x

Sumber foto: pixabay.com, desain dengan PowerPoint

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Senin, 18 September 2023 08:21 WIB

Kerinduan Kucing Jalanan

Pertarungan tiga kucing jantan itu tak seimbang. Si Manis terdesak dan darah mengucur dari beberapa bagian tubuhnya. Bercak-bercak darah menempel di lantai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Si Kurus yang berbulu putih selalu kalah berebut makanan. Bila ia menemukan makanan, selalu saja Si Dekil dan Si Jabrik muncul merampas tanpa menyisakan sedikit pun untuknya.

Malam ini dingin menyergap. Di langit, bulan memucat. Si Kurus menyusuri lorong-lorong kota. Perutnya meronta. Empat kakinya lemah melangkah. 

Berhenti di belakang sebuah restoran, sepasang matanya berpendar harapan. Ia akan makan besar malam ini. Tetapi, mendadak muncul Si Dekil dan Si Jabrik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Pergi kau kucing kurus! Ini wilayah kami!” bentak Si Dekil yang berbulu hitam.

“Ini makan malam kami!” hardik Si Jabrik yang berbulu cokelat.

Si Kurus melangkah lemas. Perutnya kosong. Ia nyaris tak punya tenaga untuk melangkah. Melangkah ke mana, entahlah. Bahkan, sebuah mobil meluncur ke arahnya pun ia tak menyadarinya.

Teeeett!!!

Si Kurus merasakan kakinya seperti tiada bertulang, tiada tenaga untuk menghindar.

Ciiiiittt

Seorang wanita separuh baya turun dari mobil itu.

“Ya, Tuhan. Aku hampir mencelakai kucing ini,” ucap wanita itu bergumam, lalu memondong Si Kurus. Membawanya ke mobil, kemudian pergi dari jalanan lengang.

Mereka sampai di sebuah rumah besar. Wanita itu menuju kamar mandi, lalu memandikan Si Kurus. Mengeringkan bulunya dengan handuk, menyisirnya dan memberinya wewangian. Wanita itu tampak mahir mengurus Si Kurus.

“Kitty pasti senang mendapatkan pengganti Si Omen,” gumam wanita itu, tersenyum.

Wanita itu membawa Si Kurus ke sebuah kamar. Seorang gadis remaja terlelap di spring bed pink bergambar Barbie. Wanita itu menyentuh lembut pipi si gadis.

“Bangun, sayang. Ada kejutan untukmu,” ucap si wanita berbisik.

Si gadis remaja menggeliat dan membuka matanya. Ia berseru girang ketika melihat kucing putih di depannya.

“Manis sekali kucing ini, Ma. Apakah kucing ini untuk Kitty?”

“Ya, sayang. Kamu suka, kan?”

“Suka sekali, Mama. Terima kasih ya, Ma? Bagaimana kalau kita beri nama Si Manis?”

“Nama yang bagus. Kucing ini memang manis sekali. Mama sudah memandikannya. Bulu putihnya jadi lembut dan berkilau.”

Si Manis, itu nama baru baginya sekarang.
***
Si Manis sudah akrab dengan penghuni rumah besar itu. Di sana hanya ada satu gadis remaja, si Kitty itu. Ada pula seorang wanita berambut putih sebagian yang selalu merawat dan memenuhi kebutuhan si Manis. Penghuni rumah itu memanggilnya Mbok Yem.

Pada dinding kamar Kitty ada foto lelaki berpakaian putih dan bertopi biru. Si Manis suka memandang foto itu.

“Itu foto papaku. Papaku pilot. Papa sudah meninggal setahun lalu. Pesawatnya jatuh di hutan,” kata Kitty, suatu malam.

Meong!

“Papa dan mama kamu di mana? Mengapa mamaku menemukanmu di jalanan? Sedang apa kamu di sana, saat itu?” Kitty memondong Si Manis dan mengelus-elus tengkuknya.

Meong!

“Aku mengantuk. Aku tidur dulu ya, Manis?” Kitty menguap dan mengerjapkan sepasang mata beningnya.

Lampu kamar padam. Senyap.
***
Pagi ini Si Manis melihat Kitty memakai pakaian yang bagian atas dan bawah berbeda warna. Ada suatu benda di punggung Kitty.

“Oh, ada bagian yang robek di tasmu, sayang.”

“Ya, Ma. Kemarin tersangkut paku di sekolah.”

“Baiklah, nanti mama belikan kamu tas baru.”

Si Manis tidak tahu ke mana Kitty dan mamanya pergi, setiap pagi pada waktu yang sama.

Bila Kitty dan mamanya pergi, hanya ada Mbok Yem di rumah besar itu. Si Manis selalu melihatnya bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, juga memasak. Sedangkan ia memilih berkeliling memasuki ruang demi ruang di dalam rumah itu.

Kini Si Manis berada di kamar Kitty di lantai atas. Dari kaca jendela kamar itu, ia bisa melihat pemandangan di luar. Rumah-rumah yang berhimpitan, kendaraan-kendaran berlalu-lalang, dan ..... astaga!

Si Manis melihat di seberang jalan sana ada dua kucing sedang mengais-ais tong sampah. Si Dekil dan Si Jabrik! 

Celaka, Si Dekil melihat Si Manis. Si Dekil kemudian menoleh pada Si Jabrik. Dua kucing jalanan itu saling bertatapan, lalu menyeberang jalan. Melompati pagar rumah besar itu dan hilang dari pandangan Si Manis. Ke mana mereka?

Gawat. Bila mereka tahu di rumah ini banyak makanan, mereka pasti tak mau pergi. Si Manis bergegas menjauh dari jendela dan berlari menuju dapur. 

Suara gaduh di dapur. Si Manis melihat Mbok Yem berdiri di sudut dapur, berwajah pucat. Sementara di depannya, tampak Si Dekil dan Si Jabrik dalam posisi siap menerkam.

“Hei, jangan ganggu dia!” hardik Si Manis.

Dua kucing jalanan itu menoleh.

“Kau rupanya, Kurus?” kata Si Dekil menyeringai.

“Lihat, dia gemuk sekarang,” sahut Si Jabrik.

“Ho-ho, rupanya banyak makanan di sini. Kau pergilah. Kami akan tinggal di sini,” kata Si Dekil.

Dua kucing jalanan itu melangkah mendekati Si Manis dengan posisi siap menyerang.

“Kalian yang pergi. Ini rumahku!” kata Si Manis.

“Ucapkan selamat tinggal, kawan. Sekarang ini rumah kami,” sahut Si Dekil lalu melompat menerkam Si Manis. Si Jabrik ikut pula menerkam. Mereka bergumul mengeroyok Si Manis. Suara raungan mereka menggema di dapur. 

Pertarungan tiga kucing jantan itu tak seimbang. Si Manis terdesak dan darah mengucur dari beberapa bagian tubuhnya. Bercak-bercak darah menempel di lantai.

Mbok Yem menggigil melihat taring-taring berkilat, namun masih punya sisa keberanian untuk membela kucing majikannya.

“Pergi kalian, kucing-kucing jelek!” Mbok Yem menendang Si Dekil. Tubuh kucing itu melayang dan menghantam dinding, lalu mencoba bangkit, namun terhuyung-huyung.

Di sudut lain, Si Jabrik menatap Mbok Yem, menyeringai garang menampakkan taring-taringnya, siap menerkam.

“Ayo, kemarilah. Akan kutikam kau!” Mbok Yem bersiap dengan pisau di tangan kanannya.

“Kita pergi,” suara Si Dekil mencegah. Si Jabrik menoleh.

“Kau menyerah?” Si Jabrik menyahut.

“Kedua kaki depanku sakit sekali. Cepat, kita pergi!”

Si Manis melihat Si Dekil pergi dengan langkah pincang dan Si Jabrik melangkah lemas.

Mbok Yem bergegas mendekati Si Manis yang tergeletak di lantai dapur. Tubuh Si Manis penuh luka.

“Aku harus menelepon Bu Marina. Kau perlu dokter hewan,” Mbok Yem bergegas ke ruang tengah. Meraih gagang telepon dan bicara dengan nada cemas. Setelah itu ia kembali ke dapur.

“Maafkan aku, Manis. Aku tidak bisa menjagamu dengan baik,” Mbok Yem menangis, memondong Si Manis.

Napas Si Manis tampak lemah. Sorot matanya redup.

“Maafkan aku, maafkan aku. Semoga Bu Marina segera datang. Oh, mengapa lama sekali?” Mbok Yem memeluk Si Manis.

Si Manis terhenyak merasakan hangat dekapan Mbok Yem. Belum pernah ia merasakan dekapan sehangat itu. Sekarang ia tahu bagaimana rasanya punya ibu; sesuatu yang sangat dirindukannya! 
***SELESAI***

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB