Catatan Seorang Demonstran: Lebih dari Sekadar Buku Catatan Harian

Jumat, 3 Januari 2025 08:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Soe Hok Gie
Iklan

Kalau kalian belum membaca buku Catatan Seorang Demonstran pasti kalian akan mengira kalau buku ini semacam panduan untuk berdemonstrasi. Atau setidaknya jika kalian sudah membacanya hanya satu kali, kalian pasti bakal mengira kalau buku ini hanyalah sekadar catatan harian biasa.

“Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”

–Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalian tentu tak lagi asing dengan kata-kata romantik di atas yang berasal dari buku berjudul catatan seorang demonstran. Sebagai seorang mahasiswa fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik—yang selalu sensitif terhadap kehidupan sosial dan politik— saya rasa-rasanya kok aneh kalau di rak buku tidak ada buku catatan seorang demonstran. Secara umum, buku itu agaknya tepat kalau kita anggap sebagai sebuah pengantar kehidupan mahasiswa baru. Tetapi, kalau kita telisik lebih dalam, buku yang cukup tebal itu bakal lebih dari sekadar catatan harian.

Buku yang berisi catatan harian milik Soe Hok Gie, seorang mahasiswa, sekaligus intelektual yang mati muda itu menurut saya kurang tepat kalau diberi judul catatan seorang demonstran. Mungkin kalau dilihat dalam konteks gerakan mahasiswa, judul catatan seorang demonstran pas-pas saja. Tetapi, bagi saya, buku itu telah melampaui judulnya sendiri, bahkan melampaui esensinya sebagai buku catatan harian.

Sebagai seorang mahasiswa, saya sendiri cukup sepakat kiranya kalau buku ini merupakan buku saku yang wajib dimiliki oleh mahasiswa. Tak pelak, tulisan-tulisan Gie dalam buku itu masih dan akan terus relevan dengan kehidupan mahasiswa yang ingin melawan arus. Sebagai pemandu? Okelah. Sebagai bahan evaluasi? Boleh juga. Menurut saya, buku itu lebih pantas disebut sebagai buku pedoman manusia dalam berperikemanusiaan dan bermoral.

Moralitas dan Humanisme

Soe Hok Gie, selain seorang mahasiswa idealis yang tangguh, baik di medan perang tulis-menulis maupun jalanan, Ia adalah seorang yang humanis; pribadi yang menempatkan moral di atas segalanya. Nilai-nilai humanismenya jelas bertumpah ruah di buku catatan harian yang diberi judul catatan harian seorang demonstran itu.

Bagi kita yang hanya ingin mengetahui segi politik dan pergerakan, catatan seorang demonstran menjadi buku yang tepat, karena kental dengan pemikiran-pemikiran politiknya Gie. Namun, ada satu hal yang mendasari itu semua—saya menyebutnya sebagai dasar yang terlupakan dan dilupakan—yakni kuatnya akar nilai moral dan humanisme yang menopang semua sendi-sendi yang menghidupi buku itu.

Kalau tak berlebihan, moralitas dan humanisme saya anggap sebagai jiwa dari buku itu. Moralitas dan humanisme lah yang menghidupi buku itu. Sering kali kita mengira buku itu hanya sekadar buku saku bagi siapa pun yang penasaran dengan pemikiran politik Gie, apalagi yang hanya membaca sampul akan mengira kalau buku itu sekadar buku panduan praktis cara berdemonstrasi.

Keberadaan moralitas dan humanisme sebagai jiwa yang menghidupi buku catatan seorang demonstran itu tidak bisa disangkal. Dan mungkin saja disadari oleh kita yang benar-benar mampu mendalami apa yang ingin ditumpahkan Gie melalui catatan hariannya; kegelisahan, keresahan terhadap segala yang degil, munafik, non humanis, dan tak bermoral.

Buku yang Menyingkap Tabir Gelap

Bagi saya sendiri, buku ini memiliki semacam sayap yang mengepak kabut hitam yang menjadi tabir gelap. Yang membuat buku ini tetap hidup sampai sekarang adalah jiwanya; di dalam jiwa itu tersimpan semangat murni dari sosok Gie yang berani, jujur, dan tegas terhadap segala yang menurutnya tidak benar.

Salah satu tulisan yang membuat saya kagum adalah ketika Gie menulis tentang peristiwa Gerakan 30 September secara subjektif; menempatkan moral di atas segalanya, dengan berani berdiri di sisi yang lemah dan tak berdaya—korban-korban penumpasan yang dituduh sebagai partisipan PKI. Dalam tulisan itu Gie tidak berbicara secara objektif, melainkan dengan tegas membela mereka yang ditindas secara sewenang-wenang oleh mereka yang berkuasa.

Keberanian dan keterusterangan moralnya yang menakjubkan membuat saya semakin yakin bahwa buku itu bukanlah sekadar buku refleksi kehidupan mahasiswa. Tulisan-tulisan yang sedemikian banyaknya mengandung moralitas, humanisme, dan politik menjadi realitas yang kemudian terbentuk dan bertahan melalui kejujuran Gie sendiri sebagai seorang intelektual yang merdeka.

Catatan hariannya seakan menyingkap tabir gelap yang menjelma kabut hitam yang menutupi pandangan mata manusia tentang kehidupan. Tidak ada kesangsian dalam keputusannya untuk berdiri tegak memihak yang tertindas. Sebuah sikap berani, tegas, dan jujur tergambar melalui catatan hariannya.

Manifestasi Kejujuran, Cinta, dan Makna

Terlalu berlebihan kiranya menganggap buku itu sebagai pedoman manusia. Agaknya lebih tepat menganggapnya sebagai manifestasi dari kejujuran, cinta, dan makna. Buku yang berisi catatan harian Gie semestinya dibaca oleh siapa saja. Bukan hanya mahasiswa, tapi pekerja, dan setiap manusia-manusia di bawah kaki-kaki langit yang rindu akan kejujuran atas cinta dan pemaknaan diri.

Gie, melalui catatan hariannya, berhasil menarik saya untuk menjelajahi setiap hal-hal kecil yang terjadi dalam hidup. Sebagai mahasiswa, saya belajar banyak dari buku itu mengenai kejujuran. Sebagai manusia yang merdeka, saya belajar banyak mengenai pemaknaan diri. Sebagai seorang manusia biasa, saya belajar tentang betapa pentingnya moralitas dan cinta dalam kehidupan manusia yang begitu rapuh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Abdullah Azzam Al Mujahid

Manusia yang suka cokelat dan memungut ilmu

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler