x

Ilustrasi Pulau Misterius. Pixabay.com

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Rabu, 27 Desember 2023 13:56 WIB

Petualangan di Negeri Sihir (Bagian 6)

 Dua hari telah berlalu sejak kedatangan Nenek. Salma jadi aneh. Istana tua yang selalu ada dalam pikirannya.            Siang sedikit panas. Orang tuanya telah berangkat ke ladang. Seperti biasa ia merapikan rumah dan pekarangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PETUALANGAN PERTAMA

Oleh: Sil

           Dua hari telah berlalu sejak kedatangan Nenek. Salma jadi aneh. Istana tua yang selalu ada dalam pikirannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

           Siang sedikit panas. Orang tuanya telah berangkat ke ladang. Seperti biasa ia merapikan rumah dan pekarangan.

           Melati-melati Salmah bermekaran indah. Kupu-kupu menawan yang terbang dari satu kuntum ke kuntum lain. Ia membayangkan peri cantik yang pernah hadir dalam mimpinya.

            Ia bersenandung kecil di antara bunga-bunga. Orang-orang yang lewat depan rumahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihatnya.

           Menyadari ia jadi perhatian. Ia segera masuk.

           Harum melati tiba-tiba memenuhi ruangan. Tiga kuntum melati dalam jembangan rontok dari tangkainya. Salma memungutnya. Kupu-kupu berterbangan dengan sayap kemilau. Ia mengira kupu-kupu itu masuk melalui jendela yang terbuka.

           “Wow!” kata Salma kagum.

            Tiba-tiba kamar itu meluas. Tak ada dinding, tak ada pintu dan jendela. Semua berubah. Perhatiannya masih fokus pada kupu-kupu. Tanpa sadar kalau tempat itu telah berubah.

           Sebuah negeri yang pernah ada dalam mimpinya. Hanya beda kalau negeri dalam mimpinya berada di awan sedangkan ini hanya hamparan luas, sedikit perbukitan dan pohonan rendah.

           Burung-burung kecil berwarna warni berloncatan dari ranting ke ranting. Langit bersih tak berawan. Bunga-bunga aneka rupa bermekaran menyambutnya.

           Ia memandang sekeliling. Sepi dan sangat sepi, kecuali kupu-kupu yang berterbangan. Kadang kupu-kupu itu membentuk sketsa-sketsa menarik.

           Di dalam mimpinya kupu-kupu berubah wujud menjadi peri jelita dengan gaun sutra berkilau. Istana yang pernah dilihatnya kelihatan begitu dekat, tidak sejauh seperti dalam mimpi dan baju yang ia pakaipun tidak berubah.

           “Mimpikah ini?” ia berkata pada dirinya sendiri.

Sejauh titik pandang mata adalah sunyi. Tak satupun ada. Ia melangkah pelan dan pasti. Istana yang terlihat dekat itu justru semakin jauh untuk dicapai.

           Dengan tekad dan semangat kuat ia terus melangkah. Dari balik timbunan tanah yang agak tinggi ia melihat seorang laki-laki sebaya dengannya. Orang itu mirip dengan Aftan. Laki-laki tampan itu menghadangnya.

           “Aftan?” ucapnya spontan pada laki-laki yang ia kira Aftan itu.

            “Salma!” sebut laki-laki itu.

            Salma terkejut dengan kehadiran orang di depannya itu.

            “Aku bukan Aftan anak kepala desa sahabatmu itu. Aku Aftar. Aku tahu namamu,” katanya.

            “Ooooo. Maaf. Dari mana kamu tahu namaku?” tanya Salma menjaga jarak.

            “Itu tidak penting. Suatu saat nanti kamu akan tahu. Kaupasti ingin ke istana itu, bukan?” jawab Aftar langsung mengaju pertanyaan balik.

            Salma hanya diam keheranan.

            “Istana itu sangat jauh Salma. Tidak seperti yang terlihat oleh matamu. Bisa-bisa kau sudah semakin dewasa dan tua dalam perjalanan baru sampai ke sana,” kata Aftar.

            Salma menghentikan langkah. Ia teringat akan kata ayahnya. Bahwa:  ‘dalam mencapai tujuan apapun harus hati-hati, sebab banyak yang akan menjadi penghalang”

            ‘Apakah Aftar akan menjadi bagian dari orang yang akan menghalangi langkahku?’ kata Salma dalam hatinya.

            “Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Pasti kamu mengira aku akan menghalangi langkahmu. Iya ‘kan?”

            Salma terdiam dan heran. Aftar bisa membaca pikirannya.

            “Aku tidak hendak menghalangi langkahmu. Hanya ingin memberitahumu bahwa istana yang seperti terlihat dekat itu sangat jauh. Perlu cara dan strategi yang jitu untuk sampai lebih cepat,” lanjutnya.

            Salma masih diam. Ia fokus pada kata-kata Aftar.

            “Duduklah sini kita bicara! Jangan di situ! Apabila ada prajurit Nenek mata merah lewat dan melihat kita. Bisa berbahaya,” jelas Aftar.

            Salma masih mematung. Aftar mendekatinya dan menarik tangan Salma dari tempatnya berdiri. Hampir Salma terdekap di dada Aftar. Ia merasakan bahwa laki-laki yang di sampingnya adalah Aftan. Mata mereka saling beradu tatap.

            Lalu mereka duduk di atas gundukan tanah yang agak tinggi dan Salma mengambil posisi di samping Aftar.  Angin lembut mengibas rambutnya yang tergerai. Aftar melirik ke arahnya dengan senyum simpatik. Salma sedikit merasa nyaman.

            “Kamu asing bagiku, walau mirip sekali dengan sehabatku Aftan. Tapi jangan memandangku seperti itu!” ucap Salma.

            “Tenang! Aku bukan orang jahat!”

            “Terus kenapa mengendap di balik semak-semak?” tanya Salma.

            Aftar tertawa.

            “Aku tidak mengendap-endap. Kamu saja yang tak bisa melihatku,” jawab Aftar.

            “Aneh! Bukannya sekarang aku melihatmu,” sahut Salma.

            Lagi-lagi Aftar tertawa kecil dan meletakkan tangannya di wajah Salma.

            “Aku tahu kamu punya indera keenam dan memiliki kekuatan supranatural. Kamu bisa melihat aku dengan kemampuan yang kamu miliki,” balas Aftar.

            “Ya sudah, aku percaya!” kata Salma.

            “Hmmm! Nah gitu!” balas Aftar.

            Salma masih terdiam.

            “Di sini semua terlihat berbeda dengan yang kita lihat sesungguhnya, kita harus punya kepekaan yang kuat dan ketajaman hati. Agar bisa membedakan besar dan kecil, bisa mengukur jarak jauh atau dekat. Semua harus jeli dan cermat. Bila tidak kita akan salah dalam menentukan sikap,” jelas Aftar kembali.

            Salma masih membisu. Ia memeluk lutut dan melepas pandang jauh. Saat itu ia mencoba memanfaatkan kemampuan supranaturalnya dengan menajamkan pikiran pada Aftar. Ia khawatir Aftar juga berbohong. Semakin fokus semakin ia merasakan akan kebenaran ucapan Aftar.

            “Hmmmm … Baiklah!” ujar Salma.

            “Nah … sedikit lebih baik dan lega,” balas Aftar.

            “Boleh saya tanya?” pinta Salma.

            Aftar mengangguk.

            “Tentu saja,” jawab Aftar.

            “Tapi aku sudah tahu apa yang mau kamu tanya. Kamu ingin menanyakan siapa aku, dari mana aku dan mengapa aku sendiri saja di sini. Iya ‘kan?” lanjut Aftar menegaskan.

            Ups! Salma benar-benar heran semua yang dia pikirkan terbaca oleh Aftar. Ia mengangguk membenarkan Aftar.

            “Baiklah. Aku jelaskan dulu sesuatu sebelum aku jelaskan siapa aku. Kamu heran kenapa aku dengan mudah membaca apa yang sedang kamu pikirkan. Iya ‘kan?”

            “Tentu saja,”  jawab Salma sambil menganggukkan kepala.

            “Hampir semua orang di sini punya kemampuan itu. Walau ada juga yang tidak. Kamu lihat tempat ini sepi. Tetapi bukan tidak ada penduduknya,” kata Aftar.

            Mereka berdua mengarahkan pandang ke sekeliling.

            “Masing-masing kami sedang bersembunyi. Kami punya cara tersendiri melindungi diri. Di sini sedang terjadi masalah besar. Kamu tak perlu tahu sekarang. Suatu saat nanti akan kau ketahui sendiri dalam perjalanan,” Aftar menjelaskan.

            Salma diam. Dengan kemampuan supranaturalnya ia merasakan ada sesuatu pada Aftar.

            Semilir angin bertiup. Rambutnya tergerai lembut. Seekor capung cantik hinggap di rambutnya. Aftar mengambil capung itu dan meletakkan di telapak tangannya yang merentang.

            “Terbanglah hai jelita!” ucap Aftar pada capung.

            Capung pun berlalu mengepakkan sayap mungil.

            Salma hanya memperhatikan dengan kagum. Sesekali pandang mereka bertemu.

            Sayup terdengar suara orang memukul sesuatu. Tetapi keduanya tak menghiraukan.

            “Nah sekarang aku akan menjelaskan siapa aku, …,” Aftar menghentikan kata-katanya. Suara yang terdengar makin jelas. Ia Meletakkan tangan di bahu Salma. Khawatir terjadi sesuatu.

             Aftar fokus pada sumber suara. Seperti ada langkah yang bergerak. Suara itu seperti sebuah ketukan. Ya. Ketukan.

             Saat suara itu semakin keras, dalam sekejap tempat itu telah berubah. Ruangan tidur Salma yang kecil dan dipenuhi harum melati.

             Salma menarik napas. Dia baru saja mengawali petualangannya. Ketukan dari pintu telah membuyarkan semua. Ayah dan Ibunya sudah pulang. Merekalah yang mengetuk pintu.

             Salma segera membuka dan menyambut keduanya dengan riang.

             “Bahagia sekali kamu hari ini  Salma!” kata ayah dengan pandang curiga.

             “Tentu,” ucap Salma sambil memeluk manja ibunya. Seolah tidak terjadi apa-apa.

             “Wah … luar biasa,” puji Aslan.

             “Ooo … pasti! Saya tidak mau ibu terlalu lelah. Bukankah saya peri bagi ibu dan ayah?” balas Salma. Salma buru-buru masuk ke dapur dan mengambil air minum buat orang tuanya.

              Jumina memandang curiga dengan sikap Salma. Tetapi ia biarkan.  

***

 

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu