x

Sumber fotoL pixabay,com, desain dengan PowerPoint

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Senin, 18 September 2023 13:17 WIB

Ibu Datang Membawa Seorang Gadis

Ah, bagaimana saya harus menjelaskan pada ibu, bila saya lebih senang memikirkan bermacam penelitian daripada menikah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dari warung angkringan dekat halte Jalan Rendevo, saya telah memungut banyak berita. Belum ada setahun saya di kota ini, tetapi saya merasa telah bertahun-tahun menghuninya. 

Puluhan berita di warung yang buka pukul lima sore hingga dini hari itu, telah menyatukan saya dengan kota ini. Malam ini bertambah lagi koleksi berita yang saya dapatkan; tentang pelukis buta.

Seperti malam-malam yang lalu, pembawa berita malam ini adalah Joko Pinutur, penyair yang puisi-puisinya sering saya lihat di koran-koran lokal. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jokpin, begitu kawan-kawan memanggilnya adalah perokok berat. Mulutnya bagai cerobong pabrik yang tiada henti mengepulkan asap. Bibirnya legam karena nikotin. 

Konon, menurut cerita pemilik warung angkringan yang didapat dari teman-teman Jokpin, penyair itu selalu menghabiskan honor puisi-puisnya untuk memborong tembakau – ah, ya, Jokpin ini penggemar rokok lintingan.

Malam ini, setelah menyulut batang rokok ketiga, Jokpin berkata: “Tubuhnya kurus dan tinggi. Kami panggil ia Kamto Jangkung. Sesuai julukannya, ia selalu memakai kacamata hitam.”

“Ia buta sejak lahir atau bagaimana?” tanya saya, sembari mencomot pisang goreng.

Jokpin menaikkan kaki kirinya ke bangku panjang. Masih pukul 8 malam, cuaca dingin dan langit hitam pekat. Hanya saya dan Jokpin pengunjung di warung itu, sehingga ia bisa leluasa menaruh kakinya. 

Ada gemuruh di langit. Semoga Tuhan menunda menurunkan hujan, sehingga saya bisa mendengarkan berita dari Jokpin dengan lebih jernih.

“Sebetulnya ia bukan benar-benar buta. Matanya masih mampu menangkap cahaya, walau mungkin hanya seberkas. Sebuah penyakit telah merenggut hampir seluruh penglihatannya.”

“Glukoma?” tanya saya menebak, asal menebak saja, karena sebetulnya saya tidak tahu apa itu glukoma, tetapi pernah mendengarnya. Konon, mantan pemain Juventus era 2000-an bernama Edgar Davids yang selalu mengenakan kacamata saat berlaga di lapangan hijau itu juga kena glukoma. Apa itu glukoma? Tak tahu saya!

“Mungkin, atau...ah entahlah. Pokoknya penyakit aneh bagi telingaku. Ia pelukis hebat. Kau cukup mendeskripsikan objek apa yang kau pikirkan, Kamto Jangkung akan mewujudkannya ke kanvas dengan sangat detail.”

“Sehebat itukah?”

“Kalau kau tak percaya, berkunjunglah kau ke rumahnya. Jalan Paleto Nomor 10.”

“Kalau kau yang membawa berita, aku percaya,” kata saya menyeringai.

“Baguslah!” seru Jokpin lalu tertawa. Ia menurunkan kaki kirinya, duduk menghadap gelas kopi di depannya. Menyeruput kopi, menghisap rokok, lalu menoleh, menatap saya.

“Tiga malam kau menghilang, dosen muda kandidat doktor,” kata Jokpin menyeringai. “Ke mana saja, kau?”

“Ada beberapa tugas kantor, Bang,” kata saya.

“Lembur maksud kau?” Jokpin menukas. “Wah, tebal dong?” lanjutnya tersenyum lebar dan sepasang mata cekungnya mengerjap.

Saya mengerti bila Jokpin telah mengucapkan kata tebal dengan menyeringai dan mata mengerjap, itu sinyal bagi saya untuk membayarkan semua yang ia santap malam ini.

Ada gemuruh lagi di langit yang makin hitam pekat. Cuaca makin dingin.

“Tambah kopi lagi, Bang?” tanya saya.
***
Sebetulnya saya enggan pulang kampung. Tetapi bila saya tidak pulang, ibu akan marah. Saya sudah dapat membayangkan yang terjadi ketika saya sampai di depan pintu rumah. Ibu akan memeluk saya (ah, sebetulnya saya malu sudah setua ini masih dipeluk ibu), lalu sepasang mata tua ibu memandang ke halaman dan bertanya: “Mana calon istrimu?”

“Kapan-kapan sajalah, Ibu. Satrio belum sempat memikirkannya,” kata saya, selalu begitu.

“Kapan-kapan itu kapan? Tahun lalu kamu bilang nanti selesai wisuda S2. Hari ini apa kamu akan bilang nanti selesai wisuda S3?” tanya ibu yang sebetulnya membuat saya kesal, tetapi sebagai anak kesayangannya, saya harus memaksa diri untuk tersenyum, meski hanya segaris.

Ah, bagaimana saya harus menjelaskan pada ibu, bila saya lebih senang memikirkan bermacam penelitian daripada menikah?

“Ingat, Satrio, kamu sudah 37. Sudah jadi Wakil Dekan, sebentar lagi Doktor. Tunggu apa lagi, to, Nak? Kalau sampai bulan depan kamu belum membawa calon istri, ibu yang akan membawakannya untukmu!”

Saya tertegun. 

“Seperti apa calon istri yang kamu inginkan?” desak ibu.

Ah, seperti apa calon istri yang saya inginkan pun, saya lupa memikirkannya.
***
Saya penasaran dengan kehebatan Kamto Jangkung. Minggu lalu, berbekal petunjuk dari Jokpin, saya berhasil menemukan alamat rumah si Pelukis Buta. Kami duduk di ruang tamu. Saya mendeskripsikan objek yang ada dalam pikiran saya yang akan dilukis olehnya.

“Sebetulnya ini klise, tetapi saya harus mengatakan bila wanita itu bertubuh gitar. Tinggi sekira 160. Rambut sebatas leher, wajah agak bulat. Bibir bawah agak tebal. Hidung agak mancung dan agak besar. Matanya terkesan liar dan ....”

“Dan apa?” si Pelukis Buta menukas.

“Menggairahkan,” kata saya dengan wajah menghangat.

Hari ini saya mengambil lukisan itu. Mulut saya membulat dan mata membelalak ketika melihat objek yang ada dalam pikiran saya telah menjelma ke dalam kanvas berbingkai 40 x 60 cm. 

“Apa Anda pernah bertemu langsung dengan Dewi Persik?” tanya saya seketika, tetapi sedetik kemudian saya menyesal telah menanyakannya. Tak pantas saya bertanya berkait dengan penglihatan pada orang yang penglihatannya buruk seperti si Pelukis Buta. 

Saya bersiap untuk meminta maaf, tetapi rupanya si Pelukis Buta menunjukkan ketabahannya dengan tersenyum tipis dan bertanya: “Dewi Persik siapa?”

“Ah, lupakanlah,” sahut saya, segera membayar, lalu membawa lukisan itu pulang.

Saya memajang lukisan itu di dinding kamar. Sekarang saya percaya pada kehebatan si Pelukis Buta. Saya memandangi berlama-lama lukisan itu dan perlahan ada yang bergejolak dalam dada saya.
***
Ibu menepati janji, karena saya tidak pulang kampung bulan ini. Pada Minggu sore sebuah Avanza hitam berhenti di halaman rumah kontrakan saya. Pak Jamin, supir keluarga, keluar dari mobil lalu membukakan pintu belakang mobil. 

Ibu berjalan menggandeng seorang gadis berkulit coklat cerah, mendekati saya yang berdiri terpaku di teras. Ketika bertatapan dengan gadis itu, dada saya bergejolak; gejolak yang sama ketika saya memandang lukisan karya Si Pelukis Buta di kamar.

“Satrio, kenalkan ini Lastri. Kami akan menginap di sini beberapa hari. Kalian bisa berkenalan,” kata ibu, lalu bergantian memandang saya dan Lastri, gadis itu. 

Kami duduk di ruang tamu. Saya dan Lastri duduk berhadapan. Dada saya berdebar kencang, sementara Lastri menunduk malu-malu. Ibu duduk di sebelah saya dan berkali-kali melirik pada saya dan Lastri. 

Ibu hanya sebentar duduk, lalu bangkit dan berkata: “Ibu akan ke kamarmu. Ibu tahu apa yang harus ibu lakukan; merapikan kamarmu.”

“Tapi, Ibu ....” saya menukas, tetapi ibu tak menghiraukannya. Ibu terus melangkah menuju kamar saya.

Debar di dada saya makin kencang. Bagaimana kalau ibu tahu bahwa, Lastri dan gadis dalam lukisan di kamar saya adalah gadis yang sama? 
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Cerpen-cerpennya tersiar di koran Radar Bromo, Solopos, Suara Merdeka, Jawa Pos, Analisa, dan media cetak lainnya. Ia juga menulis dongeng yang tersiar di majalah Bobo, Suara Merdeka, Tribun Timur, dan media lain baik cetak maupun daring. Sehari-hari membantu istri jualan soto ayam. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB