x

Kekuasaan

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Sabtu, 27 April 2024 14:20 WIB

Istidraj dalam Kepolitikan dan Kepemimpinan

Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah. (HR. Imam Ahmad).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam kehidupan keseharian kerap ditemukan fakta-fakta anomali yang terjadi atau dialami oleh seseorang. Ia hidup serba berkecukupan, bahkan melimpah ruah secara materi. Jarang sekali sakit dan mendapat musibah. Padahal ia adalah pelaku segala jenis maksiat dan kemunkaran. Perintah agama yang dianutnya ditinggalkan, larangan-larangannya ditabrak setiap waktu.

Di dunia politik gejala serupa juga banyak ditemukan. Seorang politisi sukses secara materil. Karir politiknya terus melenting, memiliki kewenangan dan pengaruh besar serta menentukan, namanya popular, pundi-pundi harta dan kekayaannya terus bertambah.

Dan tidak pernah mengalami kendala berarti setiap kali perhelatan Pemilu digelar. Ia selalu berhasil mewujudkan hasrat dan ambisi kuasanya. Ia bahkan juga disanjung dan nampak disukai rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal ia terpilih (sebutlah menjadi anggota legislatif atau pimpinan eksekutif) dengan cara membeli suara rakyat yang uangnya berasal dari komisi proyek-proyek pemerintah. Atau dengan jalan intimidasi menggunakan berbagai sumber kekuatan negara maupun non-negara.

Di sela-sela kunjungan kerja, rapat-rapat, seminar, menghadiri berbagai acara, reses dan ketemu konstituen ia juga biasa mampir di tempat hiburan malam, melek sampai pagi. Ia adalah politisi pelanggan segala jenis maksiat dan kemunkaran.   

Anehnya situasi yang demikian tidak pernah dirasakannya sebagai anomali. Ia tidak pernah curiga dengan berbagai keberlimpahan dan kenikmatan materil yang diraihnya sementara saban hari dirinya berbuat maksiat dan menjauh dari perintah agama. Baik maksiat bathin seperti takabur, iri dengki, dan hasad, juga maksiat lahir semisal memfitnah, korupsi, berkhianat, ingkar janji atau berdusta.

Dalam Islam gejala serupa itu disebut Istidraj. Berasal dari kata Daraja, At-tadrij yang berarti setingkat demi setingkat (berangsur-angsur).

 

Makna dan Hakikat Istidraj

Di dalam Al Quran kata Istidraj ditemukan dalam beberapa surat dan ayat. Diantaranya dalam surat Al 'Araf: 182: "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami biarkan mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.”

Dan surat Al Qolam ayat 44: "Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al Quran). Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui,"

Sementara di dalam Hadits Nabi SAW, fenomena Istidraj antara lain dikemukakan oleh 'Uqbah bin Amir: “Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah.” (HR. Imam Ahmad).

Berdasarkan landasan syar’i itu, para ulama kemudian menjelaskan Istidraj sebagai nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang yang mengingkari-Nya (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an).

Setiap kali mereka melakukan maksiat, Allah berikan kenikmatan secara langsung dan berkesinambungan hingga mereka mengira bahwa berbagai kenikmatan itu adalah anugrah. Padahal sejatinya semua itu adalah “tipu daya”, jebakan atau pembiaran yang Allah lakukan untuk mereka karena kemunkaran dan kemaksiatan yang mereka perbuat tanpa segera menyadarinya.

Oleh sebab itu jika merujuk pada pandangan Imam Qusyairi dalam kitabnya Lathaif al- Isyarat: Tafsir Sufi Kamil li al-Quran al-Karim, istidraj pada hakekatnya merupakan cara Allah mendekatkan para pelaku maksiat, para pendosa yang mengingkari perintah dan melanggar larangan-laranganNya dengan hukuman tanpa mereka sadari karena yang mereka rasakan adalah justru limpahan kenikmatan.  

 

Ciri-ciri Istidraj Politik
Dari beberapa rujukan syar’i diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum penanda seseorang sedang terjerumus dalam istidraj Allah adalah ia hidup dalam keberlimpahan harta dan kekayaan, kesehatan fisik, kesuskesan karir, kekuasaan dan jabatan, sementara di saat yang sama ia juga melakukan berbagai jenis maksiat dan kemunkaran.

Dalam konteks politik, potensi Istidraj (jebakan, azab dan pembiaran oleh Allah) yang sedang dialami seorang politisi atau pemimpin bisa berupa fakta-fakta fenomenologis berikut ini.

Pertama, sebagai politisi atau pemimpin ia raih jabatan dan kedudukan politiknya dengan cara culas, melanggar etik dan hukum, membeli suara rakyat (money politics), menggunakan kewenangan dan/atau fasilitas negara yang tak seharusnya digunakan (abuse of power), serta cara-cara Machiavellian lainnya. Namun karir politiknya terus berkembang dan melenting dari waktu ke waktu.

Kedua, sebagai politisi atau pemimpin perilakunya jauh dari amanah dan integritas. Ia mengkhianati kepercayaan rakyat yang dimandatkan kepadanya, mengingkari janji-janji dan komitmen politiknya saat membutuhkan suara rakyat, terbiasa berbohong dan munafik, serta memimpin dengan watak otoritarian dan despot. Namun jabatan dan kekuasaannya tetap stabil, wibawa dan pengaruh politiknya tetap kuat, dan ia nampak dicintai rakyat.    

Ketiga, sebagai politisi atau pemimpin sering (jika tidak selalu) kebijakan-kebijakan politik yang dibuatnya atau yang ia terlibat dalam proses perumusannya, yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan negara. Sebagiannya bahkan potensial menyengsarakan rakyat. Tetapi kepemimpinan politiknya tetap nampak mendapat dukungan bahkan apresiasi banyak orang.

Keempat, dalam konteks umum, menurut para ulama, seorang yang sedang mendapat azab istidraj biasanya juga jarang sekali sakit dan mengalami musibah duniawi dalam kehidupannya.

Terhadap semua fenomena itu, Ali Bin Abi Thalib mengingatkan, "Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau melihat Rabbmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya." (Mutiara Nahjul Balaghoh).

Kelima, didalam hati dan pikiran seorang politisi atau pemimpin yang sedang mendapatkan azab Istidraj juga terbersit keyakinan bahwa jabatan, kewenangan dan segala keberlimpahan nikmat duniawi yang lahir dari kekuasaan politiknya ia peroleh dan miliki semata-mata karena hasil ikhtiar dan kerja kerasnya.

Ia mengingkari doktrin theologis (akidah) yang seharusnya diyakini bahwa semua yang didapatkan dan dimilikinya semata-mata merupakan anugrah sekaligus amanah dari Allah. Tapi lagi-lagi, dengan hati dan pikiran yang ingkar itupun ia hidup dalam ketenangan dan kenyamanan sebagai politisi atau pemimpin.

Dalam sejarah peradaban kekuasaan umat manusia, Fir’aun adalah salah satu contoh paling dahsyat bagaimana istidraj Allah bekerja pada pribadi seorang pemimpin. Seperti dikisahkan didalam Al Quran, Fir’aun adalah penguasa despot yang dzalim, tiran yang bengis. Ia memiliki segalanya. Keberlimpahan harta dan kemegahan kekuasaan. Ia bahkan dengan lantang mendeklarasikan dirinya sebagai Tuhan:

“Anaa Robbukumul A’la” (QS. An-Naziat: 24). Akulah Tuhan yang Paling Tinggi. Demikian Fir’aun mengumbar kesombongan dan ambisinya di hadapan rakyatnya sekaligus bermaksud menegasikan Allah sebagai Tuhan dan Kerasulan Musa ‘alaihissalam. Namun demikian Allah memberinya kemegahan dan kenikmatan kepada Fir’aun hingga tiba waktunya kemudian ia dibinasakan di Laut Merah dan di akhirat.

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler