x

Iklan

Randomness Inside My Head

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 September 2023

Jumat, 15 September 2023 10:10 WIB

Berkomunitas Seru Memberi Energi Baru bagi Ibu

Menjadi seorang ibu dan ibu rumah tangga berarti menghadapi tantangan baru dalam berelasi dan berkomunitas. Berkat kemajuan teknologi, dan andil pandemi, kesempatan berelasi dan berkomunitas secara daring terbuka lebar. Komunitas tidak hanya sekedar tempat nongkrong dan berbagi kesukaan yang sama. Lewat komunitas, seseorang bisa mendapatkan energi positif untuk memberdayakan dirinya dan memberi manfaat bagi orang lain. Seeperti yang terjadi pada diri saya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjadi seorang ibu adalah sebuah keputusan yang diambil dengan penuh kesadaran untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan tuntutan dan rasa kesepian. Menjadi seorang ibu adalah pengejawantahan the hygiene theory, tidak ada orang yang akan mengeluh dan protes jika semua berjalan baik, lancar, dan seimbang, dan semua orang akan terusik begitu keseimbangan itu terganggu sedikit saja.

Saya menjadi seorang ibu dan ibu rumah tangga 14 tahun lalu setelah melahirkan anak pertama. Ketika itu saya menyadari penuh bahwa lingkungan dan sistem dunia kerja di negara saya ini belum ramah pada perempuan yang ingin menjalani peran ganda: bersumbangsih pada masyarakat sekaligus membesarkan anak. Menjadi ibu dan ibu rumah tangga adalah sebuah keputusan yang saya ambil dengan penuh kesadaran bahwa pendapatan keluarga kami akan berkurang setengahnya, dunia saya akan berubah total dari dunia kantor dengan pekerjaan yang sibuk, organisasi yang dinamis, dan pergaulan yang luas, menjadi dunia rumah tanpa counterpart bagi saya, seorang dewasa yang masih berdaya, bermimpi, dan berambisi.

Kekhawatiran utama saya pada masa transisi dari bekerja di ranah publik ke bekerja di rumah tangga adalah ketiadaan teman dan komunitas. Selama hidup berpindah-pindah antarkota dan antarnegara karena sekolah dan pekerjaan, saya tidak pernah benar-benar sendirian. Saya selalu menjadi bagian dari sebuah kelompok besar yang memiliki tujuan yang sama dengan tujuan pribadi saya. Di sekolah saya berelasi dengan teman-teman yang sama-sama berjuang supaya lulus tepat waktu. Di kantor saya berelasi dengan rekan kerja yang sama-sama berjuang mempertahankan pekerjaan kami demi tetap bisa menafkahi keluarga kami. Menjadi seorang ibu dan ibu rumah tangga adalah pengalaman pertama saya benar-benar terlempar ke dalam kondisi ketersendirian dan kesepian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya berusaha mencari teman baru karena teman-teman saya sebelumnya di sekolah dan tempat kerja lama perlahan-lahan tidak lagi relevan dengan saya. Ketika saya sudah memiliki anak, banyak teman saya yang belum menikah. Mereka tidak mengerti minat saya yang besar pada diskon popok dan susu bayi; saya juga tidak lagi menganggap penting kebutuhan untuk berganti gawai dan berpesiar seperti ketika saya belum berumah tangga. Fokus  dan tujuan hidup kami tidak lagi sama sehingga tak heran jika relasi pertemanan yang saya miliki satu per satu merenggang.

Ketika itu saya mulai mendapatkan teman-teman baru dari orang tua teman-teman anak-anak saya. Menurut saya ini adalah sebuah proses pertemanan yang tidak berjalan natural. Kita memilih berteman dengan seseorang karena kesamaan minat, hobi, atau hal lainnya. Akan tetapi, berteman dengan orang-orang yang saya temui di sekolah anak saya adalah sebuah kondisi yang “dipaksakan”. Kami “dipaksa” berelasi dan menjadi teman (atau tidak) karena anak-anak kami bersekolah di tempat yang sama dengan sistem, proses, dan pendidik yang sama persis. Pada kondisi ini timbul rasa camaraderie, rasa senasib dan sepenanggungan di antara kami.

Dalam bahasa Jepang, ada istilah mamatomo, ketika mama-mama menjadi teman karena anak-anak mereka sudah lebih dulu berteman. Pertemanan semacam ini rentan diguncang perselisihan. Tak terhitung berapa kasus yang saya dengar dan alami sendiri ketika mama-mama berhenti berteman karena anak-anak mereka bertengkar, atau sebaliknya. Dalam banyak kasus, mama-mama sebagai orang dewasa yang tidak lagi sepolos anak-anak, memilih untuk tetap tidak berbaikan setelah sebuah pertengkaran, bahkan ketika anak mereka sudah melupakan konflik yang pernah terjadi.

Komunitas pertama yang saya miliki setelah mamatomo adalah komunitas murid-murid di akademi taekwondo tempat saya dan kedua anak saya berlatih sejak tahun 2016. Kelas yang saya ikuti adalah kelas ibu-ibu orang Korea. Pada tahun yang sama saya mulai menonton drama Korea, jadi saya sangat senang dapat menemukan sebuah komunitas yang beranggotakan orang-orang Korea yang memiliki minat yang sama dengan saya (taekwondo dan bahasa asing, saya berminat mempelajari bahasa Korea dan mereka berminat memperlancar bahasa Indonesia), dan mengerti kesibukan seorang ibu dan ibu rumah tangga sehingga kami bisa relate dengan tantangan dan kesulitan yang kami hadapi sehari-hari.

 

    

Saya bersama murid-murid dari kelas ibu di Akademi Taekwondo Cheon Ji In, Bekasi

Pada bulan Maret tahun 2020 pandemi melanda dunia sehingga pertemanan yang saya jalani tersendat dan komunitas tempat saya tergabung mengecil. Saya tidak lagi bertemu dengan sesama orang tua di sekolah dan di akademi taekwondo. Saling bertegur sapa dan bertukar kabar di grup-grup chatting pun perlahan-lahan berhenti karena semua orang sedang berjuang menghadapi kondisi sulit dan menjaga kewarasan di tengah pekerjaan, studi, keluarga, dan bahaya yang mengintai kesehatan.

Di tengah kondisi berat itu saya menemukan sebuah komunitas menulis bernama Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP). KLIP adalah sebuah komunitas beranggotakan wanita dari berbagai rentang usia, latar belakang sosial (tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, status menikah, dan lainnya), yang memiliki minat sama pada dunia tulis menulis. Anggota komunitas ini beragam mulai dari ibu yang menulis untuk mencatat keseharian dengan keluarga, sampai ibu yang juga berprofesi sebagai novelis dan blogger profesional.

Awalnya saya sangat terkesima bagaimana pandemi dapat membawa hikmah bagi orang-orang yang tidak bergaul luas di ranah publik, yaitu seorang ibu dan ibu rumah tangga seperti saya. Akan tetapi, cara kita berelasi dan berkomunitas yang berubah dari luring menjadi daring adalah tempat bermain baru bagi saya untuk menemukan teman, mengembangkan bakat, dan menghasilkan karya yang dapat bermanfaat bagi orang lain.

Untuk mendorong anggota komunitas ini rutin menulis ada sistem pemberian badge dengan tiga tingkatan yaitu outstanding, excellent, dan good. Masing-masing badge diberikan jika dapat menyetor tulisan selama 30 hari, 20 hari, dan 10 hari dalam sebulan. Saya cocok dengan sistem carrot dan stick seperti ini. Dari aktivitas menulis “demi” mengejar badge setiap bulannya, saya berhasil mengumpulkan tulisan-tulisan saya dalam dua buah buku yang diterbitkan pada akhir tahun 2020, yaitu sebuah kumpulan cerita pendek berjudul ‘The Cringe Stories’ dan sebuah kumpulan esai berjudul ‘Crazy Sick 2020’.

Peluncuran buku kumpulan cerita pendek ‘The Cringe Stories’ diadakan secara virtual pada bulan Maret tahun 2021 dan mendapat dukungan penuh dari komunitas KLIP dimana saya tergabung. Moderator dan narasumber pada acara peluncuran buku tersebut adalah teman-teman saya berkomunitas. Mereka adalah para pembaca pertama cerita-cerita pendek yang saya tulis sebagai setoran harian. Dari mereka saya mendapat input berharga mengenai alur dan rasionalitas cerita. Mereka juga adalah para pengulas pertama buku saya setelah diterbitkan dan secara tidak langsung menjadi pengiklan bagi masyarakat pembaca karya fiksi di Indonesia.

 

Media promosi untuk acara peluncuran buku ‘The Cringe Stories’ yang dihadiri secara virtual

oleh anggota komunitas KLIP dan masyarakat umum yang berdomisili di Indonesia dan Eropa

 

Selama menjadi anggota KLIP, saya dan teman-teman yang memiliki kegemaran yang sama pada drama Korea mendirikan sebuah komunitas berbasis daring bernama ‘Drakor Class’ pada bulan Oktober tahun 2020, dengan anggota yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, Thailand, dan Jepang. Komunitas ‘Drakor Class’ ini hadir melalui blog yang rutin menayangkan tulisan-tulisan yang terinspirasi oleh drama Korea, melalui siaran radio, dan melalui kerja sama dengan Korean Cultural Center Indonesia (KCCI) untuk acara-acara yang mempromosikan drama Korea sebagai salah satu produk kebudayaan. Visi dan misi kami adalah mengajak penonton drama Korea untuk menulis dan mengajak penulis untuk menonton drama Korea. Menurut kami ada banyak hal inspiratif yang dapat diperoleh dari menonton drama Korea, dan lebih dari itu seorang penulis fiksi dapat belajar banyak mengenai penokohan, alur, dan penciptaan konflik dari menonton drama Korea.

 

  

 Berbagai media promosi untuk aktivitas rutin Drakor Class di media konvensional dan media sosial

untuk mempromosikan kegiatan menulis dan menonton drama Korea

 

Pengalaman berkomunitas di akademi taekwondo, Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP), dan Drakor Class membuat saya paham benar apa arti dari berkomunitas seru. Sebuah komunitas bukan hanya tempat untuk bertemu dengan orang baru, bergaul, mengobrol, berbagi kesukaan, dan berbagi cerita kehidupan. Ketiga komunitas tempat saya tergabung memberi saya dan anggota lain wadah untuk mengembangkan potensi diri supaya memberi dampak bagi orang lain. Dari komunitas taekwondo saya menjaga kebugaran tubuh meskipun usia saya terus bertambah. Dari komunitas menulis seperti KLIP dan Drakor Class saya mengembangkan kemampuan menulis saya dari sekedar passion menjadi sebuah skill yang mumpuni, untuk pada akhirnya mencapai mastery dengan cara menghasilkan karya berupa buku dan berbagi ilmu kepenulisan fiksi.

Menurut saya, fungsi komunitas sebagai wadah pengembangan potensi diri adalah added value terbesar dari bergabung dengan sebuah komunitas dan melakoni semua kegiatan yang seturut dengan visi dan misi dari komunitas itu. Lebih dari sekedar tempat nongkrong secara virtual dengan teman-teman yang sepikir dan serasa, lebih dari sekedar sibuk beraktivitas ini dan itu demi seru-seruan, semua kegiatan yang dilakukan di dalam komunitas memberi energi baru bagi saya seorang ibu dan ibu rumah tangga untuk terus berkarya di mana pun saya ditempatkan (entah itu di ranah publik atau “hanya” di rumah), untuk menghasilkan karya yang dapat bermanfaat bagi orang lain, dan last but not least untuk meninggalkan sebuah warisan bagi anak-anak saya, yang akan menetap bersama mereka bahkan lama setelah saya meninggalkan dunia ini.

Saya akan terus berkomunitas untuk mendapatkan energi positif dan menyalurkan energi itu pada orang lain.

 

#CintaIndonesia #komunitas #ibu #iburumahtangga #berkomunitas #berkarya #energipositif

 

Ikuti tulisan menarik Randomness Inside My Head lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB