Manusia yang suka dan sedang belajar menulis, juga ingin menjadi pembaca yang tekun
Keberagaman di Semarang, Dulu dan Masa Kini
Rabu, 13 November 2024 08:35 WIBKeberagaman, seperti halnya di Semarang, seharusnya patut untuk dirayakan. Dialog terbuka antarwarga yang memiliki latar belakang yang beragam paling tidak bisa membangun pemahaman satu sama lain.
***
Dikisahkan bahwa pada abad ke-16, kota pelabuhan berperan penting dalam mengalirkan pasokan rempah-rempah ke berbagai wilayah di Nusantara. Selain menjadi pusat bergulirnya kegiatan perdagangan, kota pelabuhan juga menjadi titik bertemunya kebudayaan dan kepercayaan dari berbagai belahan dunia.
Itulah yang tergambar pada roman gigantik Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik (1995). Roman yang mengambil tema kemaritiman di Nusantara itu berhasil menceritakan betapa kota pelabuhan merupakan lokasi tumpah ruahnya orang-orang dari bermacam latar belakang.
Sebagai karya yang ditulis dengan riset yang bukan main, tentu saja Arus Balik tak meluputkan satu kota pelabuhan yang terletak di Jawa ini: Semarang. Sama halnya situasi di kota pelabuhan lain, yang dihuni oleh orang-orang dari berbagai latar belakang, Semarang pun juga demikian.
Bercokolnya pemerintahan di Hindia Belanda tak membuat keberagaman budaya di Nusantara turut lenyap. Paling tidak untuk ukuran Semarang, sampai kini, jejak-jejak dari kebesaran dan keberagaman di Semarang pada masa lampau masih bisa kita saksikan lewat, misalnya saja, sederet bagunan tua, termasuk rumah ibadah, yang sudah berumur panjang.
Jangan lupakan juga keberadaan permukiman yang sampai kini dihuni oleh warga dengan latar belakang tertentu, seperti Kampung Pecinan, Melayu, dan Kauman. Belum lagi, terdapat juga Kota Lama yang pada masanya menjadi pusat bisnis dan kantor Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Berbagai bukti itu menunjukkan betapa beragamnya penghuni Kota Semarang, tak hanya pada masa lalu, tapi juga sampai saat ini.
Sayangnya, jejak-jejak Semarang sebagai kota tempat bertemunya berbagai kebudayaan tidak lantas membuat kota ini bebas dari persoalan kerukunan umat beragama. Walaupun Setara Institut pada 2023 lalu memasukkan Semarang di urutan nomor lima sebagai kota yang memiliki tingkat toleransi paling tinggi, kita tetap tak boleh menutup mata pada berbagai kasus penolakan pembangunan rumah ibadah, baik yang dulu sempat terjadi maupun yang hari ini masih berlangsung.
Misalnya saja Gereja Baptis Indonesia (GBI) di Tlogosari, Semarang, yang dalam proses pembangunannya memakan waktu sampai lebih dari 20 tahun. Berlarut-larutnya pembangunan GBI Tlogosari disebabkan adanya penolakan oleh warga sekitar yang khawatir “keimanannya bakal terganggu” apabila ada bangunan gereja di dekat permukiman mereka. Akibatnya, GBI Tlogosari mengalami kendala pada proses Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Melalui proses yang panjang, termasuk juga dengan keterlibatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), pada 23 Mei 2023 lalu, GBI Tlogosari akhirnya bisa diresmikan. Saat ini, yang masih berlangsung, salah satunya ialah pembangunan Gereja Sidang Jemaat Kristus (GSJK) di Tlogosari, Semarang. Sama halnya dengan apa yang sempat menimpa GBI Tlogosari, proses memperoleh IMB GSJK Tlogosari juga tersendat lantaran tak semua warga sekitar setuju dengan pendirian gereja.
Kasus penolakan pembangunan rumah ibadah di Kota Semarang menyiratkan bahwa belum semua lapisan masyarakat mengadopsi nilai-nilai keberagaman seperti yang diajarkan oleh para leluhur. Pembangunan GBI Tlogosari yang sampai berlangsung 20 tahun menandakan perilaku warga yang tak toleran semakin hari bukan malah semakin berkurang, tapi justru cenderung diturunkan ke generasi penerusnya.
Melihat situasi yang ada, agaknya warga dari berbagai latar belakang perlu mengadakan dialog secara terbuka. Dialog terbuka antarwarga paling tidak bisa membangun pemahaman satu sama lain di antara mereka. Pun melalui cara itu, ketidaksepahaman, yang bisa jadi disebabkan oleh adanya informasi yang tidak tepat, bisa diuraikan agar semua pihak memperoleh informasi yang lebih jernih.
Di Semarang, ketidakpuasan mengenai situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan melahirkan perkumpulan yang berisi orang-orang dari berbagai latar belakang agama. Perkumpulan itu bernama Persatuan Lintas Agama (Pelita). Berdiri pada bulan Juni 2016 lalu, Pelita mencoba menjadi tempat bertemunya warga dari berbagai agama dan penganut kepercayaan. Meskipun belum berbadan hukum, Pelita tetap hadir menjadi tempat untuk mendiskusikan dinamika isu keberagaman di Semarang.
Keberadaan perkumpulan seperti Pelita semestinya bisa menjadi amunisi untuk menancapkan nilai-nilai pluralisme di tengah masyarakat. Perkumpulan semacam ini juga bakal membuka kesadaran masyarakat bahwa bangsa ini tak diciptakan oleh sesuatu yang seragam, melainkan oleh sebaliknya.
Keberagaman, seperti halnya di Semarang, seharusnya patut untuk dirayakan. Apa yang diutarakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik tentu saja bukan hanya sekadar cerita, tapi juga menjadi penanda bahwa kejayaan Nusantara di masa lampau amat berkaitan dengan penerimaan masyarakat atas keberagaman.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Keberagaman di Semarang, Dulu dan Masa Kini
Rabu, 13 November 2024 08:35 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler