x

Puncak Bukit Air Manis via bapermulu.com

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Senin, 8 Januari 2024 16:26 WIB

Petualangan di Negeri Sihir (Bagian 8)

Bunga melati pemberian Nenek adalah pintu baginya untuk melanjutkan petualangan. Ia memetik bunga dalam jembangan dan  menciumnya. Kupu-kupu pun beterbangan. Ia mengamati kupu-kupu indah tersebut. Sekejap tempat itu telah berubah. Sebuah perbukitan berumput seperti bentangan permadani dengan lembah yang penuh bunga-bunga. Taman yang dialiri sungai kecil yang bening.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Petualangan di Negeri Sihir (bagian 8)

Oleh: Sil

Pertemuan Kedua

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

         Matahari telah naik sepertiga di antara birunya langit. Salma telah menyelesaikan pekerjaan rumah sebagai rutinitas saat orangnya ke ladang.

         Bunga melati pemberian Nenek pintu  baginya untuk melanjutkan petualangan. Ia kembali memetik bunga dalam jembangan dan  menciumnya. Kupu-kupu pun beterbangan. Ia mengamati kupu-kupu indah tersebut. Sekejap tempat itu telah berubah.  

         Sebuah perbukitan berumput seperti bentangan permadani dengan lembah yang penuh bunga-bunga. Taman yang dialiri sungai kecil yang bening.

         Salma berjalan perlahan. Matanya mengawasi keadaan dengan hati-hati. Dia melangkah sedikit gugup karena ia tidak mau ada makhluk asing yang melihat. Rasa penasaran memenuhi ruang dadanya.

         Ia berharap segera bertemu Aftar. Upss! Sebuah batu melayang di hadapannya. Ia tersentak dan menghentikan langkah  mencari sumber lemparan batu.

         “He he he he … kaget ya!” Aftar muncul mendadak di belakangnya.

         “Iiiiihhhh bikin saya jadi takut saja!” Salma membalikkan tubuhnya.

         “Tenang! Tak ada yang akan mengganggu dirimu di sini,” kata Aftan dengan senyum meyakinkan.

         Salma menatap wajah Aftar. Laki-laki tampan itu benar-benar tak ada perbedaan dengan Aftan.

         “Aku senang kamu datang. Jadi aku punya teman. Sejak kecil aku tak punya teman, kecuali seorang guru yang mengajarkanku berbagai hal,” kata Aftar lagi membalas tatapan Salma.

         “Terus ibumu kemana? Dan rumahmu dimana?” tanya Salma.

         “Aku harap kamu mau kan jadi temanku! Kamu bantu aku menyelesaikan urusan dengan seorang perempuan penyihir bermata merah!” kata Aftar tanpa memberi jawaban pertanyaan Salma.

         Aftar memandang mata Salma untuk meyakinkan bahwa ia benar-benar butuh teman.

         “Di desaku, aku hanya jadi bahan tertawaan karena aku memiliki kulit wajah berbeda dengan orang tuaku. Jadi aku jarang keluar rumah kecuali untuk belajar pada seorang guru atau sekolah. Hanya Aftan yang mau menjadi teman dan mengajak aku untuk jalan-jalan,” balas Salma.

         Aftar merentang telapak tangannya menawarkan perjanjian persahabatan. Ia meyakinkan Salma dengan senyumnya bahwa ia akan jadi sahabat baik.

         “Walau aku bukan Aftan. Aku juga sahabatmu dan akan menemanimu kemana pun kamu mau,” ucap Aftar.

         Salma meletakkan tangannya di atas telapak tangan Aftar tanda persetujuan.

         Aftar mendekatkan mulutnya pada kepala Salma dan mengucap sesuatu, “Ju uha leih … ju uha leih … hila …hilalah!”

         “Hei! Kamu ngomong apa?” tanya Salma.

         “Mantra. Biar kamu bisa melihat apa sebenarnya yang ada di sini dan kamu juga tak bisa terlihat seperti aku,” jawab Aftar.

         “Memangnya siapa yang akan melihat kamu? Bukankah di sini tak ada siapa pun?” tanya Salma.

         “Lihatlah ke sekelilingmu!” kata Aftar.

         Sekejap Salma melihat perubahan di tempat itu. Ada rumah, orang yang sedang berjalan, bekerja dan berbagai kegiatan lainnya. Mereka semua diam tidak saling menyapa.

         “Wow! Apa sebenarnya yang terjadi di sini?” tanya Salma keheranan.

         “Kamu sedang berada di negeri sihir,” jawab Aftar.

         “Apa? Negeri sihir? Kamu juga bagian dari para penyihir?” Salma mengernyitkan wajah sambil mengajukan pertanyaan beruntun.

         Aftar tersenyum. Ia memahami rasa penasaran Salma. Tapi tetap saja pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.

         Sementara Salma memandang pada setiap apa dan siapa yang dilihatnya. Ia merasa ada yang ganjil. Negeri yang terkungkung dalam sebuah kekuatan asing.

         “Mereka tidak peduli satu sama lain,” kata Salma pelan.

         “Ya. Mereka menjaga perasaan masing-masing. Suatu saat kamu akan mengerti sendiri mengapa semua ini terjadi,” balas Aftar.

         Salma hanya mengangguk pelan. Aftar menarik tangannya mereka beranjak dari tempat itu.

         “Sekarang kita kemana?” tanya Salma.

         “Ke tempat dimana aku tinggal.”

         Mereka terus saja berjalan. Tak satu pun yang menyapa atau mengulur senyum. Salma memperhatikan mereka yang aneh. Kemampuan supranaturalnya dapat membaca keadaan.

         “Mereka sepertinya tidak melihat kita,” kata Salma.

         “Tidak. Mereka tidak bisa melihat kita. Ibuku telah memberi perlindungan dengan kekuatan mantranya sejak aku bayi. Jadi hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat aku,” ujar Aftar.

         “Terus … bagaimana dengan aku? Mereka pasti akan melihat aku,” tegas Salma.

         “Tadi kan kamu sudah kumantrai dengan kekuatanku. Jadi aman,”

         Mereka sama-sama melangkah. Salma memperhatikan kehidupan orang-orang tersebut.

         “Mereka sepertinya orang yang sedih dan tertindas,” kata Salma menarik napas.

         “Ya. Mereka hidup dalam ketertekanan penguasa negeri ini. Mereka dulunya hidup rukun, gotong royong, saling membantu dan membahu dalam bekerja, tidak saling mencurigai. Sejak mereka dibawah pengaruh Nenek bermata merah semua jadi berubah,” jelas Aftar.

         “Nenek bermata merah? Apakah dia yang menguasai negeri ini?” Salma makin penasaran.

         “Tidak. Dia memiliki seorang keponakan yang sekarang menjadi penguasa di sini dan seorang asisten setia yang haus harta. Merekalah yang membuat kekacauan pikiran,” cerita Aftar.

         “Wah … cerita yang sangat menarik. Tapi kamu sendiri belum cerita siapa kamu,” balas Salma.

         “Pentingkah?”

         “Sebagai seorang sahabat. Apa salahnya jika aku tahu,” jawab Salma.

         Tiba-tiba Aftar menarik tangan Salma ke arah pinggir hingga langkah Salma terseret. Sebuah kereta lewat dengan cepat. Lalu berhenti mendadak tidak jauh dari tempat mereka berhenti. Dua orang berpakaian bagus seperti pejabat dari kerajaan turun. Dia memperhatikan sekeliling.

         Sementara Salma dan Aftar hanya mematung memperhatikannya. Aftar menarik tangan Salma menjauh dari situ.

         “Siapa itu?” tanya Salma.

         “Mereka asisten Nenek bermata merah, tiap pekan mereka  keliling ke berbagai desa,” ujar Aftar sambil terus mengawasi tingkah orang yang dia sebut.

         “Tujuannya?”

         “Mereka mencari aku. Kata kakek yang mengasuh aku, itu mereka lakukan sejak aku masih kecil,” jelas Aftar.

         Salah seorang asisten itu mendekati Aftar dan Salma. Matanya liar mengawasi keadaan. Salma dan Aftar mundur menjauh dengan hati-hati.

         Salma sedikit gemetar, tangannya basah oleh keringat dingin. Ia mempererat pegangannya pada Aftar melawan rasa takut. Jantung berdegup cepat.

         Beberapa menit asisten itu kembali ke kendaraannya. Matanya liar mengawasi sekeliling.

         Ia berbicara pada asisten yang satu lagi. Kemudian masuk ke kendaraannya dan melaju pelan.

         Aftar dan Salma masih mematung. Perlahan ia melangkah kembali.

         “Aku tinggal di desa tidak jauh dari sini. Tapi desa itu tidak terlihat oleh mata asisten Nenek bermata merah, karena desa tersebut dilindungi oleh kekuatan mantra ibuku. Jika sesekali desa kami dilewati oleh asisten Nenek bermata merah, mereka hanya melihat seperti kawasan hutan dan semak-semak tak berpenghuni,” jelas Aftar kembali.

         “Terus … penduduknya?” Salma tampak penasaran.

         “Yah! Warga desa sudah saling memahami. Mereka juga orang-orang yang telah menjadi korban Nenek bermata merah. Si Nenek tidak suka dengan warna putih dan terang. Semua penduduk desa senangnya hanya memakai pakaian putih atau yang berwarna terang,” Aftar menjelaskan.

         Tanpa terasa mereka sudah berjalan jauh. Salma mulai merasa lelah.

         “Berapa jauh lagi desamu?” tanya Salma.

         Aftar menunjuk ke satu arah.

         “Itu! Itu desaku,” jawabnya.

         “Wah! Jauh sekali! Aku tidak kuat berjalan sejauh itu.”

         “Lihat dengan batinmu yang kuat! Bukankah pernah kukatakan bahwa di sini banyak yang berbeda dengan yang kita lihat,” kata Aftar.

         Salma memfokuskan pikirannya. Ia memanfaatkan kekuatan supranaturalnya untuk melihat.

         “Baiklah! Jika kamu benar sudah tak kuat berjalan. Tunggu sebentar!” kata Aftar melihat Salma yang benar-benar sudah lelah.

         Aftar melihat ke semua arah seakan sedang mencari sesuatu. Ia memandang ke atas. Ia bersiul. Kemudian ia mengucap sesuatu.

         “Burou la, burou terbong tinggai. Turang turanglah! Turang turanglah!” ucap Aftar

         Salma memperhatikan Aftar dan tak mengerti apa yang diucapkannya.

         “Itu bahasa apa?” tanya Salmai

         “Itu mantra.”

         “Untuk apa?”

         Belum sempat Aftar menjawab. Seekor burung besar berparuh panjang dengan sayap lebar turun dari awan.

         “Ho La. Bawalah kami,” kata Aftar pada burung besar itu.

         Salma hanya heran dengan apa yang terjadi.

         Burung itu hanya berujar dengan “Kuk kuk kuk kuk kuk.”

         Aftar melompat ke atas sayapnya. Kemudian ia mengulurkan tangan pada Salma.

         “Ayo! Biar tidak lelah!” kata Aftar.

         Salma yang belum pernah naik punggung seekor burung merasa bingung. Untuk melompat ke atas punggung burung itu pun dia tak bisa.

          Aftar mengusap bagian kepala burung dan burung itu pun melipatkan kakinya agak merendah agar Salma bisa menaikinya.

          Salma melompat ke atas punggung burung. Ada sedikit gugup dalam dirinya.

          "Pegangan yang kuat ya!” ucap Aftar pada Salma.

          Sebuah bulu sayap paling pinggir dekat leher terlihat lebih panjang dari yang lain. Aftar memberikan ujung sayap itu pada Salma. Bulu sayap itu bagai tali.

          Selang beberapa menit. Burung menengadah ke atas dan langsung mengepakkan sayap.

***

           

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu