x

ilustr: distractify

Iklan

Fabian Satya Rabani

Pelajar, model, dan atlet tinggal di Bandung, Jawa Barat. IG: @satya_rabani
Bergabung Sejak: 22 November 2023

Rabu, 6 Desember 2023 15:02 WIB

Ngotot

Dalam percakapan, sering kita mendengar kata ‘ngotot’. Kata ini perlu dibahas karena maknanya sangat dekat dengan perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam percakapan, sering kita mendengar kata ‘ngotot’. Kata ini perlu dibahas karena maknanya sangat dekat dengan perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya kata ini digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan penilaian terhadap seserorang atau sekelompok orang lain. Penilaian ini biasanya bersifat negatif atau merujuk pada nilai rasa yang kurang baik.  Oleh karena itu, orang yang ngotot cenderung kurang bisa diterima atau tidak didukung secara baik oleh semua pihak. Jika diterima, pihak lain yang menerimanya merasa terpaksa atau tertekan. Jika demikian, perilaku ngotot berpontensi menimbulkan konflik yang merugikan.

Dalam kamus online dijelaskan ngotot adalah kata kerja, artinya tidak mau mengalah; berkeras hati; bersikeras. Sebagai kata kerja, ngotot terlihat dari perilaku orang yang dapat diindrai orang lain, misalnya dalam berkata-kata. Kata yang berhubungan dengan ngotot adalah ‘ngeyel’. Namun, kata ngeyel  berasal dari kata dasar “eyel“, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya: tidak mau mengalah dalam berbicara; ingin menang sendiri dalam berbicara. Seseorang disebut ngeyel kalau dia bersikap keras kepala, bandel, tidak mau taat aturan, membangkang, dan sebagainya. Sedangkan ngotot, makna di dalamnya mencakup makna ngeyel itu. Hal ini karena ngotot tidak hanya ditunjukkan orang melalui unjuk wicara saja, tetapi juga terlihat dari perilaku lainnya.

Frasa ‘berkeras hati’ sebagai pengertian dari ngotot sering digunakan secara metaforis. Hal ini memberikan gambaran pada orang yang sulit untuk mengakui kekalahan dan kesalahan,  tegas tak terukur, kurang empati terhadap perasaan atau kebenaran pihak lain, dan biasanya menutup diri terhadap kritik dan masukan. Alih-alih introspeksi dan refleksi, orang yang berkeras hati memilih untuk menyimpan dendam dan melakukan pembalasan yang destruktif. Orang yang berkeras hati cenderung ambisius dan melakukan cara-cara apa pun demi tercapai keinginannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika berkeras hati, kita biasanya sulit mengakui kesalahan apalagi minta maaf dan  mengungkapkan penyesalan.  Kita akan cenderung memutarbalikkan fakta, membuat kesaksian-kesaksian palsu, dan banyak berargumen tanpa bukti yang sahih. Dengan demikian, terkesan seolah-olah kitalah yang benar. Begitu pun ketika kita kalah, untuk mengakui kekalahan itu adalah hal yang sangat sulit. Karena  mengakui kesalahan,  berarti harus mengakui bahwa orang lain mempunyai kemampuan lebih baik dan kekuatan yang lebih besar.  Mengakui kekalahan berarti menjadikan kita pada posisi lebih rendah di mata umum. Jika mengakui kalah, bagi kita yang berkeras hati  berarti mengakui ketidaklayakan walau sebenarnya belum tentu ada orang yang menganggapnya demikian. Sebaliknya jika tidak mengakui kekalahan,  kita  merasa akan tetap dianggap oleh banyak orang sebagai  sosok yang kuat dan tangguh.

Orang yang berkeras hati sulit menerima kekalahan apalagi jika saat persiapan kompetisi mengeluarkan biaya yang banyak atau sudah berlatih secara maksimal agar  menang. Ia merasa rugi besar dan oleh karena itu berusaha membela diri secara emosional.  Kalau perlu, orang ini akan memengaruhi dan menggunakan kekuatan orang-orang yang berada di pihaknya untuk menolak kekalahan dan melawan secara brutal. Ia bersikeras pada kepentingan dan pandangan pribadi  atau golongan tanpa mau mempertimbangkan kenyataan.   

Penting untuk diingat bahwa karakteristik ngotot atau berkeras hati ini muncul dalam berbagai derajat dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk latar belakang pengalaman hidup, lingkungan, dan faktor kepribadian. Prilaku ngotot bisa dihindari atau setidaknya diminimalisasi. Berikut upaya-upaya yang bisa dilakukan agar kita tidak menjadi pribadi yang ngotot.

  1. Memahami konsep diri

Untuk bisa memahami konsep diri, orang harus jujur pada diri sendiri, terbuka, mau menerima kenyataan, dan sering berefleksi. Self concept atau konsep diri adalah cara dan sikap seorang individu memandang dirinya, baik aspek fisik maupun psikis.  Dalam memahami konsep diri, individu berusaha  mengenal karakteristik, perilkaku, kemampuan, kemauan, dan sebagainya yang ada pada dirinya sendiri. Memahami konsep diri tidak hanya melihat kekuatan diri saja, tetapi juga melihat kelemahan, kekurangan, dan  kegagalan diri. Pengetahuan diri ini sangat penting untuk keamanan psikologisnya sendiri. Dengan memahami konsep diri, individu bisa berada pada tempat yang tepat, kapan, di mana, dan harus bagaimana.

Orang yang memahami konsep dirinya, akan menjawab dan menjelaskan pertanyaan penting orang lain tentang dirinya secara berani, jelas, dan jujur. Ia tidak akan memberikan teka-teki atau menyerahakan jawaban pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya kepada orang lain. Misalnya, biar masyarakat yang menilai. Biar si polan yang menjawab, simpulkan sendiri saja,  dsb.

 

  1. Menerima dan mencintai diri sendiri

Penerimaan diri (self acceptance) ialah kompetensi  individu untuk menerima keberadaan dirinya sendiri. Penerimaan ditandai dengan adanya sikap yang positif, adanya pengakuan atau penghargaan terhadap nilai-nilai diri sendiri.   Orang yang secara realistis menerima dirinya melihat kelebihan dan kelemahan-kelemahan sendiri secara objektif, dan tidak mengingkari atau menolak. Orang yang menerima diri tidak akan membenci dirinya sendiri ketika kenyataan yang dihadapi berbeda dengan keinginannya.  Dalam suatu kompetisi misalnya, seseorang yang dapat menerima dirinya bisa menerima kemenangan dan kekalahan dengan baik karena ia telah menerima dan mengakui kelemahan dan kelebihan yang dimilikya.

Konsep mencintai diri sendiri (self love) adalah tentang membantu diri sendiri atau menghargai diri sendiri. Mencintai diri sendiri membuat individu lebih berdaya dan  lebih produktif. Mencintai diri sendiri meningkatkan kapasitas kesadaran diri sehingga mampu mengontrol emosi. Mencintai diri sendiri membuat individu peka terhadap pemenuhan  kebutuhan kesehatannya, baik fisik maupun psikis.  Orang yang mentalnya sehat mampu menerima kenyataan tanpa syarat, menerima apapun bentuknya, dan bagaimanapun keadaannya.

 

  1. Memiliki toleransi

Kata  toleransi berasal dari bahasa Arab tasyamukh, artinya ampun, maaf, dan lapang dada.  Dalam bahasa Inggris, kata teoleransi berasal dari tolerance ialah suatu sikap membiarkan, mengakui dan menghormati terhadap perbedaan orang lain, baik pada masalah pendapat (opinion), agama/kepercayaan maupun dalam segi ekonomi, sosial, dan politik. Berdasarkan KBBI, toleransi adalah sifat atau sikap toleran. Kata toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Dari definisi-definisi di atas,  toleransi bisa disimpulkan sebagai suatu sikap saling menghargai dan  saling menghormati dalam menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada orang lain yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan dirinya. Baik itu antarindividu maupun antarkelompok. Orang yang memiliki toleransi yang cukup, akan  merasa damai dan aman karena mampu menerima orang lain apa adanya seperti halnya ia mampu menerima diri apa adanya. Orang yang toleran melihat dan menyikapi perbedaan sebagai suatu dinamika yang indah dalam kehidupan ini. Orang yang memiliki toleransi mampu mengurangi terjadinya pertengkaran, permusuhan, perpecahan, dan bahkan peperangan.  

 

  1. Belajar mengakui kesalahan dan menerima kekalahan

Semua orang bisa keliru (mistake) dan salah (error). Orang yang melakukan sesuatu (berkata-kata atau bersikap) tidak sesuai dengan yang seharusnya, ia telah melakukan kekliruan atau kesalahan. Jika ketidaksesuaian itu dilakukan secara tidak sengaja, lupa, atau karena ketidaktahuannya, disebut kekliruan. Namun jika ketidaksesuaian itu dilakukan secara sengaja dan sadar, disebut kesalahan.  Walaupun secara prinsip ada perbedaan sebab dan makna, secara manusiawi semua individu bisa melakukannya. Oleh karena itu, mengakui kesalahan dan kekliruan bukanlah hal yang tabu dan rendah. Justru, ketika orang yang mau mengakui kesalahannya, ia lebih dihormati daripada sebaliknya. Lebih-lebih jika ia seorang pemimpin. Orang yang tidak bisa mengakui kesalahan berarti juga tidak siap menerima kebenaran. Bahkan mereka mungkin sama sekali tidak peduli dengan kebenaran yang nyata. Mengakui kesalahan itu  memang memerlukan emotional strength dan keberanian tinggi.

Menerima kekalahan bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi jika ia berkali-kali ternyata kalah dalam suatu kompetisi atau pengambilan keputusan. Kekalahan membuat orang yang tidak bisa menerimanya menjadi stress bahkan depresi. Ia mengutuki diri dan menganggap dirinya manusia yang tak layak, lemah, dan tidak berguna. Orang yang tidak bisa menerima kekalahan bisa juga marah karena menganggap dirinya tak seharusnya kalah. Namun sebaiknya, ketika kita kalah, tak perlu membiarkan diri larut dalam rasa gundah, sesal, iri, dan marah. Lebih baik jika kita bangkit dari kekalahan tersebut, menerima dengan lapang dada, dan merefleksikan penyebab kekalahan untuk memperbaiki diri. Dalam kompetisi apa pun, kalah atau menang itu memang pasti ada. Itu hal yang wajar, sehingga perlu disikapi secara wajar juga.  

  1. Merayakan kemenangan bersama lawan

Kemenangan hendaknya dipahami sebagai tanggung jawab. Pemaknaan ini menjadikan kemenangan itu produktif dan konstrukif. Oleh karena itu, kemenangan perlu dirayakan bersama lawan kita. Mengapa? Lawan telah menjadi partner dalam kompetisi yang membantu kita secara jujur dan berani dalam mengkritisi diri kita, menunjukkan kelemahan dan kekurangan kita. Lawan telah membuat kita waspada dan mencari solusi atas masalah yang ada dalam diri kita. Dengan demikian, pada perjalanan berikutnya lawan bisa dijadikan kekuatan untuk bergerak bersama agar kemenangan yang kita peroleh bisa bermanfaat bagi semua pihak. Untuk itu perlu membuka peluang untuk bersinergi, mengakomodasi, berkolaborasi, dan berkompromi dengan lawan demi kemuliaan yang lebih besar. Dengan demikian, yang terjadi kemudian adalah “Saya menang, dan Anda pun juga menang” bukan mengabadikan “Saya menang, Anda kalah! I Win, You Lose!”

Demikianlah. Ngotot bukanlah perilaku yang berterima dalam tata pergaulan yang sehat dan nomal. Oleh karena itu kita perlu berefleksi secara jujur, apakah: “Aku pribadi yang ngotot?” Jawaban jujur ada dalam diri kita masing-masing.

Ikuti tulisan menarik Fabian Satya Rabani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler