x

Arsitektur Modern

Iklan

noval hananiri

arsitek, penulis indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Oktober 2023

Selasa, 17 Oktober 2023 07:48 WIB

Membangun Spirit Hidup dari Arsitektur

--House must be adaptable and evolutionary so it can change with the family’s changing needs-- (Barbara bannon harwood)

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memahami makna rumah bagi masyarakat Indonesia tentu saja bukan perkara sederhana. Dalam kamus bahasa Indonesia mengartikan beragam penggunaan kata rumah dengan berbagai makna dan penggunaannya masing-masing. Bahkan rumah-pun terkadang hanya dimaknai sebatas arti bahwa rumah itu sebagai tempat tinggal. Arsitektur, tentu tidak pula memberi penilaian bahwa bangunan bukanlah semata-mata sosok benda mati atau artefak.

Bangunan merupakan bagian dari hidup manusia itu sendiri bersama lingkungannya. Hidup manusia berbudaya memiliki sebuah sistem komunikasi yang secara bersama-sama diakui sebagai alat untuk melakukan hubungan moral dengan sesamanya secara sadar berkembang selaras hingga membentuk sebuah sistem yang ditradisikan-(Arya Ronald, 1997). Dalam sistem ini mengungkapkan bahwa artefak timbul sebagai media dan perkembangan budaya yang secara naluriah ada pada setiap orang yang terlahir didunia. Begitu pula dengan bangunan rumah tradisional dalam sistem struktur masyarakat jawa yang sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai filosofis, mengandung ungkapan dengan beragam makna.

Dalam konteks kekinian paradigma dalam memaknai rumah tinggal mengalami degradasi. Perancang bangunan umumnya hanya memberikan idiom-idiom tertentu dari beberapa hasil karyanya, mulai dari idiom-rumah baja, rumah botol, rumah bata hingga pada sebutan idiom-idiom asing lainnya. Penyebutan ini terkadang muncul akibat keterkaitan hubungan dengan pemilihan dan jenis material yang digunakan dalam project rumah tersebut, bahkan hanya keterkaitan dengan apa yang ingin di interprestasikan dengan objek-objek yang dibuatnya dari pada menstimulasi paradigma rumah sebagai relasi makna dan membangkitkan spirit hidup pemiliknya. Di dalam perspektif kehidupan masyarakat jawa ada beberapa makna terkait hakikat rumah, pertama-rumah sebagai ungkapan pandangan hidup kedua-rumah sebagai lambang status sosial ketiga-rumah sebagai papan tempat tinggal atau ruang tinggal (longkangan). Uraian tersebut merupakan tiga konsepsi mendasar dalam memaknai hakikat rumah yang melingkupi masyarakat jawa dalam kehidupan berbudayanya. Berikut ini adalah uraiannya :

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rumah sebagai ungkapan pandangan hidup (filosifi)

Dalam sistem struktur masyarakat jawa, rumah pada dasarnya merupakan sebuah wujud refleksi dari pandangan hidup (filosofi) yang ditransformasikan dalam bangunannya, baik itu dari segi tata ruang maupun bentuk arsitekturnya. Adapun pandangan hidup dalam rumah jawa itu adalah sebagai berikut :

• Paju papat limo pancer

Secara visual bentuk paju papat lima pancer ini merupakan titik-titik sesuai mata angin, yaitu titik utara, selatan, barat dan timur, Dengan orientasi memusat di tengah-tengah. Hal ini mempunyai kandungan makna filosofis bahwa orang jawa menyatu dengan alam. Manusia dalam kiblat paju papat limo pancer berada pada tengah-tengahnya lima pancer yang dikelilingi oleh alam (kosmos) yang dianalogikan sebagai utara, selatan, barat dan timur. dalam tatatan kosmos sebagai suatu sistem kosmosmologi yang terbagi menjadi makrokosmos dan mikrokosmos, pemaknaan makrokosmos itu adalah manusia beserta lingkungannya merupakan bagian dari alam, jagad raya. Dengan demikian manusia, rumah dan lingkungannya merupakan bagian satu sistem satu kesatuan. Kosmologi yang saling berkaitan dan berpengaruh untuk menciptakan keharmonisan atau keselarasan. Orang jawa memiliki konsep tempat (place). Masyarakat jawa menganggap tempat merupakan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Tempat yang merupakan “panggon” sangat diperlukan untuk berkembang sesuai dengan siklus kehidupan jawa. Kedudukan pada tempat tersebut selanjutnya mempunyai hubungan dekat dengan kedudukan pada ruang disekelilingnya yang dianalogikan dengan arah mata angin, yakni utara sebagai depan, selatan sebagai belakang, barat dan timur bagian samping kanan dan kiri sedangkan tengah-tengah sebagai poros atau pusat. Orang jawa tidak hidup sendirian. Kiblat papat limo pancer dalam hal ini menunjukkan bahwa orang jawa itu hidupnya tidak sendiri, melainkan hidup dengan sesamanya disekelilingnya sesuai dengan arah kiblat mata angin. Memperhatikan konsep pandangan tersebut secara mendasar menunjukkan bahwa adanya titik poros sebagai pusat, dan adanya “sesuatu” disekelilingnya, adanya orientasi juga keseimbangan.

• Hirarki

Hirarki mengandung pengertian ada yang penting dan vital nilainya (pusar), tidak ada yang kurang dan ada yang tidak ada nilai sama sekali. Selain pengertian hirarki tersebut, Hirarki juga mengandung makna yang berjenjang dan bertingkat-tingkat secara vertical maupun secara horizontal. Hirarki dalam konsep pandangan hidup orang jawa adalah adanya tingkatan kehidupan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Dalam kehidupan jawa, untuk mencapai “kasampurna ning urip” harus melalui tahapan atau tingkatan mulai dari bawah hingga berakhir dipuncak tertingi. Tingkatan terbawah bersifat duniawi yaitu dalam segala tindakan kehidupannya masih mementingkan material keduniawian. Tingkatan tengah atau madya berada di tengah-tengah yakni bahwa dalam kehidupan keduniawian juga memikirkan rohaniah. Pada tingkatan tertinggi bersifat batiniah yakni bahwa dalam kehidupannya tidak lagi mengutamakan rohaniah. Dalam kehidupan masyarakat jawa, selalu berada ditengah-tengah, pengertian tersebut mengandung makna bahwa sebagai pribadi manusia harus selalu dapat berinteraksi dengan dunia profane dibagian bawah dan dengan sang pencipta NYA pada bagian atas. Secara mendasar pandangan tersebut menunjukkan bahwa kehidupan orang jawa itu ada dialektika luar-dalam, antara hidup pribadi dan bermasyarakat secara utuh, bersinergis dan balance.

Rumah sebagai lambang status sosial

Tidak bisa dipungkiri bahwa rumah atau papan itu juga sebagai satu kebutuhan pokok dasar manusia dan tidak hanya sekedar papan untuk hunian saja, seiring dengan perkembangan kebudayaan peradaban manusia dan pranata-pranata yang ada dalam kondisi sosial masyarakat yang menaunginya penilaian makna akan esensi rumah kini telah bergeser, tidak sebatas untuk pemenuhan kebutuhan pokoknya saja. Karena rumah sebagai lambang akan penghuninya dalam status sosialnya. Semakin besar, luas dan tinggi nilai-nilai arsitekturalnya beserta kelengkapan ruang-ruang dan berbagai macam pendukungnya, semakin akan memiliki status sosial yang tinggi pula. Kondisi demikian juga berlaku pada kalangan masyarakat jawa pada umumnya, baik itu kondisi masa lampau maupun kondisi sekarang. Terdapat satu ketentuan atau ketetapan yang tidak tertulis yang berlaku bagi tatanan masyarakat jawa tradisional, mengenai bentuk-bentuk rumah sesuai dengan status dan jabatannya. Dengan demikaian seseorang dengan jabatan rendah tidak boleh memiliki rumah menyamai orang jabatannya lebih tinggi diatasnya. Semakin tinggi jabatannya tentu saja, akan semakin bagus pula rumahnya. Untuk kalangan masyarakat biasa hanya diperkenankan pada bentuk kampung dan limasan. Kalaupun menggunakan joglo, kelengkapan ruangnya-pun akan jelas berbeda dengan rumah joglo dari golongan para priyayi atau kaum ningrat.

Rumah sebagai papan tempat tinggal atau ruang tinggal (Longkangan)

Pandangan sebagian besar orang tentang kebutuhan pokok manusia hidup pada dasarnya berkisar pada pangan, sandang dan papan. Kebutuhan pokok ini, meskipun pemaknaannya dapat ditafsirkan kembali secara lebih luas. Pangan dan sandang dapat dikembangkan menurut alur fisik maupun non fisik, dapat juga diwujudkan dalam bentuk nyata bahkan dalam wujud simbolik. Sedangkan papan bisa dimaknai sebagai pertautan sudut kepentingan makrokosmos–mikrokosmos. Mikrokosmos ini bermula dari jiwanya sendiri sampai dengan tempat tinggal itu sendiri, meskipun tempat tinggal tidak harus berarti rumah secara harafiah dalam definisinya. Sedangkan makrokosmos ini bermula dari tubuhnya sendiri sampai dengan lingkungan fisik disekitar manusia itu sendiri.

Papan sebagai sebuah tempat tinggal merupakan sebuah manifestasi dari pengertian yakni suatu area pada suatu titik didalam daerah tertentu, dalam bentuk sebuah ruang yang sangat terbatas ukurannya, yang digunakan untuk berhenti sambil merefleksi masa lampau dan kondisi sekarang dengan tidak mengabaikan kegiatan, agar tidak ketinggalan jaman sekaligus dapat bermanfaat dalam menghimpun perbendaharaan dalam arti kata yang lebih luas. Papan sebagai tempat untuk hidup, merupakan tempat bagi manusia agar dapat mempertahankan hidup secara biologis didalamnya dengan pengertian bahwa lingkungan hidup yang dimaksud adalah ekologis manusia yang telah dipengaruhi oleh kehidupan sosiokultur’nya yang selalu berkembang secara alami. Papan sebagai tempat interaksi sosialnya, merupakan tempat bagi manusia itu untuk melakukan hubungan komunal sebagai naluri hidupnya, dimana manusia itu tidak dapat hidup sendiri. Manusia satu dengan yang lain selalu membentuk dimensi kebudayaan secara khas yang didalamnya dapat diharapkan mampu mengembangkan pengertian spatialnya, pengertian fisik alamiah dan pengertian sosial itu sendiri. Papan sebagai tempat melakukan kontemplasi merupakan tempat bagi manusia untuk menemukan jati dirinya, dengan pengertian bahwa kehidupannya harus sampai pada derajat ukuran yang lebih baik menuju kesempurnaan.

Begitu dalamnya arti makna konsep filosofi sebuah rumah dalam sendi kehidupan pada sistem sosial masyarakat jawa, seringkali beragam variant dari ungkapan filosofis yang berkaitan dengan hakikat rumah dalam perspektif masyarakat jawa pada khususnya yakni omah, omah-omah dan pomah. Dalam konteks pemaknaan itu terdapat sebuah proses aktualisasi terhadap makna hakikat rumah sebagai eksistensi diri. Makna omah juga sangat erat berkaitan dengan ada diri manusia itu sendiri didalam alam mikrokosmos dan makrokosmosnya, begitu juga dengan makna istilah omah-omah yang juga merupakan sebuah tambatan jiwa para penghuninya manakala konsepsi dan perilaku keselarasannya sudah mulai terbangun secara sinergis didalamnya, maka seketika itulah kita menjadi Pomah, sebuah titik awal transformasi terhadap fase selanjutnya sesuai dengan aktualisasi diri dan potensi para penghuninya.

Dari tiga makna omah, omah-omah dan pomah, tersebut dapat ditarik benang merah bahwa rumah pada dasarnya bukanlah sekedar untuk dimaknai sebagai sosok secara teknis belaka atau artefak. Namun lebih kepada hubungan relasi terhadap pemaknaan yang dibangunnya. sehingga betapapun kecil dan sederhana wujud sebuah rumah, tentu saja akan memiliki makna yang besar bagi para penghuninya (si empunya rumah).

Ikuti tulisan menarik noval hananiri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB