x

Sejak Tahun 1971 hingga kini, membantu melestarian orangutan di Kalimantan Tengah

Iklan

Edy Hendras Wahyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Juli 2023

Senin, 25 September 2023 12:27 WIB

50 Tahun Mmebantu Melestarikan Orangutan

Sejak tahun 1971 hinge kini, Prof Dr. Biruté Mary Galdikas membantu melastarian orangutan di Kalimantan Tengah. Lebih dari 300 an orangutan Yatim piatu bekas peliharaan yang dilepasliarkan ke alam habitatnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Para peneliti primata, pasti pernah dengar, atau bersua dengan Prof. Dr. Biruté Mary Galdikas. Wanita berkebangsaan Canada yang bersuamikan pria Kalimantan Tengah dari suku Dayak itu, sejak awal tahun 1971 telah menjelajah rimba di Kalimantan untuk melakukan penelitian orangutan. Saat itu memang belum banyak peneliti yang melakukan penelitian orangutan khususnya, hanya ada di Stasiun Penelitian di Ketambe, Aceh. Hingga kini pusat penelitiannya, masih bejalan terus serta programnya untuk membantu melestarikan orangutan berjalan dengan baik.

Saat masih berusia 6 tahun, Biruté terinspirasi ketika membaca buku di perpustakaan pertamanya, yang berjudul Curious George. Biruté terinspirasi oleh pria bertopi kuning dengan monyetnya yang nakal. Pada kelas dua, di dalam benaknya terpikirkan untuk menjadi seorang penjelajah, seperti pada gambar tersebut.

Sebelum menjelajah ke Kalimantan Tengah, dia kuliah di University of California at Los Angeles (UCLA), dan mendapatkan gelar sarjana dalam psikologi dan zoologi pada tahun 1966 dan gelar master dalam antropologi pada tahun 1969. Untuk mengambil PhD, dia perlu melakukan penelitian, dan dia mengambil penelitian tentang orangutan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dia terinspirasi dengan para peneliti kera besar sebelumnya. Sebut saja Dian Fosey yang melakukan penelitian Gorila dan Jane Goodall yang melakukan penelitain Simpanse. Kedua Wanita primatologis itu, melakukan kegiatan di Afrika. Sehingga ketiga Wanita Tangguh sering kali disebut sebagai tiga serangkai peneliti kera besar atau trimates.

Namanya semakin mendunia, ketika majalah National Geographic bulan Oktober 1975, menampilkan foto cover yang menampilkan dirinya, yang sedang menggendong dan menuntun anak orangutan. Serta edisi bulan Juni 1980, yang memajang foto anak pertamanya yang sedang mandi dengan anak orangutan. Samakin tersohor di berbagai belahan bumi, dan semakin banyak orang untuk melihat dari dekat dan mengunjunginya.

Semula kegigihan Biruté untuk melakukan penelitian orangutan itu banyak saran dan masukan dari kawan sejawat di perguruan tinggi. Bila memungkinkan, jangan melakukan penelitian orangutan di alam. Karena orangutan liar susah ditemui serta hidupnya yang soliter dan selalu di pohon akan menyulitkan dalam pengamatan. Namun Biruté keukeh untuk melakukannya. Karena memang belum banyak yang mengungkap kehidupan kera besar itu di alam bebas.

Untuk mendapatkan dukungan dalam penelitiannya, pernahdilakukan bertemu dengan beberapa petinggi negeri ini dan juga bekesempatan bersua dengan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX di istana negara. Selain itu juga berkunjung dan berdiskusi dengan Bapak Dr. Soedjarwo, yang menjabat Menteri Kehutanan Kabinet Pembangunan IV tahun 1983-1988.

 

Penghargaan.

Berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri, telah diterimya. Sebagai peneliti dan berkegiatan dialam serta pengembangan masyarakat untuk kegiatan dibidang ekonomi dan pelestarian alam, Biruté pernah mendapatkan pengharaan yang bergengsi dibidang lingkungan, yaitu Kalpataru dan Medali Satya Lencana Pembangunan dan juga penerima Tourism Award. Sedangkan penghargaan dari luar negeri ada sekitar 18, baik yang terkait dengan lingkungan ataupun sosial.

 

Penghargaan dalam acara peringatan 50 tahun Dr. Biruté Mary Galdikas, yang dilaksanakan secara sederhana di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem berkenan memberikan penghargaan kepada Dr. Biruté Mary Galdikas, atas dedikasinya dalam penyelamatan orangutan di Kalimantan Tengah.

 

Prof Dr. Biruté Mary Galdikas, yang telah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia itu sejak berkecimpung dalam membantu melestarikan orangutan, lebih dari 300 melepas orangutan kea lam habitatnya. Di awal kegiatan ada seorang Jenderal Angkatan Darat dan dan juga seorang petinggi kepolisian menitipkan orangutan peliharaahnya untuk dilepasliarkan. Hal ini tak lepas dari bantuan media untuk menggugah para pemilik kera merah itu untuk tidak memelihara orangutan.

 

Dan kini orangutan yatim piatu yang ada di Pusat Perawatan Orangutan Di Desa Pasir Panjang, Pangkalan Bun, Kalteng masih ada 200an orangutan besar dan kecil. Menunggu untuk dilepasliarkan. Mereka sebelum dilepasliarkan, setiap hari belajar di “sekolah hutan” untuk anak-anak orangutan untuk belajar membuat sarang dan makan berbagai jenis tumbuhan hutan, agar kelak Ketika dilepas di hutan, dapat memilih dan memilah berbagai jenis tumbuhan di hutan. Semua diawasi oleh para pengasuh dari pagi hingga sore, selama di sekolah hutan.

 

Perintis kepariwisataan.

Semakin dikenal oleh para pelancong minat khusus ini, berbondong-bondong wisatawan untuk datang dan melihat dari dekat, kegiatan pelestarian orangutan. Sejak tahun 1984, memulai berdatangan wisatawan, waktu itu didampingi langsung olehnya. Karena memang tahun-tahun itu belum banyak pelaku wisata minat khusus di Indonesia, khususnya yang menjelajah rimba.

 

Wisatawan minat khusus ini, umumnya tergabung dalam sebuah Lembaga yang mengkoordinir perjalanan wisata yang memang mengkhususnya untuk berkunjung ke berbagai belahan dunia, di mana ada kegiatan untuk melestarikan alam dan melindungi satwa langka. Rombongan demi rombongan berdatangan. Kedatangan mereka untuk melihat alam dan menjelajah hutan, dibantu oleh beberapa mahasiswa, yang kebetulan sedang melakukan penelitian serta karyawan yang sudah membantu lama untuk kegiatan penelitian. Sehingga mereka itu paham betul medan di hutan.

 

Perkembangan wisatawan minat khusus yang berkunjung samakin membludak, untuk ukuran daerah wisata minat khusus, dengan sejumlah 10 – 15 ribu, sudah membuat krodit di sungai yang menjadi akses kunjungan. Dan belum ada pembatasan jumlah kunjungan harian. Namun kunjungan wisatawan ini, dapat memberikan pemasukan bagi para pelaku wisata, seperti biro perjalanan wisata, transportasi, pemandu, penyedia makanan dan juga pemasukan untuk pengelola kawasan, yang jumlahnya tidaklah sedikit. Bila dihitung minimal 10 ribu wisatawan asing pertahuan, dengan harga paket wisata lebih kurang 3,5 juta rupiah, maka uang yang dikeluarkan wisatawan untuk melihat orangutan lebih dari 35 milyar. Luar biasa.

 

Kunjungan wisatawan minat khusus semakin banyak, ketika Biruté Galdikas, bersama dengan pelaku konservasi lain seperti pelestari gajah di Afrika, didokumentasikan dalam film Born To Be Wild. Film ini, sukses membawa nama Indonesia menjadi terkenal di mata dunia. Film bercerita upaya penyelamatan orangutan di Indonesia ini telah menginspirasi banyak orang di samping juga telah mempopulerkan satwa khas/endemik di hutan Indonesia terhadap dunia. Film yang diputar perdana di Amerika Serikat, 8 April 2011 silam ini, baru diputar perdana di Indonesia pada 20 Februari 2012, di Teater Imax Keong Emas Taman Mini Indonesia Indah atau TMII, Jakarta.

 

Born to be Wild yang diproduksi Warner Bros dan IMAX Filmed Entertainment mengambil tempat Kalimantan Tengah, dan hutan tropis Kenya. Sang Produser film, Drew Fellman, menyatakan film itu ia buat karena terinspirasi pulau Kalimantan.

 

 

Pendidik di lapangan.

Hampir 100 mahasiswa dalam dan luar negeri, yang dididik langsung di lapangan untuk melakukan penelitian berbagai kehidupan di alam bebas. Mulai dari peneliti pacet, tumbuhan, berbagai satwa dan tentu beberapa primate yang ada. Serta yang paling banyak melakukan penelitian adalah orangutan, baik perilakuknya, ekologi kehidupan serta makanan yang dikonsumsi orangutan. Para mahasiswa Biruté Galdikas sudah banyak yang menjadi pakar konservasi dan mendunia, tak hanya gelar sebagai master, doktor, namun juga tak sedikit yang mendapatkan gelar professor.

 

Ingat nama-nama orangutan.

Daya ingat Biruté Galdikas, memang luar biasa, untuk mengingat nama-nama orangutan, baik yang liar ataupun yang dalam tahap rehabilitasi, terutama orangutan yang pernah diamati dan diteliti perilakunya. Mamang wajahnya hampir sama, namun setiap individu, memiliki karakter dan ciri yang berbeda.

 

Pemberian nama itu digunakan untuk mengabsen kehadiran ketika diberikan makanan tambahan serta memudahkan dalam melakukan penelitian di alam. Sedangkan untuk di alam, memudahkan dalam pengambilan data, untuk memudahkan dalam mengolahnya.

 

Prof. Dr. Biruté Mary Galdikas, kini sudah berusia lebih dari 77 tahun, namun semangat ketika ke hutan, tak kalah dengan para peneliti muda, dan sudah menyiapkan penerus untuk melanjutkan cita-citanya dalam membantu melestarikan orangutan.

Ikuti tulisan menarik Edy Hendras Wahyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu