x

Maulid Nabi Muhammad SAW

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Jumat, 8 Desember 2023 19:43 WIB

Mengingat Kembali Pesan Kebhinekaan dalam Piagam Madinah

Piagam Madinah merupakan salah satu capaian sekaligus menjadi salah satu legacy paling monumental dari sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW pasca Hijrah dari Makkah ke Madinah. Dari piagam ini bangsa Indonesia bisa belajar soal kebhinekaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memasuki fase-fase elektoral yang semakin krusial di mana tensi kontestasi politik yang potensial memicu polarisasi (pembelahan) sosial kian panas, bangsa Indonesia khususnya umat Islam kiranya perlu membaca dan merefleksikan ulang sebuah dokumen monumental dalam lanskap sejarah peradaban Islam, yakni Piagam Madinah.

Piagam Madinah merupakan salah satu capaian sekaligus menjadi legacy paling monumental dari sejarah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW pasca Hijrah dari Makkah ke Madinah. Ia adalah naskah yang dibuat oleh beliau dan disepakati para penduduk Madinah (Muslim, Yahudi, Nasrani dan penganut Politheisme), yang isinya merupakan pengaturan kehidupan bersama masyarakat Daulah Madaniyah.

Sebagaimana sudah banyak ditulis para sejarawan termasuk para orientalis, pada waktu Nabi Muhammad dan para sahabatnya datang ke Madinah (kala itu masih bernama Yatsrib, sekitar tahun 622 Masehi), secara sosio-politik penduduk Madinah berada dalam situasi konflik, siklis dan berkepanjangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti diungkapkan antara lain oleh Montgomery Watt dalam bukunya Muhammad Prophet and Statesman (1969), konflik ini terjadi, baik antara qabalah-qabilah (suku) dari bangsa Yahudi dengan qabilah-qabilah dari bangsa Arab, maupun secara internal di dalam bangsa Yahudi dan Arab sendiri. Puncak konflik terjadi dalam peristiwa Perang Bu’ats yang memberi kemenangan pada Bani Aus (Arab) bersama sekutunya Bani Nadhir (Yahudi).

Masih dalam buku Montgomery Watt diceritakan, kala itu bangsa Arab terdiri dari 6 suku, dua di antaranya yang paling besar adalah Bani Aus dan Bani Khajraz. Sementara bangsa Yahudi memiliki lebih dari 20 suku, yang paling utama adalah Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa (Barakat Ahmad, Muhammad and The Jew, 1979). Selain bangsa Yahudi yang menganut ajaran Monotheisme dan Arab penganut Politheisme (Paganisme, penyembah berhala) kala itu, sebagian kecil penduduk Madinah dari bangsa Arab (Bani Aus dan Khajraz) juga ada yang beragama Nasrani.

Naskah Piagam Madinah, atau dikenal juga dengan istilah Mitsaq al-Madinah atau Dustur al-Madinah atau The Constitution of Medina (Hamzani dan Aarvick, 2021) dirumuskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kapasitas sebagai kepala negara Daulah Madaniyah. Naskah ini kemudian ditawarkan kepada seluruh perwakilan penduduk Madinah dari berbagai bangsa dan qabilah lalu disepakati sebagai pedoman hidup bersama.

 

Semangat Persatuan dan Persaudaraan

Sebelum Piagam Madinah lahir, Nabi Muhammad telah mengislahkan (mendamaikan) terlebih dahulu dua suku Arab (Aus dan Khajraz) yang telah memeluk Islam, yang sebelumnya kerap terlibat konflik sebagaimana dijelaskan di diatas. Mereka kemudian dikonsolidasikan sebagai entitas baru dan diberi nama kaum “Anshor” (para penolong).

Antony Black (Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2000) melihat peristiwa pengislahan etnik Aus dan Khajraz itu sebagai langkah cerdas dan taktis Nabi Muhammad dalam merintis dan membangun semangat persatuan (integrasi) di antara penduduk Madinah. Suatu model baru integrasi yang didasarkan pada landasan spiritual (iman) sekaligus politis (kekuasaan), yang sebelumnya didasarkan pada ikatan darah dan keturunan (ashobiyah) dan terbukti gagal mewujudkan kohesivitas, harmoni dan perdamaian di kalangan mereka.

Dengan semangat membangun dan mewujudkan integrasi di antara komunitas-komunitas penduduk Madinah itu pula, Nabi Muhammad merumuskan dan menawarkan konsep Piagam Madinah. Naskah ini diterima dan disepakati bersama oleh penduduk Madinah pada tahun pertama Nabi Muhammad memimpin masyarakat Madinah.

Para ahli menyebut Piagam Madinah ini dengan berbagai istilah. Ibnu Hisyam menyebutnya al-Shahifah, Muhammad al-`Aid al-Khathrawiy menyebutnya sebagai al-Dustur al-Madaniy, C.W. Montgomery Watt menyebutnya dengan istilah The Constitusion of Madina, R.A Nicholson menyebutnya dengan istilah The Charter, Majid Khadduri menyebutnya The Treaty, dan Philip K. Hitti menyebutnya The Agreemen (Hamzani dan Aarvick, 2021).

 

Pesan Kebhinekaan

Secara substantif, sebagai dokumen politik-kenegaraan Piagam Madinah yang memuat 47 Pasal berisi norma-norma sosiopolitik dengan 1 bagian Pembukaan atau Mukadimah sebagaimana dikutip lengkap dalam buku Prof. Dr. Khatimi (Politik Islam: Studi Tentang Azas, Pemikiran, Dan Praktik Dalam Sejarah Politik Umat Islam, 2017) dapat dikelompokan kedalam tiga bagian pengaturan.

Pertama, pengaturan khusus untuk komunitas Muslim Muhajirin (para sahabat Nabi Muhammad yang ikut hijrah dari Makkah) dan Anshor. Kedua, pengaturan khusus untuk komunitas Yahudi yang terdiri dari berbagai qabalah (etnik). Ketiga pengaturan umum yang berlaku bagi seluruh penduduk Madinah, termasuk di dalamnya komunitas Nasrani dan penduduk yang masih menganut Politheisme (penyembah berhala, para dewa).

Piagama Madinah dibuka dengan statement bahwa di samping orang-orang muslim-mukmin sebagai satu umat, juga dinyatakan kaum Yahudi dan sekutunya (kaum musyrik dan munafik) adalah umat yang satu bersama orang-orang muslim-mukmin. Narasi ini secara substantif mengisyaratkan adanya pengakuan terhadap kebinekaan (keragaman) sekaligus spirit untuk saling menghargai serta menghadirkan persatuan di tengah keragaman itu.

Untuk keutuhan umat ini, Piagam Madinah menegaskan pentingnya persaudaraan dan persatuan diwujudkan dalam kehidupan antar golongan dengan menjalin kerja sama untuk mencapai tujuan umum bersama dalam kehidupan sosial.

  

Prinsip-prinsip Politik Kenegaraan Modern

Selain adanya pengakuan atas kebinekaan dan spirit membangun persatuan dan persuadaraan, Piagam Madinah juga memuat berbagai pengaturan terkait isu-isu penting sebagaimana ditemukan dalam tata kelola kehidupan politik kenegaraan modern. Beberapa di antaranya adalah berikut ini.

Prinsip Persamaan (Equality). Semua penduduk Madinah memiliki hak yang sama sebagai masyarakat, meliputi hak untuk hidup, hak untuk memperoleh rasa aman, hak untuk membela diri, hak untuk memilih agama atau keyakinan, serta persamaan tanggung jawab dalam mewujudkan perdamaian serta pertahanan kota Madinah.

Prinsip Kebebasan (Liberty). Piagam Madinah juga memberikan kebebasan untuk melakukan adat kebiasaan sosial yang baik, kebebasan dari kemiskinan dan kemelaratan, kebebasan menuntut hak, kebebasan menyelenggarakan kerja sama dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan politik sebagai jalan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis antar pemeluk agama.

Prinsip Musyawarah. Dalam konteks ini Piagam Madinah juga menetapkan bahwa setiap penduduk memiliki hak untuk terlibat dalam merumuskan, mendiskusikan dan memutuskan bersama urusan-urusan sosial yang menjadi kebutuhan atau kepentingan publik.

Prinsip Hidup Berkonsistensi. Piagam Madinah juga mengatur dan menetapkan keharusan setiap warga untuk hidup berdampingan secara damai dan harmoni baik dengan sesama penduduk Madinah maupun dengan penduduk di luar Madinah. Piagam ini juga mewajibkan setiap warga untuk saling membantu dan bekerja sama.

Terakhir Piagam Madinah juga mengatur dan menetapkan kewajiban bersama seluruh penduduk Madinah dalam upaya mewujudkan keamanan bersama dan mempertahankan kedaulatan negara Madinah dari serangan musuh.

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB