Krisis Pangan versus Kesejahteraan Petani Lokal

Kamis, 16 Mei 2024 14:55 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Krisis pangan sudah menjadi ancaman global yang nyata. Indonesia pun terkena dampaknya. Sebagian wilayah mengalami kelangkaan dan kenaikan harga-harga bahan pangan. Tapi nasib para pertani masih harus terus diperjuangkan, mereka belum sejahtera.

Pada saat ini dunia tengah dihadapkan pada ancaman krisis pangan yang parah. Berbagai faktor sebab, mulai dari perubahan iklim, peningkatan populasi, bencana alam, kondisi ekonomi, konflik geopolitik, hingga gangguan pada rantai pasokan telah berkomplikasi sedemikian rupa hingga menciptakan situasi yang sangat mengkhawatirkan.

Jutaan orang di berbagai belahan dunia terancam kelaparan dan kekurangan gizi dengan konsekuensi yang luas di sektor-sektor kesehatan, stabilitas sosial, pendidikan, dan ekonomi global.

                               Gambar 1: Korban Krisis Pangan Global

Ukraina adalah salah satu lumbung pangan dunia. Oleh sebab itu, peperangan di Ukraina yang masih berlangsung hingga pada saat ini saja sudah menjadi salah satu pemicu krisis ini. Disrupsi pasokan gandum dan pupuk dari Ukraina telah berdampak pada negara-negara lain; terutama di Afrika dan Timur Tengah yang masih bergantung pada impor pangan. Demikian pula halnya dengan fenomena-fenomena cuaca ekstrim sebagai akibat dari perubahan iklim juga dapat memperparah keadaan; menyebabkan kekeringan & banjir yang merusak atau setidaknya menurunkan jumlah hasil panen di berbagai wilayah.

Apakah Indonesia Terkena Dampaknya?

Karena pada saat ini dunia telah saling terhubung ke dalam sistem global yang kompleks, maka kita pun (Indonesia) terkena dampaknya. Krisis ini, besar atau kecil, telah menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga-harga bahan-bahan pangan di seluruh dunia hingga membebani ekonomi setiap rumah tangga, menurunkan daya-beli, dan juga inflasi. Sehubungan dengan hal ini, sebagai ilustrasi, BPS telah mencatat terjadinya inflasi harga pangan sebesar 1.26% pada tahun 2022.

Sementara Badan Pangan Nasional menyebutkan harga beras pernah naik hingga 14.08% dan harga guna naik 20% pada tahun 2023 (Upland, 2024). Jika situasi seperti ini terbiarkan sekian lama tanpa upaya-upaya perbaikan yang signifikan, maka cepat atau lambat potensi kerawanan sosial dan gejolak politik akan muncul. Membahayakan.

Solusi Krisis Pangan di Indonesia

Karena krisis ini terkait (kolaborasi dan koordinasi) berbagai pihak/sektor, maka potensi solusinya pun perlu melibatkan mereka secara proporsional. Ada pun beberapa potensi solusi itu adalah upaya-upaya: (1) penurunan faktor-faktor penyebab perubahan iklim [jangka panjang]; (2) peningkatan produksi pangan (secara intensif dan ekstensif); (3) introduksi substitusi pangan [pengganti bahan pangan pokok]; (4) pencarian [penelitian, pengembangan, dan promosi] sumber-sumber pangan baru (keragaman); (5) penurunan faktor-faktor pemborosan pangan; (6) membangun insfrastruktur pendukung pangan (terutama bendungan dan irigasi); (7) melindungi lahan-lahan produktif pertanian; dan (8) dukungan pemerintah (terutama permodalan, pupuk, obat, dan bibit) bagi para petani.

Seiring dengan solusi-solusi itu, sejak beberapa tahun lalu muncullah program food-estate sebagai pelengkap; konsep pengembangan pangan yang terintegrasi (mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan) di sebuah kawasan. Program yang tercakup sebagai salah program strategis nasional (PSN) 2020-2024 ini bertujuan umum untuk mengamankan ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan yang berkualitas bagi masyarakat berdasarkan produksi dalam negeri.

Peran & Nasib Para Petani Lokal

Solusi-solusi di atas beserta program food-estate-nya tentu saja memerlukan peran sentral para petani. Tanpa para petani, solusi-solusi itu tidak akan berjalan sama sekali. Peran dan jasa para petani memang sudah sangat besar bagi bangsa ini sejak dahulu; yaitu menyediakan bahan pangan bagi kita semua. Jadi, Indonesia adalah negara agraris; negaranya para petani. Meskipun demikian, sayangnya, terutama petani kecil dan buruh tani, pengorbanan mereka belum sebanding dengan kesejahteraannya.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika sebagian dari mereka telah menjual lahan-lahan produktifnya hingga luas lahan pangan secara keseluruhan makin berkurang (beralih fungsi), jumlah petani menurun (beralih profesi), dan buruh tani meningkat; tingkat pengangguran dan kemiskinan bertambah. Mereka tentu saja sangat mencintai dan ihklas dalam menjalankan profesinya, tetapi nampak frustasi dengan situasinya secara keseluruhan.

              

                       Gambar 2: Contoh Masalah Petani Lokal

“Kaidah” Harga Beras Harus Murah & Akibatnya

Untuk melindungi ketersediaan bahan pangan bagi masyarakatnya, terutama beras sebagai makanan pokok, sejak dahulu, para penguasa kita selalu menggunakan kaidah umum bahwa harga beras harus murah hingga dapat terjangkau oleh segenap masyarakatnya yang terbawah. Pendapat masyarakat pun demikian.

Dengan kaidah ini, implementasinya, jika suatu saat terjadi kelangkaan beras (produksi menurun hingga terjadi defisit) atau kenaikan harganya, maka dilakukanlah import beras hingga akhirnya ketersediaan beras normal dan/atau harga beras kembali (turun) ke harga tertentu yang diinginkan.

           Gambar 3: Diagram Sebab-Akibat Import Beras

Selintas, kaidah ini nampak sangat baik dan bersifat melindungi. Tetapi jika dibedah lebih lanjut, maka sebenarnya, analisa terhadap kaidah ini (diagram sebab-akibat import beras) dapat berkata lain; ada pihak yang sangat dirugikan dan tidak terperhatikan dalam jangka panjang (khususnya para petani lokal). Dengan kaidah ini, sederhananya, harga beras cenderung akan "terpatok" di kisaran (rendah) tertentu dalam jangka panjang.

Bahkan, para petani lokal tidak dapat menikmati event perbaikan kesejahteraannya (dengan kenaikan harga beras) meskipun untuk sesaat; pemerintah nampaknya sering keburu (memprioritaskan) mengimport beras (sebagai solusi cepat) tanpa berupaya keras untuk terlebih dahulu "menggalakkannya" di sektor produksi beras dalam jangka panjang. Akibatnya, bisnis di sektor ini menjadi tidak menarik dan juga tidak menguntungkan (tidak berprospek) bagi para petani lokal. Ironisnya, bisnis ini justru sangat menguntungkan bagi para petani di negara-negara dimana Indonesia sering mengimportnya. Produk mereka laku keras dan Indonesia jadi bergantung pada mereka.

Kaidah ini cenderung akan “mematikan” (bisnis & profesi) para petani lokal secara perlahan, meskipun nampaknya tidak mungkin. Selain itu, secara tak tersadar, kaidah ini juga akan menjadikan mereka berada di kelas yang paling bawah. Kok bisa? Ya, pada situasi seperti itu, para petani harus tetap dapat melayani kebutuhan beras semua kalangan/kelas masyarakat meskipun mereka sendiri belum tentu mendapatkan keuntungan yang cukup dari bisnisnya. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan kelas para petani (kecil) dibutuhkan biaya, waktu, dan energi yang sangat besar. Dengan menaikkan kelas mereka, maka beberapa kelas yang lain (terutama pedagang [beras] dan lainnya) juga ikut naik.

Solusi Krisis Pangan & Upaya-Upaya Perbaikan Nasib Para Petani Lokal

Solusi-solusi krisis pangan beserta program food-estate di atas tentu saja sudah benar/baik. Meskipun demikian, solusi-solusi itu masih perlu dikombinasikan dengan upaya-upaya perbaikan nasib para petani lokal. Ingat, para petani adalah pemeran utama pada kasus ini. Jadi, jika bukan mereka, maka siapa yang akan menjalankan solusi-solusi itu?

                              Gambar 4: Siapa ya yang mau jadi Petani?

Adapun upaya-upaya (potensi) perbaikan nasib para petani lokal yang dimaksud adalah: [1] pemerintah (pusat/daerah) (jika) perlu mengambil alih sebagian dari bisnis, permodalan (investasi), litbang, dan aktivitas di sektor-sektor pertanian (terutama beras); menyediakan lahan-lahan luas (milik pemerintah), menggaji para petani (penggarap) secara profesional, menyediakan pupuk, bibit, alat-alat pertanian, penggilingan, dan lain sejenisnya; [2] pemerintah juga melibatkan pihak swasta (terutama UMKM) dan para petani itu sendiri (perorangan) seperti halnya point [1]. Jika upaya-upaya ini telah ditempuh sekian lama dan berhasil, maka kebutuhan beras nasional tentu saja akan tercukupi, para petani mendapatkan bantuan modal dan akhirnya memperoleh keuntungan yang signifikan, bisnis dan profesi petani semakin menarik, harga beras terjangkau oleh masyarakat meskipun bergerak secara dinamis sesuai dengan supply & demand apa adanya (objektif); semuanya happy.

Catatan Akhir

Kaidah di atas perlu diperbaiki; beras itu (bahan pangan pokok) tidak harus murah, tetapi terjangkau oleh masyarakat. Konsekuensinya adalah ketersediaannya harus dijamin (produksi beras dalam negeri harus ditingkatkan), keterjangkauannya harus diusahakan (peluang pendidikan, kesempatan kerja, dan pendapatan masyarakat harus terus ditingkatkan), dan pemerintah harus selalu memonitor dan menindak-lanjuti potensi masalah terkait hal ini.

Import pangan (khususnya beras) pada kondisi tertentu bisa jadi tidak terhindarkan. Jadi, jika kondisinya sangat mendesak, hal ini boleh-boleh saja dilakukan. Hanya saja, hal itu tidak boleh menjadi kebiasaan. Jika memang harus dilakukan, maka hal itu perlu didahului dengan pertimbangan yang sangat matang dan akurat terkait waktu (kapan) saatnya dan besarannya. Meskipun demikian, yang paling disarankan adalah terlebih dahulu (memprioritaskan) melakukan upaya-upaya peningkatan produksi bahan pangan (baik secara intensif maupun ekstensif) dalam jangka panjang (tindakan internal) ketimbang solusi instan import beras (tindakan eksternal).

(Upland, 2024)

Upland. Dampak Kenaikan Harga Pangan di Indonesia. 2024. https://upland.psp.pertanian.go.id/public/artikel/1704858527/dampak-kenaikan-harga-pangan-di-indonesia. 01 Januari 2024.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Eddy Prahasta

Penulis Indonesia

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler