DPR: Dari Rumah Rakyat ke Panggung Artis
4 jam lalu
Dulu DPR dikritik karena terlalu pasif, kini jadi terlalu aktif dengan berani berjoget-joget di ruang sidang.
***
YUSRIL Ihza Mahendra baru-baru ini melontarkan kritik yang cukup menohok: kualitas DPR semakin menurun karena terlalu banyak diisi artis dan influencer. Kritik ini, tentu saja, langsung terasa masuk akal. Bagaimana tidak, ruang sidang paripurna kini lebih menyerupai panggung variety show, lengkap dengan adegan joget-joget massal, alih-alih forum terhormat tempat merumuskan undang-undang.
Kasus paling segar tentu masih hangat dalam ingatan publik: aksi sejumlah anggota DPR yang berjoget ria di ruang sidang paripurna saat mengesahkan kenaikan tunjangan mereka sendiri. Lengkap dengan musik riang, tepuk tangan, dan wajah sumringah, seolah-olah sedang merayakan kelulusan anak TK. Bedanya, anak TK menari untuk menghibur orang tua mereka, sedangkan anggota dewan menari untuk menghibur diri sendiri—di atas penderitaan rakyat yang gajinya tidak naik-naik.
Tak heran jika aksi joget ini langsung mengundang protes besar-besaran. Rakyat turun ke jalan, bukan untuk berdansa, melainkan untuk berteriak. Mereka protes karena sudah terlalu lama menanggung beban harga sembako, listrik, dan BBM yang melambung, sementara para “wakil rakyat” justru merayakan tunjangan baru mereka dengan gaya flashmob. Ironisnya, bukannya merasa malu, beberapa anggota DPR malah berdalih, “Ini bentuk ekspresi kebahagiaan.”
Ekspresi kebahagiaan? Tentu saja, siapa yang tidak bahagia jika gaji dan tunjangan naik? Rakyat pun mungkin mau ikut joget kalau harga sembako dan BBM turun.
Dari "3D" ke TikTok
Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru. DPR sudah lama menjadi bahan olok-olok publik. Pada masa Orde Baru, mereka bahkan dijuluki “3D”: datang, duduk, duit. Artinya, anggota dewan hanya rajin datang untuk absen, duduk manis tanpa kontribusi berarti, lalu pulang membawa duit.
Sindiran itu begitu populer hingga masuk ke lagu-lagu Iwan Fals. Dengan suara serak khasnya, ia menggambarkan gedung DPR sebagai tempat wakil rakyat lebih sering tertidur ketimbang memperjuangkan suara rakyat. Kursi empuk parlemen menjadi ranjang tidur, sementara penderitaan rakyat tidak pernah benar-benar sampai ke telinga mereka.
Dulu, DPR dikritik karena terlalu pasif, seperti boneka yang diam dan manut. Kini, ironinya justru berbalik: DPR terlalu aktif, tapi sibuk menciptakan konten, berjoget, dan memburu kamera. Kalau dulu masalahnya “kurang gerak,” sekarang masalahnya “gerak kelewat banyak.” Dari 3D kita kini beralih ke 3C: cari kamera, cari panggung, cari sensasi.
Sindiran terhadap DPR juga pernah datang dari seorang presiden yang terkenal dengan humornya, Gus Dur. Dengan gaya khasnya, ia pernah meledek bahwa DPR itu mirip taman kanak-kanak: ribut, gaduh, berebut mainan, tapi jarang serius belajar.
Dan, lihatlah, ucapan itu terbukti abadi. Hanya saja, kini TK itu sudah “naik level.” Kalau dulu sekadar TK biasa, sekarang sudah menjadi TK Plus dengan ekstra kurikuler TikTok atau medsos. Ada pentas seni di ruang paripurna: nyanyi, joget, drama, bahkan collab ala influencer. Sebuah evolusi dari kekanak-kanakan menuju hiburan massal.
Ada Andil Rakyat
Yusril benar bahwa kehadiran artis dan influencer mempercepat degradasi kualitas. Di Senayan, pidato serius bisa terdengar seperti voice over iklan sabun. Perdebatan bisa berakhir dengan “prank,” “collab,” atau “giveaway.” Tak lama lagi, rapat paripurna mungkin akan dibuka dengan tagline: “Jangan lupa like, comment, share, dan subscribe di channel DPR RI Official!”
Namun jangan buru-buru menyalahkan mereka saja. Bukankah rakyat juga ikut andil? Rakyatlah yang memilih mereka. Rakyat lebih hafal wajah selebritas sinetron daripada ahli hukum tata negara. Rakyat lebih percaya bintang iklan skincare ketimbang pakar ekonomi. Dan, yang paling penting, rakyat lebih suka figur viral ketimbang orang cerdas yang membosankan.
Kalau begitu, jangan salahkan DPR yang penuh artis. Salahkan selera publik yang mengubah gedung parlemen menjadi panggung infotainment.
Perbandingan internasional membuat situasi ini semakin absurd. Di Amerika Serikat, memang ada aktor dan selebritas yang menjadi senator atau gubernur—Arnold Schwarzenegger, misalnya. Di Filipina, keluarga Marcos dan Manny Pacquiao memadukan politik dengan dunia hiburan. Tapi setidaknya, mereka masih menjaga wibawa di forum resmi.
Indonesia tampaknya menemukan jalan baru: demokrasi plus bonus reality show.
Maka benarlah pepatah lama yang diubah sesuai zaman: DPR bukan lagi “Dewan Perwakilan Rakyat,” melainkan “Dewan Pertunjukan Republik.”
Pada akhirnya, kita harus bertanya: mau dibawa ke mana wajah demokrasi Indonesia jika parlemen terus dibiarkan menjadi panggung hiburan? Joget di ruang sidang memang bisa viral, tapi undang-undang yang berkualitas jauh lebih berharga daripada sekadar konten lucu. Popularitas boleh menjadi tiket masuk, tetapi tanggung jawab adalah tiket bertahan.
Rakyat pun perlu bercermin. Kita tidak bisa hanya marah ketika DPR terlihat menari di atas penderitaan kita, sementara pada hari pemilu kita memilih mereka hanya karena wajahnya sering muncul di layar kaca. Demokrasi yang sehat membutuhkan pemilih yang cerdas, bukan pemilih yang mudah tergoda cahaya kamera.
Yusril mungkin benar soal menurunnya kualitas DPR. Tetapi perbaikan tidak hanya bisa datang dari dalam gedung parlemen, melainkan juga dari luar: dari rakyat yang menuntut wakilnya serius bekerja, dari media yang berani mengkritik, dan dari partai politik yang berani mencalonkan orang-orang yang punya integritas, bukan sekadar punya jumlah followers.
Kalau tidak, kita hanya akan menyaksikan episode-episode baru dari “Senayan Got Talent”—lanjutan dari satire lama ala Iwan Fals dan lelucon Gus Dur—tanpa pernah melihat perbaikan nyata dalam hidup sehari-hari. Dan, di akhir cerita, rakyatlah yang tetap menonton sambil menanggung beban.

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
4 Pengikut

DPR: Dari Rumah Rakyat ke Panggung Artis
4 jam lalu
DPR yang Menjijikkan
Rabu, 27 Agustus 2025 07:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler