Romantika Wartawan Pager: Bergaya James Bond, Berita dengan Sentuhan Manual

Kamis, 19 September 2024 11:14 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content1
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menjadi wartawan dengan pager di pinggang ibarat seorang agen rahasia. Pesan singkat yang muncul di layar kecil itu adalah perintah untuk segera beraksi.

Oleh: Asep K Nur Zaman

Ada masanya menjadi wartawan terasa heroik—cukup dengan pager di pinggang dan mesin ketik di meja. Di era awal 1990-an, setiap kali pager bergetar, dunia mendadak terasa berputar lebih cepat. Tapi, meskipun dunia terguncang, berita tetap akan terbit besok, atau minggu depan bagi majalah mingguan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masyarakat pada masa itu sabar menunggu. Mereka menghormati proses panjang dari pengumpulan fakta, penulisan, hingga akhirnya berita siap terbit. Berita bukan hanya informasi; ia adalah karya yang berumur panjang. Sementara pager, perangkat kecil yang hampir mirip dengan sabuk gadget ala James Bond, menjadi sinyal panggilan untuk segera beraksi.

Pager adalah perangkat komunikasi nirkabel yang populer pada era 1980-an hingga 1990-an sebelum ponsel menjadi dominan. Fungsinya adalah menerima pesan singkat atau notifikasi dari pengirim.

Pengguna pager akan menerima pesan berupa angka, kode, atau kalimat singkat, dan biasanya diminta untuk menelepon kembali nomor yang tertera di layar. Pager banyak digunakan oleh para profesional seperti dokter, teknisi, atau pebisnis untuk keperluan komunikasi cepat. Tak terkecuali kalangan jurnalis.

Instruksi untuk Pemburu Berita

Menjadi wartawan dengan pager ibarat seorang agen rahasia. Pesan singkat yang muncul di layar kecil itu adalah perintah tak langsung: "Cepat ke Balai Kota!" atau "Peristiwa besar di Istana, segera meluncur!" Di tengah hiruk pikuk jalanan penuh angkot dan bis kota, kami bergerak cepat, melintasi kota dalam misi jurnalistik.

Namun di balik kecepatan itu, ada ketenangan aneh. Meski buru-buru mengejar berita, kami tahu bahwa penulisan masih bisa dilakukan sore atau malam hari, mendekati deadline. Toh, berita yang ditulis hari ini baru bisa dibaca keesokan paginya.

Anehnya, meskipun waktu penyajian terkesan lambat, berita terasa segar dan tetap dicari-cari. Seolah-olah menunggu itu bagian dari kenikmatannya. Setiap kata memiliki bobot tersendiri.

Tip-ex, Kopi, dan Asbak: Sekutu Setia

Di era mesin ketik, berita tak hanya soal apa yang disampaikan, tetapi juga bagaimana setiap ketukan ujung jemari pada mesin ketik seperti simfoni kesalahan yang harus segera diatasi dengan Tip-ex. Salah ketik dianggap dosa besar, sesuatu yang memalukan, tetapi juga tak terelakkan.

Tip-ex adalah teman setia di meja mesin tik, bersekutu dengan kopi hitam dan asbak yang penuh puntung rokok. Setiap artikel dirangkai dengan ketelitian, karena berita esok hari adalah sesuatu yang akan dinikmati pembaca, bukan hanya sekadar dilirik. Di atas kertas, kata-kata bernapas; ada hidup di setiap laporan.

Bahkan, dulu, ada perasaan bangga ketika sebuah majalah berita mingguan seperti Tempo diterbitkan. Orang rela menunggu seminggu penuh. Dan, ketika majalah itu sampai di tangan pembaca, ada ekspektasi untuk menemukan analisis yang mendalam, laporan investigasi yang tajam, dan sudut pandang yang membuka wawasan.

Tapi sekarang? Masyarakat lebih memilih berita cepat, singkat, dan—seringkali—dangkal. Judulnya bombastis, isinya tak seberapa. Wartawan saat ini mungkin lebih produktif, tapi apakah mereka lebih bermakna?

Di era ponsel pintar dan internet, wartawannya pun dalam tekanan harus menulis secepat kilat. Tak ada lagi mesin ketik yang memperlambat kreativitas, tapi juga tak ada lagi kedalaman yang sama. Artikel ditulis hanya untuk dikonsumsi, bukan direnungkan. Berita cepat saji ala mi instan: cepat, mengenyangkan, tapi tak membekas.

Menunggu yang Dulu Dinikmati

Dulu, berita ibarat hidangan lambat yang dipersiapkan dengan cermat. Menunggu berita datang adalah bagian dari kesenangan. Sementara sekarang, satu geseran di layar ponsel, dan ribuan informasi membanjiri.

Tapi ironisnya, semakin cepat informasi datang, semakin cepat pula ia terlupakan. Berita yang baru saja ditulis lima menit lalu bisa dianggap basi jika tidak segera diunggah ke platform digital atau live streaming. Kecepatan informasi kini mengalahkan substansinya.

Dulu, wartawan juga menulis di bawah tekanan, tetapi tekanan itu membawa kualitas. Mereka tahu, ketika artikel mereka terbit, itu akan menjadi pembicaraan selama berhari-hari.

Kini, berita hanya bertahan beberapa jam sebelum tenggelam di bawah berita lain yang lebih sensasional. Algoritma menguasai, bukan lagi kualitas.

Wartawan Bodrex dan Netizen James Bond

Tantangan terbesar jurnalis dulu adalah para "wartawan bodrex", yang muncul tanpa berita (muntaber), tetapi selalu hadir di acara-acara besar demi mendapatkan amplop. Pasukan wartawan gadungan itu sering kali merajai acara seremonial dengan merangsek dan penuh gertak. Mereka juga berani menyusup ke pos-pos basah dan ruang kerja pejabat bermasalah.

Namun sekarang, tantangan itu datang dari warganet. Mereka memiliki mata dan telinga di mana-mana, lebih lihai dari James Bond. Berita yang mereka sebarkan melalui jejaring sosial sering kali lebih cepat dari yang bisa ditulis oleh wartawan. Jurnalis tulen terlihat tertinggal langkah, bahkan seringkali menjadikan warganet sebagai sumber berita.

Sebagai catatan penutup: Wartawan di era pager dan mesin ketik mungkin lambat, tetapi mereka tahu bahwa apa yang mereka tulis akan diingat dan dihargai—bukan sekadar headline yang segera usang.

Kini, masa itu tinggal kenangan. Era digital mungkin membawa romantika tersendiri yang kelak juga akan dimuseumkan sebagai bagian dari perjalanan penting dunia pers.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

3 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler