x

Sumber foto: pixabay.com, desain dengan PowerPoint.

Iklan

Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2023

Jumat, 6 Oktober 2023 17:32 WIB

Jangan Berurusan dengan Polisi

Heri Sutomo masih ingat pesan ibu agar jangan pernah berurusan dengan polisi. Heri mengerti. Selama bertahun-tahun tinggal di asrama Polsek, Heri tahu bagaimana perilaku polisi pada masa itu. Heri tak mau berurusan dengan polisi, apalagi menjadi polisi!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat Heri lulus SMA tahun 1995, ayah telah menyiapkan uang tiga juta rupiah untuk bekal Heri menjadi polisi, tetapi Heri menolak. Heri ingin kuliah manajemen lalu jadi pengusaha, minimal jadi pedagang di pasar.

Ayah tak mau bicara dengan Heri, berhari-hari. Ibu jadi penengah, penyambung lidah. 

“Kamu boleh kuliah, tapi biaya hidup di Semarang kamu cari sendiri. Ayah hanya mau bayar SPP kamu saja,” kata ibu menyampaikan hasil rundingan dengan ayah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Heri tak perlu jadi polisi, kan?”

“Sudah jangan bahas itu lagi. Mulai sekarang kamu bersiaplah jadi pengusaha.” 

Heri diterima di Fakultas Ekonomi sebuah PTS di kawasan Bendan Duwur, Semarang. Bersama ibu, Heri berkeliling dari satu gang ke gang lain, hingga mendapatkan tempat kos yang layak. Sebelum pulang ke Batang, ibu menyerahkan amplop coklat. 

“Ini tabungan ibu. Kamu hematlah. Dan, cepatlah cari kerja,” pesan ibu.

Enam bulan jadi mahasiswa, Heri belum menemukan usaha yang akan ditekuninya. Ia masih mencari-cari peluang dan kadang membuatnya susah tidur. Persediaan uang akan terus menipis sampai akhirnya akan habis kalau ia belum juga menemukan atau menciptakan peluang usaha.

Pada Wulaningsih, teman seangkatan, Heri kerap berkeluh kesah. Mereka cepat akrab meski kenal belum lama, karena mereka sedaerah. Heri dari Batang, Wulaningsih dari Pekalongan. Jarak kota mereka cuma sejengkal, tapi mereka bertemu di Semarang.

“Buka warung mi instan saja. Tidak perlu repot meracik bumbu. Bisa buka sore setelah rampung kuliah,” usul Wulan.

“Bagaimana kalau soto ayam tauco? Ibuku pernah mengajariku bikin tauto ayam,” sahut Heri.

“Tauto ayam? Aku juga bisa. Tapi, repot bikin bumbunya,” tukas Wulan.

“Warung mi instan saja, ya?”

“Ya, aku yakin kita bisa melakukannya.”

“Kita?”

Wulan tergeragap. Semburat merah merona di pipinya yang putih.

“Maksudku, kamu bisa melakukannya. Buka warung mi instan,” kata Wulan.

“Baiklah. Kita akan buka warung mi instan,” sahut Heri.

Wulan tersipu.

Mereka membuka warung tenda di tepi jalan dekat tempat kos Wulan di Sampangan, tak jauh dari kampus mereka. Warung yang menyediakan mi instan, gorengan, roti dan kue, kopi, jeruk, teh, jahe dengan harga terjangkau kantung mahasiswa, yang buka mulai pukul 17.00 hingga 22.00. Kalau malam minggu buka sampai pukul 02.00 dini hari. 

Warung mereka ramai dan semakin ramai. Heri dan Wulan kerepotan, lalu mengajak Endah, adik angkatan, untuk membantu mereka. 

Heri sering berkirim surat pada ibu tentang perkembangan warungnya. Heri tak sempat untuk pulang kampung sering-sering, karena sibuk dengan warungnya. Saat Heri dan Wulan KKN, warung mereka diurus oleh Endah dan pacarnya.

Tak terasa sudah tiga tahun lebih Heri membuka warung dan hidup dari hasil jualan mi instan. Tiba pula Heri dan Wulan menyusun skripsi dan berharap paling lama setahun ke depan sudah wisuda, menjadi Sarjana Ekonomi. 

Suatu sore ibu berkunjung ke warung Heri. Calon sarjana itu terkejut karena kedatangan ibu yang mendadak. Mengapa ibu tidak mengirim telegram, atau setidaknya menelepon ibu kos terlebih dulu? Sengaja buat kejutan, kata ibu.

“Apakah kamu Wulan?” tanya ibu.

“Benar, Ibu. Saya Wulan asisten Mas Heri,” sahut Wulan membungkukkan badan dan mencium tangan ibu.

“Asisten atau pacar?”

Wulan tergeragap, menundukkan kepala dan tersipu.
***
Dua kios itu digabung menjadi satu hingga menjadi kios yang besar. Bercat merah, tampak mencolok di antara kios-kios di kompleks Pasar Batang. Di atas pintu terpampang tulisan timbul dari semen: Warung Tauto Ayam Heri & Wulan. Warung yang selalu ramai pengunjung.

Heri dan Wulan telah memiliki anak tunggal yang kini beranjak dewasa. Kukuh Satria, anak tunggal mereka, sebentar lagi lulus SMA. Kukuh bertubuh jangkung, 178 cm, jago voli dan silat Tapak Suci. Sikapnya tegas dan disiplin. Usai salat subuh, Kukuh selalu mengajak kakeknya lari keliling kompleks perumahan. Kalau Minggu, lari Batang-Pekalongan pp.

Keberadaan Kukuh telah mencairkan kebekuan hubungan Heri dan ayah (kakek Kukuh). Komunikasi Heri dan ayah kembali lancar; mancing atau bersepeda keliling kompleks perumahan bersama. 

Ayah sudah purnawira dan tampaknya tak peduli Heri mau jadi apa. Sekarang sudah ada Kukuh yang tampak memberikan harapan baru bagi ayah.

Kukuh yang saat TK punya beberapa seragam polisi-polisian pemberian kakek, masih menyimpannya hingga remaja. Di sekolah, setiap ada teman yang bertanya hendak jadi apa dirinya kelak, Kukuh dengan semangat menyala menjawab, “Jadi polisi seperti kakekku!”

Heri sudah tahu pula cita-cita anaknya. Itu membuat Heri teringat masa-masa dirinya tinggal di asrama polsek. Memang ada polisi yang jujur, tetapi berapa banyak? Sejujur-jujur orang kalau berada dekat kubangan akan terpercik lumpur pula. Heri tidak rela bila Kukuh seperti itu; terpercik lumpur.

Maka, sebelum terlambat Heri harus mencegah. “Kamu memang cucu polisi, tetapi jangan sekali-sekali kamu berurusan dengan polisi, apalagi jadi polisi!” kata Heri pada Kukuh.

“Mengapa, Ayah?”

“Polisi di negeri ini kotor!”

“Termasuk kakek?”

Heri tercekat. Ia tak pandai berdebat. Penjelasan-penjelasan yang ada di pikirannya, mampat. Maka ia pun mendamprat.

“Pokoknya tidak boleh! Titik!”

Seperti di masa lalu, hubungan ayah dan anak itu pun renggang. Kukuh lebih sering berada di rumah kakek dan nenek, daripada di rumah Heri dan Wulan. Wulan sudah menasehati Heri untuk jangan egois. Tetapi Heri tetap pada putusannya; jangan ada polisi di rumah ini!

Ibu datang. Bukan untuk marah, tetapi untuk menebar senyum.

“Ada yang belum kuceritakan padamu tentang ayah,” kata ibu lembut. “Ayahmu polisi jujur, mungkin polisi jujur keempat setelah patung polisi, polisi tidur, dan Pak Hoegeng. Ayah tidak mau memberi makan keluarga dari hasil razia ilegal, upeti dari bandar judi, atau uang dari memeras maling yang tertangkap. Ayah ingin kamu meneruskan idealismenya; menjadi polisi jujur. Ayah menabung bertahun-tahun untuk bekal kamu menjadi polisi. Karena kamu tak mau jadi polisi, sekarang harapan terakhir ayah ada pada Kukuh.”

Heri tertegun.

“Mengapa pada saat itu ibu perpihak pada Heri?” tanya Heri.

Ibu mengela napas.

“Kamu punya keinginan kuat menjadi pengusaha. Seorang ibu wajib mendukung keinginan anaknya, bukan? Ibu harus merestui keingananmu, agar hidupmu mulia.”

Sepasang mata Heri berkaca-kaca.
***
Dua wanita muda berseragam celana panjang dan blus biru tua berkunjung ke Warung Tauto Ayam Heri & Wulan. Pukul 16.45 saat itu. Mereka memilih meja dekat bilik kasir, sehingga Heri dapat mendengar obrolan mereka.

“Kok, bisa sih kamu kena tilang?” tanya wanita berambut panjang.

“Aku lupa, benar-benar lupa kalau SIM C-ku sudah habis bulan lalu. Tadi waktu jam istirahat, pulang dari ATM, ada razia. Kena tilang, deh. Dua minggu lagi sidang. Sebel!” jawab wanita berambut pendek.

“Nggak damai aja, gitu?” tanya si rambut panjang.

“Udah, sih. Kutawarkan dua ratus ribu, tiga ratus ribu, lima ratus ribu. Tapi polisinya nggak mau,” si rambut pendek angkat bahu.

“Kamu ingat polisinya?”

“Ingat sampai titik komanya,” sahut di rambut pendek.

“Siapa nama polisi itu?”

“Kukuh Satria!”
***SELESAI***

Sulistiyo Suparno, anak polisi yang gemar menulis cerpen. Pernah tinggal di asrama sebuah Polsek selama 12 tahun. Kini bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Ikuti tulisan menarik Sulistiyo Suparno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB