x

Sumber ilustrasi: ancient-origins.net

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Rabu, 17 Januari 2024 07:45 WIB

Petualangan di Negeri Sihir (Bagian 9)

  “Kau akan nyaman di sini. Satu-satunya  desa yang tidak bisa dipengaruhi oleh Nenek bermata merah,” kata Aftar sambil menggerakkan tangannya  sebagai tanda mempersilakan burung  untuk terbang kembali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Sil

Desa Tersembunyi

           Sebuah desa yang teduh oleh pohon-pohon. Bunga-bunga mekar sepanjang jalan. Rumputan hijau terhampar. Keindahan alami bermandi cahaya surya yang menyusup melalui celah-celah dedaunan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Burung mengepak turun dari angkasa menapakkan kaki di depan halaman sebuah rumah kayu yang unik. Salma dan Aftar turun dari punggungnya.

            “Wow! Luar biasa!” ujar Salma memperhatikan sekeliling.

            Aftar hanya mematung tersenyum melihat tingkah Salma.

            “Rasanya aku lepas dari berbagai persoalan rumit,” ucap Salma merentangkan tangannya merasa lega dan senang.

            “Kau akan nyaman di sini. Satu-satunya  desa yang tidak bisa dipengaruhi oleh Nenek bermata merah,” kata Aftar sambil menggerakkan tangannya  sebagai tanda mempersilakan burung  untuk terbang kembali.

            Burung itu pun kembali mengepakkan sayap meninggalkan tempat itu.

            Salma masih melepas pandang ke sekeliling dengan rasa kagum. Bunga-bunga melati mekar di mana-mana. Berkali ia menepuk pipinya seolah tidak yakin apa yang ia lihat.

            Dari dalam rumah seorang kakek tua memperhatikan Salma yang asyik dengan dirinya.

            “Alya telah berhasil menemukan gadis itu,” gumam Kakek pada dirinya sendiri sambil melangkahkan kaki ke luar rumah.

            Aftar menghampirinya dan mencium tangan Kakek.

            “Setelah sembilan belas tahun menunggu, ibumu berhasil juga menemukan gadis itu,” kata Kakek pada Aftar, “Gadis yang polos dan berhati mulia,” tambah Kakek.

            Mereka berdua sama-sama mengarahkan perhatian pada Salma.

            Sementara itu beberapa kupu-kupu cantik berterbangan di sekitar tempat itu. Tanpa sadar              Salma mengayunkan tangan seolah menari bersama kupu-kupu. Seperti anak-anak yang lugu, lupa kalau dia sudah beranjak dewasa. Lembut  hembus angin mengayunkan pucuk daun seolah ikut menari.

            “Lihat bagaimana peri kupu-kupu mengaguminya!” kata Kakek lagi kepada Aftar.

            “Ya. Semesta pun ikut menari bersamanya,” balas Aftar ikut kagum dengan keadaan yang tidak biasanya terjadi di tempat itu.

            Kupu-kupu cantik membentuk formasi sesuai gerakan tangan Salma. Kakek dan Aftar memperhatikan Salma yang tengah menikmatinya.

            “Nah, sekarang kita harus melindunginya dari kekuatan Avani si Nenek bermata merah,” kata kakek.

            “Saya akan selalu bersamanya,” ujar Aftar.

            “Harus hati-hati dalam memberi pemahaman padanya. Sebab dia tidak hanya pintar dan cerdas. Lebih dari itu dia seorang yang memiliki rasa ingin tahu sangat tinggi. Sementara si Nenek bermata merah sangat cerdik dengan berbagai muslihatnya,” kata Kakek menjelaskan,

            Aftar hanya mengangguk.

            Sesaat Kakek terdiam. Dia memejamkan mata, kemudian menarik napas dalam dalam. Ada sesuatu yang ditangkapnya melalui penglihatan batin.

            “Sesungguhnya Avani, Nenek bermata merah itu telah mengetahui bahwa yang dapat mematahkan mantra melati ibumu adalah gadis berhati mulia. Dia juga sedang mencari gadis yang sama,” jelas Kakek lagi.

            Aftar sedikit kaget dan memperhatikan ucapan Kakek dengan serius. Ia memandang Kakek dengan rasa khawatir.

            “Wah! Gawat kalau begitu. Berarti desa ini sudah tidak terlindungi lagi oleh kekuatan mantra ibuku,” ucap Aftar mulai cemas.

            “Bisa jadi. Tapi kita akan tahu yang sebenarnya bila ibumu kembali ke sini,” kata Kakek juga mulai mencemaskan keadaan.

            Aftar mengarahkan pandang pada Salma yang tengah asyik dengan kupu-kupu.

“Salma!” panggil Aftar gelisah.

            Salma menoleh dan menghampirinya.

            “Kamu senang sekali kelihatannya,” ucap Aftar menyembunyikan rasa cemasnya..

Salma hanya tersipu.

            “Ini kakek saya. Kakek yang saya sebutkan padamu. Kakek yang mengasuh saya sejak kecil, sekaligus guruku” kata Aftar memperkenalkan sang Kakek.

            “Salam Kek, saya Salma,” ucapnya mengulurkan tangan.

            Sang Kakek menyambut uluran tangan tersebut.

            Sebagai orang yang memiliki ilmu kebatinan cukup tinggi, ia dapat  merasakan ada sesuatu yang mengalir dari tubuh gadis itu. Sebuah energi. Energi kebatinan yang dimilikinya secara alami.

            Kakek semakin yakin bahwa Aftar tidak salah orang. ‘Dia gadis yang tepat untuk mematahkan kekuatan mantra jahat Nenek bermata merah,’ Kakek berkata dalam hatinya.

            “Salam. Semoga kebahagiaan selalu menjadi milikmu, Nak!” balas Kakek pada Salma.

            Tiba-tiba sayup dari kejauhan terdengar suara. Mereka menajamkan pendengaran masing-masing.

            Kakek dan Aftar saling pandang. Mereka khawatir dengan dugaan kalau mantra sang Ibu telah hilang dengan kehadiran Salma.

            “Bawa Salma masuk!” perintah Kakek.

            Aftar mengangguk bergegas menarik tangan Salma untuk masuk ke dalam rumah. Salma yang tidak mengerti hanya mengikuti Aftar.

            Sementara Kakek bersiap menghadapi jika benar hal buruk akan terjadi.

            Semakin lama suara semakin jelas. Suara kereta para pengawal Nenek bermata merah mendekati desa itu.

            Tepat di jalan depan rumah Kakek kereta itu berhenti. Kakek hanya mengawasi dari balik pohon depan rumah. Dia sudah siap berhadapan dengan mereka. Sambil komat-kamit dia membacakan mantra-mantra.

            Salah seorang turun, sementara yang satu tetap di atas kereta mengawasi keadaan. Pengawal yang turun itu berjalan ke arah rumah.

            Dari dalam rumah Aftar dan Salma mengintip melalui celah-celah kayu jendela yang tidak rapat. Jantungnya berpacu cepat. Khawatir terjadi sesuatu dengan Kakek.

            “Apakah dia juga salah seorang utusan Nenek bermata merah?” tanya Salma dengan nada berbisik.

            Aftar hanya menjawab dengan anggukan dan  meletakkan telunjuk pada bibir, sebagai tanda agar Salma tidak bersuara.

            Kondisi semakin menegangkan saat pengawal itu mendekat ke arah  Kakek. Matanya terus mengawasi sekeliling.

            Salma dan Aftar pun ikut tegang. Saat Salma bergerak sedikit sebuah tongkat yang digunakan untuk memalang jendela terjatuh.

            Suara dentuman kecil itu sampai ke telinga pengawal. Pengawal mencari sumber suara, matanya terus mengawasi keadaan. Ia berjalan ke sekeliling.

            Sedangkan Salma masih ketakutan. Ia bergerak menjauh dari jendela. Ia mendekati sebuah meja kecil berkaki rendah. Bunga melati yang tadi sempat dipetiknya dari halaman ia letakkan di atas meja,

            Harum melati segar memenuhi ruangan itu. Beberapa kupu-kupu kembali beterbangan. Lalu keluar melalui jendela belakang yang masih terbuka.

            Di dekat kereta pengawal itu terdengar suara kumbang daun bersahutan. Kupu-kupu berterbangan ke arah sana.

            Melihat kondisi itu pengawal itu kembali ke kereta.

            “Bagaimana?” tanya pengawal yang menunggu di kereta.

            “Tidak ada tanda apa-apa, hanya semak-semak,” jawab pengawal yang ditanya.

            “Perasaan saya mengatakan bahwa tempat ini anak dan kakek itu bersembunyi,” balas pengawal yang menunggu itu.

            “Mana mungkin mereka hidup di tengah semak-semak. Paling tidak mereka itu hidup di gua atau membaur bersama penduduk.”

            “Kalau dilihat dari tanda-tanda dan kemampuan supranatural yang aku miliki di sini tempatnya,” ujar pengawal yang menunggu itu lagi.

            “Kalau pun dulu sempat bersembunyi di sini, tentulah mereka sudah pindah. Ini kan sudah Sembilan belas tahun,” jelas pengawal itu kembali naik ke atas kereta.

            “Ya sudah. Kita kembali saja,”  jawab pengawal langsung mengendarai keretanya.

*

            Sementara itu, dari dalam rumah Aftar merasa lega. Kakek pun masuk menemui mereka.

            “Sepertinya desa ini masih aman dan terlindungi,” kata Kakek.

            “Syukurlah. Pengawal itu tidak melihat kalau desa ini adalah perkampungan penduduk,” balas Aftar.

            Salma hanya mendengar percakapan Kakek dan Aftar. Karena dia belum tahu persoalan yang dihadapi.  

            Suara kembali terdengar. Suara langkah. Mereka kembali saling pandang. Takut pengawal itu kembali. Masing-masing menajamkan fokus. Suara makin jelas dan terdengar semakin keras. Suara dari arah pintu. Suara ketukan. Ayah dan ibunya Salma seperti sudah pulang dari bekerja.

            Aftar memahami, Salma harus kembali ke rumahnya.

            Kupu-kupu berterbangan. Salma memejamkan mata. Harum melati ia hirup dalam-dalam. Ia membuka mata. Tempat itu telah berubah menjadi ruang tidurnya.

***

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB