x

Karikatur ketika mambantu memberikan obat untuk kesehaltan orangutan yang sakit.

Iklan

Edy Hendras Wahyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Juli 2023

Senin, 25 September 2023 16:10 WIB

Para Dokter, Where Are You?

Sebuah pengalaman yang tak terlupakan ketikan membantu mengobati orangutan di tengah Rimba Kalimantan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan, ketika membantu dalam usaha melestarikan orangutan. Waktu itu memang belum banyak dokter hewan yang spesialis dalam kegiatan pelestarian, seperti untuk kegiatan yang focus untuk Kesehatan orangutan. Memang latar belakang bukan dokter hewan, atau kesehatan, namun belajar ilmu biologi, ada sedikit pengetahuan tentang beberapa penyakit.

Berbagai jenis penyakit kadang-kadang menyerang dengan tiba-tiba pada orangutan, baik yang di pusat rehabilitasi, pusat perawatan. Saat terjadi musim kering yang cukup panjang, beberapa orangutan terpaksa dibius untuk diobati. Penyakitnya sangat membahayakan bagi orangutan. Kulitnya terserang jamur pada sekujur tubuh, kadang sudah bau anyir. Yuni, nama orangutan di Camp Leakey yang saat itu sudah mempunyai anak, tak luput terserang penyakit ini. Karena sudah dewasa dan kuat, Yuni sulit untuk diobati, terpaksa dibius, dimandikan dan diobati. Memang tak memerlukan waktu lama, yang sudah diobati sekali saja, kurang dari seminggu menunjukkan gejala yang membaik.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Biasanya panggilan tiba-tiba ini terjadi bila ada orangutan yang memperlihatkan gejala sakit. Harus disiapkan semuanya, kalau perlu dikonsultasikan kepada dokter terlebih dahulu. Speed boat selalu siap setiap saat kalau ada panggilan. Tak peduli pagi, siang, sore atau tengah malam, siap berangkat. Panggilan menggunkan HT (Handy Talky), atau titip pesan ke masyarakat yang akan melakukan perjalanan ke kota, untuk disampaikan ke pusat perawatan orangutan.

 

Panggilan mendadak pernah terjadi di sebuah kamp pelepasliaran yang nun jauh di tengah rimba, karena ada anak orangutan yang sakit. Lebih kurang 45 menit menggunakan perahu cepat itu dari Pelabuhan Kumai ke lokasi tempat rehabilitasi. Setelah mengambil ransel yang berisi obat-obatan, setengah berlari menuju tempat menyimpan sepeda butut yang berada di balik semak belukar. Mengayuh sepeda menuju lokasi yang ada di tengah hutan lebih kurang 7 km. Sesekali harus turun untuk memikul sepeda saat melewati akar, pohon roboh atau rawa kecil yang berada di sepanjang jalan.

 

Setelah hutan dan rawa kecil terlewati, masih harus menelusuri padang ilalang sejauh mata memandang. Jadi ingat, seperti seorang dokter hewan di sebuah film Australia yang terbang ke sana ke mari atau menggunakan kendaraan melakukan tugas dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengobati. Tapi kini di tengah rimba raya Kalimantan, menggunakan sepeda tua, kadang-kadang saat digenjot pedalnya berbunyi atau rantainya lepas karena di makan usia, tidak pernah diberi minyak pelumas, atau kadang-kadang harus menabrak pohon dan semak saat menikung di turunan dan remnya blong.

 

Lamunan buyar saat terdengar suara-suara anak-anak orangutan saat diberi minum susu di pagi hari. Segera “memarkir” sepeda tua di sebuah pohon dan mempersiapkan segalanya untuk melakukan “pemeriksaan” ala dokter.

 

Mencoba melihat raut wajahnya, perutnya kembung atau tidak, detak nafas masih stabil atau tidak. Saran dari dokter, kalau ada tanda-tanda yang saya temukan pada orangutan, harus kuberikan obat tertentu. Selain itu, selalu membawa buku pegangan “bila dokter tak ada” sebagai buku pintar dalam memberikan pengobatan. Walaupun buku itu untuk manusia. Kami menganggap penyakit pada orangutan seperti pada manusia, karena semua penyakit yang di derita berasal dari manusia juga.

 

Begitulah kerja “dokter karbitan” yang mondar-mandir ke sana kemari untuk memberikan pengobatan kepada orangutan. Sesekali harus memegang tangan orangutan memeriksa detak nadi, menggunakan stetoskop untuk mendengarkan detak jantung atau di depan mikroskop untuk melihat kotoran, apakah ada penyakit, bakteri atau cacing yang berada pada perut orangutan. Semua pengalaman menjadi “dokter karbitan” ini  diperoleh dari berbagai orang yang memang dokter hewan asli.

 

Orangutan Ketagihan Alkohol.

Menjadi dokter karbitan, banyak menemui berbgaia hal, baik penyakit ataupun perilaku yang aneh. Suatu hari ada sesorang konsultan asing, yang bekerja di perusahaan di Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa dia selesai kontrak dan akan kembali ke negaranya. Hanya saja dia punya orangutan yang perlu dilepasliarkan ke alam. Menurut ceritera `perawatnya`, Toto (nama orangutan) sudah biasa minum minuman yang mengandung alkohol seperti apa yang diminum `tuannya` yang sering minum minuman keras. Kemanapun Toto pergi, ke dapur atau kamar, yang dicari hanyalah bir, tak ada bir, anggur pun jadi atau minuman keras buatan luar lainnya.

 

Tahun 80an, memang belum ada Lembaga yang membantu dalam kegiatan orangutan bekas peliharaan. Hanya Orangutan Research and Conservation Projek (ORCP) yang berada di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah yang sudah melakukan itu. Banyaknya publikasi nasional ataupun internasional, banyak yang mengenal kegiatan ORCP. Sehingga sering mengambil orangutan bekas peliharaan ke berbagai darah di Kalimantan.

 

Adanya informasi twersubut, staft ORCP, terbang ke Balikpapan, dan mengambil orangutan tersebut. Setelah dibawa ke Pangkalan Bun Toto mempunyai perilaku yang lain. Sering murung, diam tak ada nafsu bermain, mudah tersinggung, kalau didekati temannya untuk bermain langsung akan menggigit, nafsu makan nyaris tak ada, dan badan semakin kurus.

 

Kotoran diperiksa, tak ada cacing ataupun telur cacing di dalam kotorannya. Beberapa buah-buahan dicoba diberikan, ditampiknya. Jajanan pasar hanya dicium, lantas dicampakkannya. Roti atau kue yang mungkin menjadi makanan pokoknya ketika jadi anak angkat orang asing dicicipi saja tidak. Buah-buahan pun hanya dilirik saja, dan tak disentuh. Sering terlihat melamun (mungkin) diam tak bergerak, acuh dan cuek, Mungkin begini dampak ketagihan alcohol, seperti pada manusia.

 

Kami berkonsultasi dengan dokter hewan inpres, salah satu dokter yang membantu peternakan sapi di Kabupaten Kotawaringin Barat. “Pak Win punya vitamin untuk merangsang nafsu makan”.

“Buat siapa mas”, tanya beliau ringkas.

“Untuk orangutan sudah beberapa hari nggak mau makan, kasih vitamin nggak mempan”, kami jelaskan perilaku dan asal usul orangutan.

 

“Untuk orangutan nggak ada mas, ada buat sapi hehehheh”, sambil tertawa beliau masuk ke ruang obat, memilih-milih beberapa vitamin untuk menambah nafsu makan.

“Tak apalah Pak Win, dikasih sesuai dengan berat tubuh saja”, pinta saya sambil merayu.

 

Akhirnya dokter hewan itu memberikan vitamin perangsang makan untuk sapi kepada Toto, melalui suntikan. Dosis hanya dia lah yang tahu. Satu hari, belum kelihatan. Diberi makan, masih dicium-cium. Buah dan makanan lain atau susu, masih dicampakkan, hanya dilihat. Mungkin tak ada nafsu makan.

 

Hari berikutnya, seperti kesetanan, Toto melahap segala makanan yang diberikan, kadang susu sebotol mineral, 1,5 liter habis ditenggaknya. Makanan apapun yang diberikan, langsung dimakan, lapar, efek obat perangsang makanan. Dan kemajuan itu saya sampaikan ke dokter hewan, agar bisa digunakan untuk pembelajaran ke depan.

 

Sedikit demi sedikit Toto mulai sembuh dari ketagihan alkohol. Mulai mau bermain sama kawan-kawan, ketika memasuki sekolah alamnya orangutan bersama dengan anak-anak `senasib` di hutan, bercanda saling pukul dan gigit, bergumul gulat sumo ala orangutan, mulai bermain di pohon, membuat sarang walau belum sempurna, cari makanan di hutan waktu dilatih hidup mandiri di rimba. Sekitar 3 bulanan, Toto dalam asuhan untuk memulihkan kondisi tubuh yang sehat. Periksa faeces baik, detak jantung bagus, tak nampak pilek atau yang lain. Toto pun siap dilepas liarkan.

 

Setelah beberapa lama dilepas di hutan , tatkala buah kerantungan (durian hutan yang ada beberapa jenis) melimpah ruah di hutan, Toto tak nampak di pusat pelepasan orangutan, ketika pagi dan sore diberikan makanan tambahan.

 

Bisa jadi TOTO berkelana di rimba, mencari makanan saat musim buah melimpah. Ketika staff ke hutan untuk melakukan aktifitas rutin, dua kali berjumpa, dia sedang asyik makan durian yang berserakan di dasar hutan. Mungkin `hobi` Toto menenggak alkohol tersalurkan kembali atau ketagihan, saat mencicipi durian yang gratis. Durian yang baunya harum menyengat dan bisa buat orang `teler`. Toto pun tak mau datang lagi ke kamp. Mungkin selalu menunggu, kapan buah durian tiba lagi.  Ah…kau To, ada-ada saja, jangan sampai ketagihan durian, soalnya durian di hutan berbuah setiap 3 tahun sekali. Selamat jalan To!.

 

Ikuti tulisan menarik Edy Hendras Wahyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

23 jam lalu