Di kediaman palung kesunyian
aku berharap untuk mengingat lebih banyak
jejak-jejak perkataan tahun lalu
juga tahun-tahun sebelumnya
dan ini seperti mimpi
yang tak dapat diingat setelah kelopak mata berdiri tegak
menghadap matahari.
Pikiran merenungkan kata-kata
seperti tetesan air hujan yang jatuh
meredam saat ini
tetapi menetap setelah badai.
Matahari terbit
pikiran beku
seperti udara di pegunungan
(yang sudah bosan menggenggam).
Aku mendengar cerita nostalgia
yang meredam dan berputar di luar pintu
buku catatan lama adalah pengingat dari segala adegan yang belum dipotong
dan aku memutarnya berulang-ulang.
Aku seperti harmonika
begitu kecil mengeluarkan bunyi terbesar
untuk memeluk segalanya dengan melodi keindahan.
Aku ingin bernyanyi
untuk menyelaraskan bagian-bagian yang terlupakan
di tempat ini
aku terus bernyanyi
sebab hidup adalah hal-hal yang lembut
untuk dinyanyikan setiap waktu.
Sebuah jendela kamar dibiarkan sedikit terbuka
dengungan lembut
seekor kolibri kecil bergetar
menyimak segalanya dalam kesendirian.
Aku tak bisa mengetahui di mana aku akan mendarat
sebab aku telah berjalan
hanya saja kali ini
aku dinikmati oleh setiap tetes
yang jatuh dengan segala cintanya.
Atambua, 17 Desember 2023
: Minggu, pukul 11.45 wita
Ikuti tulisan menarik Silivester Kiik lainnya di sini.