DPR yang Menjijikkan

Rabu, 27 Agustus 2025 07:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Eko Patrio joget-joget bersama anggota DPR lain. Foto: Tangkapan layar dari Tribunews,
Iklan

Demokrasi tanpa perwakilan yang layak hanyalah pesta pora yang menjijikan di atas penderitaan rakyat.

***

ADA satu kata yang paling pas ketika kita berbicara tentang DPR hari ini: menjijikan. Kata yang biasanya kita simpan untuk bau busuk sampah, untuk got yang mampet, atau untuk tikus besar yang berlarian di dapur, kini tampaknya lebih cocok ditempelkan pada lembaga yang mestinya kita muliakan: Dewan Perwakilan Rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

DPR seharusnya menjadi jantung demokrasi, tempat rakyat menitipkan suara, harapan, dan masa depan. Tetapi apa yang kita saksikan hari ini? Gedung megah yang sulit ditembus arus aspirasi rakyat, dingin ber-AC dengan kursi empuk yang meninabobokan, rapat-rapat yang sering kosong, lalu wajah-wajah wakil rakyat yang tampak lebih sibuk mengurus fasilitas pribadi ketimbang mengurus hajat hidup orang banyak.

Joget ala DPR (Foto: Tempo)

Setiap kali kita membaca berita tentang DPR, perasaan kita campur aduk antara muak dan geli. Muak karena melihat betapa banyak fasilitas yang disedot dari anggaran negara untuk memanjakan mereka. Geli karena, ironisnya, semua itu terjadi di negeri yang masih dipenuhi rakyat miskin, petani yang gagal panen, buruh yang gajinya tidak naik-naik, dan anak-anak sekolah yang harus berjalan berkilo-kilo tanpa alas kaki.

Lalu ada pula kelakuan mereka yang semakin membuat kita ingin muntah: tidur saat sidang, absen tanpa alasan, ribut soal kursi kekuasaan, hingga saling serang lewat kata-kata kasar yang bahkan lebih rendah daripada obrolan warung kopi. Kalau itu disebut “perwakilan rakyat,” rakyat mana yang mereka wakili? Rakyat yang mana yang ingin wakilnya lebih sering berlibur ke luar negeri ketimbang mendengar jeritan nelayan di pantai?

Laksana Opera Sabun

Kita pernah diajarkan bahwa demokrasi itu indah. Bahwa dengan adanya DPR, suara rakyat akan didengar, kebijakan akan ditimbang, dan keadilan akan ditegakkan. Tetapi, di tangan mereka, demokrasi berubah menjadi opera sabun. Setiap periode pemilu, rakyat diiming-imingi janji manis, senyum palsu, dan jargon “demi rakyat.” Begitu kursi empuk diraih, “demi rakyat” berganti menjadi “demi rekening dan fasilitas.”

Bukankah menjijikan ketika mobil dinas baru dianggarkan, sementara rumah sakit di daerah terpencil kekurangan obat? Bukankah menjijikan ketika anggaran perjalanan ke luar negeri miliaran rupiah disetujui, sementara anak-anak sekolah masih belajar di bangunan reyot? Bukankah menjijikan ketika gaji, tunjangan, dan fasilitas mereka terus membengkak, sementara rakyat disuruh sabar menghadapi inflasi?

Menjijikan, karena DPR tampaknya lebih mirip perusahaan besar yang menjual jasa kepada oligarki, bukan lembaga yang mengabdi kepada rakyat. Menjijikan, karena dari gedung itu lahir lebih banyak drama daripada solusi. Menjijikan, karena rakyat hanya menjadi nomor di atas kertas, bukan suara yang benar-benar didengar.

Mari kita jujur: rakyat sudah lelah. Itulah mengapa hari ini mereka turun ke jalan, mendemo DPR besar-besaran. Mereka tidak lagi sekadar meminta kebijakan adil, tetapi berteriak lantang agar DPR dibubarkan. Bukan karena rakyat anti-demokrasi, tetapi justru karena mereka merindukan demokrasi yang sejati—bukan demokrasi yang busuk, yang berlumur korupsi, yang terjebak dalam kenyamanan kursi empuk.

DPR yang menjijikan bukanlah sekadar lembaga; ia adalah simbol dari jarak antara penguasa dan rakyatnya. Jarak itu semakin melebar, sehingga rakyat merasa lebih dekat dengan meme sindiran di media sosial ketimbang dengan suara wakilnya di parlemen. Rakyat lebih percaya gosip di warung kopi ketimbang pidato resmi di Senayan.

Jika dibiarkan, lembaga ini akan semakin busuk. Seperti ikan yang membusuk dari kepala, DPR akan membuat tubuh bangsa ini membusuk pelan-pelan: hukum jadi mainan, kebijakan jadi transaksi, keadilan jadi barang lelang.

Tenggelam dalam Kebusukan

Tentu ada sebagian anggota DPR yang baik, jujur, dan masih waras. Tetapi suara mereka tenggelam dalam lautan kebusukan yang lebih besar. Sama seperti setetes parfum yang tidak akan mampu menghilangkan bau comberan. Itulah mengapa rakyat kini tidak puas dengan reformasi setengah hati. Mereka menuntut perubahan radikal.

Apakah pembubaran DPR solusi? Entahlah. Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi yang jelas, jika DPR tidak segera berbenah, rakyat tidak akan lagi menaruh harapan. Dan bangsa tanpa harapan adalah bangsa yang sekarat.

Pada akhirnya, sejarah akan mencatat: ada masa ketika rakyat jemu dengan DPR, muak dengan DPR, dan akhirnya menjulukinya dengan satu kata sederhana—menjijikan. Kata itu akan melekat, entah sampai kapan, kecuali ada keberanian untuk merombak total, membersihkan, dan menyalakan kembali api kepercayaan.

Sampai hari itu tiba, kita hanya bisa menutup hidung, menahan mual, dan berharap bangsa ini masih punya secercah kesadaran. Sebab demokrasi tanpa wakil yang layak hanyalah pesta pora yang menjijikan di atas penderitaan rakyat.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Asep K Nur Zaman

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis

4 Pengikut

img-content

Mr Q

Sabtu, 27 September 2025 06:50 WIB
img-content

Agama, Bola, dan Problem Sosial Generasi Z

Minggu, 21 September 2025 17:20 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler