x

Ilustrasi Misteri. Gambar oleh Enrique Meseguer dari Pixabay

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Selasa, 2 Januari 2024 14:04 WIB

Petualangan di Negeri Sihir (Bagian 7)

Lanjutan Cerita sebelumnya. Rencana seorang Nenek bermata merah untuk mencari gadis yang mampu mematahkan mantra sihir Alya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Petualangan di Negeri Sihir (bagian 7)

Oleh: Sil

Nenek  Bermata Merah

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Nenek bermata merah yang tak lain adalah Avani berdiri menghadap keluar jendela yang terbuka. Hamparan rumput dan bunga-bunga indah merekah di pekarangan rumah tak menenangkan hatinya.

       “Sembilan belas tahun telah berlalu. Anak itu pasti sudah berusia dua puluh tahun sekarang,” gumamnya sendiri. Sesekali desah geram keluar dari bibirnya.

       “Kalau permata itu sudah aku dapatkan. Aku dapat mengembalikan wajahku agar tetap muda dan menawan. Seluruh kekuatan sihir yang ada di muka bumi dapat aku serap tanpa harus mendalaminya lebih jauh,” Nenek masih bergumam. Sesekali ia meraba wajah keriputnya.

       Dari luar pintu ruangan kerja pribadi Nenek diketuk. Ia hanya diam, karena pengawal pribadinya yang selalu berdiri di depan pintu pasti akan membukanya.

       Tiga asisten masuk.

        “Apa sudah ada kabar tentang keberadaan anak itu?” tanyanya sambil membalikkan badan, karena dia sudah tahu siapa yang datang.

         “Belum ada Bu. Kami sudah mencari informasi ke berbagai desa. Tidak ada yang tahu,” jawab asisten pertama bernama Bigu.

         “Alya memang hebat. Pintar sekali dia menyembunyikan anaknya. Kekuatan sihir yang saya miliki juga tak bisa menembusnya,” tambahnya lagi.

        “Oh ya Bu, di pelosok desa ada seorang tukang ramal lain. Kami sempat bertemu dengannya. Dia menyebutkan bahwa anak itu disembunyikan di sebuah kampung,” asisten kedua bernama Gubla angkat bicara.

        “Terus …!” mata Nenek yang merah tajam tertuju pada ucapan asistennya tersebut.

        “Tapi dia tidak bisa melihat lebih jauh letak kampung itu, karena ada kekuatan mantra yang melindunginya,” asisten ketiga bernama Bluan ikut menjelaskan.

        “Saya sudah lama mengetahui hal itu. Bahkan sejak anak itu dia sembunyikan. Sayangnya mantra sang perempuan yang bernama Alya itu terlalu silau dan kuat untuk ditembus,” ucap sang Nenek sambil meremas-remas jarinya.

        “Sang tukang ramal itu menyebutkan bahwa hanya ada satu orang yang bisa mematahkan mantra itu,” imbuh Gubla.

        “Siapa?” tegas Nenek penasaran.

        “Seorang gadis yang berhati mulya dan berbudi luhur,” sambut Bigu.

        “Hmmmm!” gumam Nenek sambil melangkah menuju pintu dan membukanya  “ Jimo … Jimo!” teriaknya memanggil seseorang yang bernama Jimo.

        Tak lama Jimo sudah berada di situ dan sedikit menundukkan kepala, siap menerima perintah.

        “Buatkan saya segelas kopi! Seperti biasa. Tanpa gula, pekat, di dalam gelas kristal!”  perintahnya.

        Jimo berlalu dari tempat itu. Sang nenek kembali ke asistennya mempersilakan mereka   duduk di atas kursi yang memiliki meja lonjong di ruangan itu.  Di atas meja ada teko dan tiga cangkir keramik putih berisi air buat para tamu.

       Ketiga asisten duduk berseberangan dengan Nenek. Mereka siap mendengar apa saja yang dikatakan dan diperintahkan Nenek.

       “Orang yang berbudi luhur dan berhati mulya! Mana ada? Kecuali bayi dan anak kecil yang masih polos. Di negeri ini manusia semacam itu sudah langka. Kalau anak kecil, itu tidak mungkin! Pikiran mereka belum paham apa-apa. Toh kalau ada anak yang punya kelebihan seperti itu pasti sudah ditanamkan pola pikir yang macam-macam oleh orang tuanya,” kata Nenek.

       Belum juga para asisten memberi pendapat Jimo sudah masuk kembali dengan segelas kopi hitam pahit. Dia menyuguhkannya ke hadapan Nenek bersama satu buah sarbet katun dan satu gelas kosong bening yang terbuat dari Kristal.

       “Terima kasih Jimo,” ucapnya.

       Jimo menundukkan kepala sebagai tanda permisi berlalu dari ruangan itu.

       Nenek menarik napas panjang, dadanya ditegakkan sedikit fokus, matanya terpejam dan komat kamit membaca sesuatu dan ditiupnya pada kopi.

       Kemudian ia teguk kopi tersebut. Air kopi yang tersisa ia tuangkan ke gelas kristal satunya. Ia biarkan endapan ampas kopi di dasar gelas.

       Gelas Kristal berisi endapan kopi ia putar searah jarum jam sebanyak tiga kali hingga ampas itu memenuhi dindin gelas. Lalu ia telungkupkan gelas itu beberapa menit diatas sarbet katun..

       Diraihnya kembali gelas dan memperhatikan serbuk sisa endapan pada dinding gelas. Ia bergumam dengan mantra :

       “Kupi ita kupi ita tampaklah ku akau! Kupi ita kupi ita … tampaklah ku akau!”

       Matanya tertuju fokus pada serbuk kopi.

       “Gadis kecil berhati mulia. Kira-kira sembilan  belas tahun usianya. Berkulit wajah gelap,” katanya sambil tersenyum. Gelas kembali diamatinya dengan seksama.

       Asisten yang duduk memperhatikannya dengan wajah serius.

       “Dimana kami bisa menemukannya, Bu?” Bluan asisten ketiga tampak penasaran.

       “Sama sulitnya dengan menemukan anak si Alya itu. Kadang ia ada di negeri ini, kadang tidak. Hmmmm … tunggu! Saya lihat lagi,” ucapnya sambil memutar gelas dengan pelan.

       “Anak Alya itu juga sudah besar rupanya. Gagah seperti ayahnya Asmar. Sayangnya kita tidak bisa menemukan keberadaannya. Mantra Alya sangat kuat melindunginya,”  imbuh Nenek

       “Mungkin kita bisa fokus pada gadis berhati mulia itu, Bu. Kami akan mencari gadis itu!” asisten kedua Gubla ikut usul saran.

       “Ya. Benar sekali. Tidak butuh mantra apapun untuk mematahkan semua mantra Alya,” sambut Nenek dengan muka penuh harap.

       Ketiga asisten itu saling pandang dengan penuh harap.

       “Sebentar! Saya lihat lagi!” sang Nenek kembali fokus pada serbuk kopi pada dinding gelas.

       “Walau anak ini polos dan tidak punya kekuatan mantra apapun, dia bukanlah gadis sembarangan. Dia cerdik dan inisiatif dalam mengatasi persoalan yang sulit. Keluhuran budi dan kemulyaan hatinya itu adalah perisai baginya,”  jelas Nenek.

       “Kami akan menyiapkan strategi yang masuk akal jika kami bertemu dengannya,” ujar Bluan.

       “Tepat sekali. Satu hal lagi yang harus diketahui bahwa anak ini memiliki penglihatan batin yang tajam,” Nenek menambahkan, lalu ia berdiri dan meletakkan cangkir di hadapan asisten dan menuangkan air dari teko.

       “Minumlah! Itu untuk sebuah kebersamaan dan keberhasilan usaha kita. Semoga ini jalan buat kita setelah sembilan belas tahun,” ucap Nenek.

       Para asisten meraih cangkir dan bersulang.

       “Oh ya, Jika nanti gadis itu ditemukan, Berbuatlah baik dan sebijak mungkin kepadanya,” ucap nenek sambil menyeruput minuman yang ia tuangkan.

       “Bujuk dengan cara bijak. Sebab sedikit saja dia curiga. Hasilnya sia-sia. Ia sangat cerdik walaupun polos. Tidak perlu tergesa-gesa. Penuhi semua kebutuhan orang tuanya sampai ia tidak punya kecurigaan,” jelas Nenek.

       “Siap!” suara ketiga asisten serentak.

       “Sedikit tambahan bahwa kelebihan dan kelemahan manusia adalah kekurangan tanpa ia sadari. Manfaatkan kelebihannya untuk menemukan titik lemahnya.”  

       Mereka menundukkan kepala sebagai tanda kesiapan dan berdiri.

       “Ijin kami pamit untuk menjalan misi dan tujuan” ucap Bigu.

       Mereka segera beranjak meninggalkan  tempat itu.

       Sang Nenek tersenyum lega. Wajah penuh harap terlihat jelas melalui tatap matanya.

*

       Di luar rumah Nenek bermata merah ketiga asisten-asisten itu menuju kendaraannya. Tiga buah kendaraan seperti kereta kuda terparkir di halaman. Tapi kereta itu tidak ditarik oleh kuda. Pemakai hanya memegang tali kekang dan menariknya, kendaraan itu akan melaju seperti mobil.

       “Saya menuju desa-desa di bagian barat dan utara,” ujar Bigu pada kedua temannya.

       “Saya ke desa-desa bagian selatan,” kata Bluan.

       “Saya menuju desa-desa selain itu. Kita butuh waktu sepuluh hari untuk berkumpul lagi dan memberi laporan pada Ibu besar,” ucap Gubla.

       “Tapi kita harus pulang terlebih dahulu. Kita harus menggantikan pakaian yang kita pakai dengan pakaian rakyat bawah. Agar tak satu pun yang mengenali indentitas kita sebenarnya,” kata Bluan.

       “Siap! Saya akan berlaku sebagai penjaja makanan keliling,” ujar Bigu.

       Mereka langsung menaiki kendaraan masing-masing melaju meninggalkan tempat itu.  

***

 

 

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB