabat. 

Ada yang kupikirkan saat ini: menyelesaikan novel yang telah dipesan sebuah penerbit. Di kamar, aku mengetik di dekat jendela. Hari masih pagi, udara masih sejuk.

Kriiing! Kriiing! Kriiing!

Aku tersentak. Suara dering telepon! Kukira dering ponsel, tetapi aku ingat telah mematikan ponsel: aku selalu begitu bila sedang mengetik. Dering telepon itu terdengar berkali-kali.

Aku beranjak ke ruang tengah, menuju meja tempat biasa aku makan. Dering itu terdengar makin jelas dan keras. Ragu-ragu, aku mengangkat gagang telepon tua di meja.

“Halo?” sapaku, lirih dan bergetar.

“Satrio!”

Aku tersentak. Suara berat di telepon tua itu masih kukenal.

“Pak Ramelan?”

“Kau harus ke kuburan Cina, sekarang! Suruh Marjono pergi dari sana. Darman berkhianat. Dia mau pinjam uang, tapi Marjono tak mau kasih. Darman lapor polisi. Cepat, kau ke kuburan Cina! Selamatkan Marjono!”

“T-tapi, Pak.”

“Cepat! Selamatkan Marjono!”

Klek! Sambungan terputus. 

Aku mengerjapkan mata berkali-kali dan menempeleng pipi kanan-kiri. Sakit. Mustahil! Tak ada saluran telepon di rumahku, mengapa telepon tua itu berdering? Ah, aku berhalusinasi, terbawa cerita dalam novelku. Pengarang novel horor kadang begitu, larut dalam imajinasinya.

Masa bodoh dengan dering telepon tua itu!

Aku kembali ke kamar, mengetik, begitu bergairah menumpahkan imajinasi di kepalaku.

Satu jam kemudian, seseorang mengetuk pintu rumahku. Pak RT datang membawa kabar bahwa, Marjono dan beberapa penjudi lainnya diciduk polisi. 

Pak RT mengajakku menengok Marjono di kantor Polsek. Tetapi, rupanya Marjono telah dibawa ke kantor Polres. Seorang polisi di Polsek menyarankan agar kami jangan menengok Marjono hari ini, karena masih diinterogasi. Besok atau lusa saja.

“Saya dengar kau punya telepon tua. Kau mau menjualnya? Saya punya kenalan seorang kolektor barang antik,” kata Pak RT di pelataran parkir Polsek, ketika hendak pulang.

“Tidak, Pak,” sahutku. “Saya tidak akan menjualnya. Saya butuh telepon tua itu.”

Aku memang sangat butuh telepon tua itu. Aku sangat berharap telepon tua itu berdering lagi. Aku sangat ingin meminta maaf pada Pak Ramelan, karena telah gagal menyelamatkan Marjono.

Tiap hari aku menunggu dan berharap telepon tua itu berdering. Tetapi, sampai aku menikah (aku menikah di usia 43), punya anak, Marjono keluar dari penjara dan menghilang entah ke mana, telepon tua itu tak pernah berdering lagi.
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, penulis cerpen kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Cerpen-cerpennya tersiar di Jawa Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, dan media cetak lainnya. Sehari-hari membantu istri jualan soto ayam. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB