Dari Trump ke Prabowo

Sabtu, 23 November 2024 07:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Donald Trump
Iklan

Kemenangan Trump atas Pilpres AS 2024, menjadi sesuatu yang mengejutkan namun tidak mengherankan. Dulunya Trump dianggap sesuatu yang berbahaya bagi demokrasi. Namun kenyataannya dia berhasil memenangkan Pilpres. Momen yang sama juga turut terjadi di Indonesia pada Pilpres 2024. Kemenangan besar Prabowo Subianto menjadi sesuatu yang mengejutkan tetapi tidak mengherankan. Kedua tokoh tersebut pada dasarnya mirip. Dulunya dianggap sebagai ancaman, kini mereka dianggap sebagai pahlawan. Bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana cara Trump dan Prabowo memoles diri mereka sehingga segala kontroversi dibelakangnya menjadi buyar?

The Winner Takes All

6 November 2024 menjadi salah satu hari dimana semua mata tertuju kepada salah satu negara yang paling berkuasa di dunia yaitu Amerika Serikat, dimana tepat pada hari itu, pemilihan umum dilaksanakan di Amerika Serikat yang menghadirkan dua kompetitor utama yakni Kamala Harris yang merupakan Wakil Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat melawan Presiden Amerika Serikat sebelumnya dari Partai Republik yakni Donald Trump.

Hasil Pemilihan Umum Amerika Serikat tentu layak diperhatikan sebab kondisi dunia selama kurang lebih 4-5 tahun kedepan akan beresonansi dengan berbagai kebijakan yang nantinya akan diambil oleh negara adidaya itu. Hasilnya, agak mencengangkan tetapi tidak mengherankan. Donald Trump kembali terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-47.

Beberapa analis menganalisis kemenangan Trump yang konon ditengarai oleh berbagai faktor seperti faktor klasik seperti masalah imigran hingga isu yang paling krusial yakni ekonomi. Kebijakan era Biden yang nyaris tidak membawa perubahan dibidang ekonomi membuat banyak masyarakat Amerika memberi respon negatif terhadap pemerintahan Biden.

Trump dan Demagog Demokrasi

Namun, disatu sisi sosok Trump sering dianggap sebagai “demagog” demokrasi. Steven levitsky dan Daniel Ziblaat dalam buku yang merupakan salah satu bestseller internasional, menunjukkan bagaimana kemenangan Trump menandai kemunduran demokrasi.

Kemunduran demokrasi ini ketika Trump dengan masifnya menyuarakan kampanye-kampanye yang sangat mengkhawatirkan seperti kurangnya komitmen terhadap lingkungan hidup, deportasi massal, penyerangan terhadap media massa, fenomena post-truth dan sebagainya. Sehingga, banyak sekali studi politik yang kemudian menganggap Trump sendiri sebagai “demagog” demokrasi. Suatu sosok yang kelak dianggap sebagai perusak demokrasi itu sendiri.

 

Trump dan Upaya Religitimasi

Berbeda dengan pemilihan 2016, dimana pada pemilihan umum tersebut, Trump nampak agresif, dengan membabi-buta “menembak” dengan berbagai retorikanya untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Kadangkala meski dengan kebohongan. Namun demikian sepertinya pada Pemilihan Umum 2024, Trump mengambil jarak lebih moderat, apabila pada 2016 Trump terkenal karena menjaga jarak dengan pemilih muslim, pada pemilu 2024, sekitar seminggu terakhir dimasa kampanyenya Trump dengan masif mendekati pemilih muslim dari Michigan, sebuah negara bagian yang memiliki populasi muslim terbesar di Amerika.

Trump meski masih dianggap masih mendukung Israel tetapi mengambil jarak agak moderat dengan menjanjikan perdamaian di Timur Tengah (yang artinya Trump sendiri akan jauh lebih lembut terhadap Palestina). Gaya politik Trump 2024 sebenarnya merupakan upaya untuk merelegitimasi dirinya. Berbagai lembaga survei di Amerika melaporkan dimana Kamala Harris dan Donald Trump bersaing tipis dan sengit di berbagai negara bagian penentu (sering disebut sebagai swing states) sehingga suara kaum minoritas tentu akan sangat berpengaruh dalam memenangkan negara-negara bagian tersebut.

Prabowo dan Pilpres 2024

Mundur sedikit ke sekitar bulan Februari 2024, Indonesia juga persis seperti Amerika Serikat, melaksanakan pemilihan umum termasuk untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Hasilnya pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memenangkan Pemilihan Presiden dengan sekitar 58 persen suara mengalahkan kompetitornya yang lain yaitu Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Namun ada yang unik pula pada Pemilihan Presiden di Indonesia tahun 2024. Prabowo Subianto, sosok yang dikenal sejak dulu sebagai menantu seorang diktator Soeharto, mencalonkan diri untuk kesekian kalinya dan menang. Prabowo Subianto sering dianggap sebagai sosok yang keras. Berbasis latar belakang militer dan sukses di era Orde Baru, Prabowo Subianto pula sering dianggap sebagai “demagog” demokrasi.

Pertarungannya dengan Joko Widodo pada 2014 dan 2019, memposisikan Joko Widodo sebagai sosok pembawa harapan dan Prabowo Subianto sebagai sosok pembawa rezim Orde Baru (Orba). Dalam banyak meme dan mural di Yogyakarta misalnya, Prabowo digambarkan sebagai kedatangan kembali Orde Baru atau dikenal sebagai Neo-Orba.

 

Prabowo dan Relegitimasi Politik

Sosok Prabowo yang keras, berafiliasi dengan kaum konservatif kanan dan tragedi masa lalunya yang kelam, seakan hilang pada Pemilihan Presiden 2024. Prabowo 2024 menjadi semakin moderat dengan diambilnya anak kandung kompetitornya dulu yakni Joko Widodo sebagai Wakil Presidennya menandakan bahwa Prabowo mulai bergerak dari spektrum kanan kearah yang lebih ke kiri (Presiden Joko Widodo sendiri dianggap mewakili spektrum kiri).

Dengan narasi seperti “saya termasuk tim Presiden Jokowi”, Prabowo berupaya membawa pemilih pada spektrum kiri untuk mendekat padanya. Disatu sisi, sosok Prabowo yang keras, dipoles dengan berbagai gaya kampanye yang lembut seperti stigma gemoy, joget-jogetan dan sebagainya yang sebenarnya tidak pernah dia lakukan pada tahun 2014 dan 2019. Sosok Prabowo yang terkenal suka marah pun dipoles sedemikian rupa agar tak nampak.

 

Antara Trump dan Prabowo

Gaya kampanye Trump dan Prabowo bisa dikatakan cukup mirip. Trump terkenal dengan YMCA Dancing dan Prabowo terkenal dengan Gemoy Dancing. Keduanya merupakan strategi marketing politik untuk berupaya merelegitimasi dirinya dihadapan publik. Kedua sosok yang dianggap “demagog” bagi demokrasi dipoles sedemikian rupa untuk menutupi anggapan “demagog” pada kedua sosok ini. Dengan demikian Prabowo Subianto dan Donald Trump sendiri telah melakukan upaya untuk merelegitimasi dirinya sendiri.

Kalau legitimasi diartikan sebagai seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan dan kebijakan dari seorang pemimpin politik maka apabila sosok Prabowo dan Trump sendiri dahulunya enggan diterima masyarakat karena berbagai hal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Maka nampaknya Prabowo dan Trump sendiri berupaya untuk memoles dirinya agar bisa diterima masyarakat secara umum utamanya untuk mengambil hati pemilih yang dulunya berpaling dari mereka. 

Upaya untuk merelegitimasi diri mereka semakin moderat pun berhasil, Trump berhasil menyapu bersih 7 Swing States termasuk Michigan. Sedangkan Prabowo berhasil menyapu bersih semua basis massa kaum nasionalis yang dulunya mendukung Joko Widodo (seperti Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi Utara).

Dari segi spektrum ideologis, Trump dan Prabowo bisa dikatakan mirip sebab berasal dari sama-sama spektrum kanan. Kebijakan proteksionisme Trump juga mirip dengan kebijakan proteksionisme Prabowo terhadap kepentingan asing. Belakangan narasi nasionalisme Prabowo mirip dengan narasi nasionalisme ala Trump yakni dari American First menjadi Indonesian First.

Namun demikian penting untuk ditaruh perhatian khusus yakni seputar bagaimana cara Prabowo Subianto dan Donald Trump yang dulunya dianggap sebagai “demagog” demokrasi, berhasil merelegitimasi dirinya menjadi moderat dan akhirnya bisa memenangkan Pemilihan Presiden. Relegitimasi politik mampu mereduksi stigma negatif kepada kedua sosok ini dan akhirnya upaya merelegitimasi sosok Trump dan Prabowo ternyata sukses dalam membawa kemenangan besar bagi mereka berdua.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Beckham Jufian Podung

Mahasiswa Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fisipol, UGM

2 Pengikut

img-content

Dari Trump ke Prabowo

Sabtu, 23 November 2024 07:23 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler