Mengenal Soushiki, Prosesi Penguburan di Jepang

Rabu, 13 November 2024 08:36 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Soushiki adalah istilah dalam bahasa jepang yang berarti upacara pemakaman atau prosesi penguburan. Soushiki di Jepang merupakan serangkaian ritual yang kompleks dan memiliki makna mendalam. Jepang dikenal memiliki berbagai aliran agama seperti Shinto dan buddha. Upacara pada umumnya dipengaruhi lebih kuat oleh tradisi buddhis.

Soushiki adalah istilah dalam bahasa jepang yang berarti upacara pemakaman atau prosesi penguburan. Soushiki di Jepang merupakan serangkaian ritual yang kompleks dan memiliki makna mendalam. Jepang dikenal memiliki berbagai aliran agama seperti Shinto dan buddha. Upacara pada umumnya dipengaruhi lebih kuat oleh tradisi buddhis.

Pengaruh Shinto dalam pemakaman jepang Shinto, berfokus pada pemujaan kami (神 様) dan roh nenek moyang. Agama Shinto memandang kematian sebagai hal yang tidak murni, sehingga pemakaman Shinto tidak sepopuler upacara pemakaman buddha. Kematian dalam kepercayaan Shinto dianggap sebagai sumber kegelisahan spiritual dan tempat-tempat seperti makam sering dianggap sebagai lokasi yang penuh dengan kekuatan spiritual. Shinto memiliki pengaruh dalam aspek-aspek tertentu dari pemakaman jepang seperti praktik misogi yang dilakukan untuk membersihkan ketidakmurnian setelah kematian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengaruh buddhisme dalam pemakaman jepang yaitu buddhisme Mahayana, yang masuk ke jepang pada abad ke-6 dan membawa ajaran mengenai kehidupan setelah mati, karma dan reinkarnasi. Konsep samsara (lingkaran kelahiran kembali) menjadi inti dari pemahaman buddhisme mengenai kematian. Mayoritas pemakaman di jepang adalah pemakaman Buddha yang sangat ritualistik dan penuh makna spiritual. Dalam Buddhisme, perjalanan jiwa setelah kematian sangat penting dan berbagai ritual dilakukan untuk memastikan perjalanan yang aman ke alam berikutnya. Beberapa ritual penting melibatkan pembacaan sutra oleh biksu yang dipercaya dapat membantu roh mencapai kelahiran kembali yang lebih baik.

Secara umum, pelaksanaan upacara soushiki pada masyarakat Jepang terdiri atas tiga rangkaian kegiatan, meliputi persiapan upacara, pelaksanaan upacara, dan kegiatan setelah upacara kematian. Sebelum dilangsungkannya upacara soushiki, terdapat beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh pihak keluarga almarhum. Biasanya keluarga yang meninggal menghubungi seorang biksu Buddha dari kuil keluarga, serta petugas pemakaman sebelum menentukan tanggal dan tempat untuk pelaksanaan pemakaman.

  1. Karitsuya

Pemakaman sementara yang disebut dengan (karitsuya) yaitu untuk kerabat dekat pada hari orang tersebut meninggal. Pada hari berikutnya pemakaman sebenarnya yang disebut dengan (hontsuya) akan diadakan dua hari kemudian. Jika peristiwa ini terjadi pada awal atau akhir tahun, atau pada hari tomobiki, pemakaman akan ditunda. Istilah tomobiki adalah salah satu dari enam label dasar yang dicetak pada kalender tradisional jepang yang menunjukkan keberuntungan pada hari tertentu yaitu, sensho, tomobiki, senbu, butsumetsu, taian, dan shakkou. Hari tomobiki diyakini bahwa nasib buruk keluarga dapat mempengaruhi temanteman mereka sehingga hari ini dihindari dalam penjadwalan pemakaman. Pemakaman biasanya diadakan di rumah almarhum, kuil Buddha, atau aula umum.

 

  1. Matsugo no Mizu dan Yukan

Selanjutnya ada Matsugo no Mizu dan Yukan yaitu Air saat kematiaan dan pembersihan jenazah. Hal yang dilakukan keluarga mendiang adalah menghadiri tempat kematian. Ritual ini yang disebut matsugo no mizu (air saat kematian) atau shini mizu (air kematian). Orang yang memiliki hubungan paling dekat dengan almarhum harus membasahi mulut orang yang meninggal dengan air menggunakan sumpit yang diikat dengan kapas yang telah dibasahi air. Kemudian diikuti orang lain dalam urutan kekerabatan yang sama. Selanjutnya proses yukan dimana tubuh dicuci dengan air hangat sebagai persiapan untuk pemakaman.

 

  1. Kyoukatabira dan Shini Gesho

Selanjutnya Kyoukatabira dan Shini Gesho yaitu pakaian dan merias jenazah. Orang yang meninggal akan dirias oleh anggota keluarga yang berduka dalam kyoukatabira (kimono putih) sebelum dibaringkan. Setelah kimono putih dan riasan dikenakan kepada orang yang meninggal, jenazah ditempatkan di ruang altar buddha keluarga atau di kamar bergaya jepang di rumah almarhum. Pemakaman buddha yang disebut dengan sakasa goto (hal-hal terbalik). Dalam tradisi ini orang melakukan hal-hal secara terbalik selama pemakaman misalnya, menggunakan kimono putih dengan sisi kanan menutupi sisi kiri, menuangkan air panas ke dalam air dingin agar menjadi hangat, dan menempatkan selimut di atas jenazah secara terbalik. Orang-orang tidak ingin kematian membawa kesialan bagi mereka yang masih hidup, jadi mereka melakukan sakasa goto selama pemakaman, meskipun praktik ini dianggap tabu dalam kehidupan sehari-hari.

 

  1. Makura Kazari

Proses selanjutnya ada Makura Kazari atau disebut dengan Hiasan Samping Bantal. Proses dimana sebuah meja kecil yang ditutupi dengan kain putih diletakkan disamping bantal jenazah. Diberi sebatang dupa yang dibakar,tempat lilin, dan bunga diatur diatas meja, biasanya bunga krisan putih atau disebut dengan shikimi.

 

  1. Kaimyou

Kemudian setelah meninggal, orang di jepang memiliki nama yang disebut dengan Kaimyou yang artinya (nama setelah meninggal). Orang meminta biksu buddha dari kuil keluarga mereka untuk memberikan nama kepada almarhum. Orang yang telah meninggal dianggap sebagai murid buddha sehingga mereka diberikan Kaimyou yang dipilih berdasarkan nama mereka semasa hidup, prestasi, dan karakter mereka. Setelah kaimyou yang tepat dipilih, biksu menuliskannya pada tablet kematian yang terbuat dari kayu putih.

 

  1. Hitsugi

Sebelum acara malam berkabung, jenazah ditempatkan didalam peti mati yang disebut dengan Hitsugi. Sebuah kain katun putih berukuran satu meter persegi diletakkan di dasar peti mati, dan jenazah yang mengenakan kimono putih diletakkan di atasnya. Selanjutnya, barangbarang kesukaan almarhum dimasukkan ke dalam peti mati kecuali barang-barang yang terbuat dari logam dan kaca karena jenazah akan dikremasi. Peti mati kemudian ditutupi dengan kain brokat emas.

 

  1. Tsuya

Selanjutnya tsuya yaitu malam berkabung. Mereka mengadakan karitsuya pada hari kematian alamarhum berikutnya mereka mengadakan hontsuya untuk menerima tamu yang datang menyampaikan belasungkawa. Kemudian, agenda utama yaitu melakukan ritual yang disebut shoko, yaitu pembakaran dupa untuk jiwa almarhum disertai biksu yang melantunkan sutra dipercaya untuk membantu arwah almarhum ke nirwana atau kelahiran kembali. Anggota keluarga memberikan dupa diikuti para hadirin sesuai urutan hubungan darah mereka.

 

  1. Soshiki dan Soretsu

Pada hari setelah berkabung, pemakaman pun diadakan. Selama pemakaman, terdapat beberapa tradisi penting yang harus diikuti berhubungan dengan pakaian berkabung, manikmanik doa, shoko, barang-barang untuk altar, dan kouden (uang belasungkawa). Pada upacara pemakaman, keluarga dan kerabat yang berduka harus mengenakan pakaian khusus dan formal, dan para pelayat diharapkan juga mengenakan pakaian yang sesuai. Di antara anggota keluarga, pria umumnya mengenakan haori hakama, yaitu sejenis kimono hitam dengan jas Jepang setengah panjang dan rok berlipit panjang yang dikenakan di atas kimono. Wanita mengenakan kimono hitam tanpa pola. Pelayat biasanya berpakaian dalam setelan gelap, dasi hitam, dan kaos kaki hitam untuk pria, serta kimono hitam atau setelan hitam untuk wanita. Sabuk dan tas tangan wanita juga berwarna hitam, tidak boleh mengkilat, dan tidak mengenakan aksesori kecuali mutiara. Selama pemakaman, pelayat selalu membakar dupa untuk jiwa almarhum.

 

  1. Kasou

Setelah upacara pemakaman, keluarga yang berduka membawa tablet kematian dan foto almarhum ke krematorium yang dimana pengurus pemakaman menyiapkan wadah untuk abu. Setelah kremasi, sepasang pelayat memindahkan abu almarhum ke dalam wadah dengan menggunakan sumpit bambu, mulai dari tulang kaki dan mengakhiri dengan tulang kepala. Wadah tersebut ditempatkan dalam kotak kayu putih dan ditutup dengan kain putih, dan pelaksana utama membawanya dengan kedua tangan kembali ke rumah. Terdapat kebiasaan yang dilakukan saat pemakaman di era modern ini, yaitu :

 

  1. Shijuuku Nichi Houyou

Di Jepang, terdapat kebiasaan modern setelah pemakaman yaitu upacara peringatan buddha pada hari ke-49. Agama buddha Jepang meyakini bahwa jiwa orang yang telah meninggal mengembara antara dunia ini dan dunia berikutnya selama 49 hari setelah kematian. Oleh karena itu, kerabat mengadakan upacara agar jiwa yang meninggal dapat mencapai surga setelah periode ini. Pada hari ke 14 , 21, 28, dan 35 upacara diadakan dalam lingkup keluarga dan ucapan bela sungkawa diakhiri pada hari ke-49. Setelah hari ke-49 ada kremasi kelanjutan yang dinamakan Kasou yang menjadi kebiasaan untuk menguburkan abu almarhum di pemakaman.

 

  1. Haka

Kuburan di Jepang memiliki dua tujuan yaitu untuk menguburkan abu almarhum dan sebagai tempat untuk ibadah. Kuburan baru disiapkan sebelum tahun pertama kematian, dan tanda kuburan sementara yang terbuat dari kayu diletakkan di sana sampai waktu tersebut. Ketika kuburan siap, nama almarhum dan hari kematian ditulis di batu nisan. Jika kuburan berada di kuil keluarga, biksu Buddha mengadakan upacara untuk jiwa almarhum pada peringatan kematian, festival Bon, dan o-higan (minggu ekuinoks). Orang-orang mengunjungi kuburan pada hari-hari tersebut untuk berdoa dan memberikan penghormatan kepada orang yang telah meninggal.

 

  1. Koden Gaeshi

Keluarga di Jepang yang berduka memberikan hadiah kepada pelayat pada hari ke-49 setelah kematian. Jumlah hadiah yang diberikan antara sepertiga hingga setengah kouden, yang disebut kouden gaeshi, dengan surat ucapan terima kasih untuk memberitahu orang-orang bahwa periode berkabung telah berakhir dan mengungkapkan terima kasih atas koden. Setelah itu, keluarga yang berduka diharapkan menjalani masa berkabung untuk almarhum selama periode tertentu disebut ki chou yang berlangsung hingga hari keempat puluh sembilan setelah kematian, dan mo chou yang berlangsung selama satu tahun setelah kematian.

 

  1. Fuku Mo dan Nenki Houyou

Setelah berkabung, di Jepang melakukan upacara peringatan buddhis pada ulang tahun kematian yang disebut dengan nenki houyou.. Upacara peringatan diadakan pada ulang tahun pertama, kedua, keenam, kedua belas, keenam belas, kedua puluh dua, kedua puluh enam, dan ketiga puluh dua setelah kematian almarhum. Beberapa kasus upacara peringatan juga diadakan pada ulang tahun keempat puluh sembilan kematian. Jika ada lebih dari dua peringatan dalam satu tahun untuk sebuah keluarga, upacara peringatan diadakan secara bersamaan. Pada ulang tahun pertama dan kedua setelah kematian, keluarga, kerabat, dan teman almarhum mengadakan upacara peringatan di rumah atau di kuil keluarga.

 

  1. O-Bon

Selanjutnya diadakan festival Bon, festival Bon adalah acara Buddha Jepang yang diyakini bahwa jiwa-jiwa orang yang telah meninggal kembali ke rumah mereka. Festival ini biasanya dimulai pada 13 Agustus dan berakhir pada 16 Agustus.

 

Kesimpulan

Soushiki sebagian besar pemakaman Jepang modern diselenggarakan dengan tata cara agama Buddha yang kompleks dan ketat. Tradisi ini harus diikuti dari awal sampai akhir pemakaman terdiri dari upacara penyambutan (otsuya), upacara pemakaman (ososhiki), kremasi (kasou), dan penguburan abu jenazah di pemakaman keluarga. Sampai saat ini masyarakat Jepang percaya terhadap kematian termasuk pada kehidupan setelah kematian. Sepanjang sejarah budaya Jepang, orang-orang secara tradisional percaya bahwa ketika seseorang meninggal, jiwa mereka tetap hidup di tanah kematian.

 

 

 

Daftar Pustaka

https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/64495

https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/221044 

Bagikan Artikel Ini
img-content

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Mengenal Soushiki, Prosesi Penguburan di Jepang

Rabu, 13 November 2024 08:36 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler