Marhaenisme, Pertanian Ideologis Kalangan Sukarnoisme

Senin, 27 Januari 2025 11:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Sukarno hatta
Iklan

Pemikiran pertanian Ir. Sukarno dituangkan dalam konsep Marhaeinisme. Sektor pertanian diposisikan sebagai kedaulatan ekonomi Indonesia.

  

  1. Marhaeinisme: Konsepsi Pertanian dalam Ideologi Kebangsaan. 

Pemikiran pertanian Ir. Sukarno melalui konsep Marhaeinisme merupakan manifestasi strategis dari cita-cita pembangunan nasional yang memposisikan sektor pertanian sebagai fundamental kedaulatan ekonomi Indonesia. Konsep ini tidak sekadar pendekatan teknis pertanian, melainkan konstruksi ideologis yang mendalam tentang pemberdayaan petani dan kemandirian pangan.  

Dalam paradigma Sukarnoisme, pertanian dipandang bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi representasi kedaulatan bangsa. Marhaeinisme mengandung filosofi transformasi struktural di pedesaan, yang menempatkan petani tidak hanya sebagai produsen, melainkan agen perubahan sosial-ekonomi. Pendekatan ini menginginkan reformasi menyeluruh, mulai dari struktur kepemilikan lahan hingga akses modal dan teknologi pertanian. 

Secara ideologis, Marhaeinisme menolak paradigma pertanian kolonial yang eksploitatif. Ia menawarkan sistem di mana petani menjadi subjek utama pembangunan, bukan sekadar objek eksploitasi. Konsep ini mengintegrasikan semangat nasionalisme dengan pemberdayaan ekonomi rakyat, menciptakan model pertanian yang berkeadilan dan bermartabat. 

Praktik Marhaeinisme mencakup redistribusi lahan, koperasi pertanian, dan pengembangan teknologi pertanian mandiri. Tujuannya adalah menciptakan ekosistem pertanian yang kuat, independen, dan berbasis keswadayaan masyarakat pedesaan. Hal ini selaras dengan semangat dekolonisasi dan kemandirian ekonomi yang diperjuangkan Soekarno. 

Meskipun demikian, implementasi konkret Marhaeinisme menghadapi berbagai tantangan struktural. Kompleksitas sistem agraria, kepentingan politik, dan dinamika ekonomi global kerap menjadi penghalang realisasi penuh konsep ini. Namun, signifikansi Marheinisme tetap tercatat sebagai salah satu konstruksi pemikiran pertanian paling progresif pada masanya. 

Pada akhirnya, Marhaeinisme bukan sekadar konsep pertanian, melainkan proyeksi ideologis tentang kemandirian bangsa. Ia merepresentasikan upaya membebaskan petani dari belenggu struktural, sambil meneguhkan kedaulatan Indonesia dalam dimensi pangan dan ekonomi. 

2. Kisah Sepeda dan Kelahiran Marhaeinisme 

Di suatu pagi yang basah embun, Ir. Sukarno menelusuri sawah-sawah di pedalaman Jawa menggunakan sepedanya. Perjalanan sederhana ini menjadi momen transformatif dalam pemikirannya tentang pertanian dan kedaulatan bangsa. 

Saat mengayuh sepeda di antara hamparan padi hijau, Sukarno menyaksikan langsung kondisi petani. Kemiskinan, ketergantungan, dan penderitaan mereka membuka mata politisnya. Setiap pedal sepeda seolah mengukir kesadaran mendalam akan pentingnya pembebasan struktural masyarakat pertanian. 

Di persawahan rakyat itulah konsep Marheinisme bermula. Bukan sekadar teori akademis, melainkan refleksi langsung dari realitas petani. Sepeda menjadi medium Sukarno memahami bahwa pembangunan pertanian harus bermula dari perspektif petani itu sendiri. 

Pengalaman di persawahan menghasilkan filosofi pertanian yang menempatkan petani sebagai subjek, bukan sekadar objek produksi. Marheinisme lahir dari empati, pengamatan mendalam, dan komitmen transformasi sosial-ekonomi. 

Sepeda Sukarno di persawahan rakyat mencatat sejarah kelahiran sebuah pemikiran revolusioner tentang pertanian Indonesia. 

Gagasan Tolak Ukur Ideologis Marhenisme. 

Berdasarkan komentar di dalam buku "Di Bawah Bendera Revolusi", gagasan Marheinisme yang dicetuskan Ir. Soekarno pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat dengan mengatasi kesenjangan ekonomi dan sosial. Ini tercermin dalam upaya Marheinisme untuk memberdayakan petani dan membangun kemandirian pangan nasional, menjauhkan dari praktik impor yang dianggap merugikan. Dengan kata lain, Marheinisme merupakan konsep pertanian yang berorientasi pada keadilan dan kedaulatan rakyat.  

Gagasan Marheinisme Ir. Sukarno berpijak pada upaya menciptakan keadilan dan kedaulatan ekonomi petani. Marheinisme menolak model pertanian kolonial yang eksploitatif, sebaliknya menempatkan petani sebagai subjek pembangunan.  

Konsep ini terinspirasi dari pengamatan langsung Sukarno terhadap kemiskinan dan ketergantungan petani. Marheinisme menawarkan solusi struktural, seperti redistribusi lahan dan pengembangan koperasi pertanian, untuk memberdayakan ekonomi rakyat pedesaan. 

Meskipun menghadapi tantangan, Marheinisme merepresentasikan visi transformatif Sukarno dalam membangun sistem pertanian yang berkeadilan dan berdaulat secara nasional. Gagasan ini menghubungkan semangat kebangsaan dengan kemandirian pangan, menjadikan pertanian sebagai fondasi kemakmuran dan kedaulatan ekonomi Indonesia. 

Marhein Dan Astaghfirullah. 

Berdasarkan isi tulisan, gagasan Marheinisme Sukarno tampaknya tidak sekedar tentang pertanian, melainkan juga menyangkut isu keadilan sosial bagi kaum pekerja/buruh. Berikut analisis saya dalam bentuk paragraf: 

Marheinisme yang digagas Sukarno tidak hanya berfokus pada pembangunan pertanian, tetapi juga menyuarakan keadilan bagi kaum pekerja. Pernyataan "Astaghfirullah - saya, salah seorang yang senantiasa memberikan saya punya jiwa kepada kerja meringankan hidupnya Marhaen itu, saya dikatakan menyuruh Marhaen membeli barang yang mahal" mengindikasikan adanya dimensi pembebasan kelas pekerja dalam konsepsi Marheinisme.    

Sukarno tampaknya ingin menjadikan Marheinisme sebagai sarana untuk melindungi dan memberdayakan buruh, menghindarkan mereka dari eksploitasi dan memastikan mereka dapat mengakses barang-barang dengan harga terjangkau. Ini mencerminkan upaya memperjuangkan kesejahteraan kaum marhaen secara lebih luas, melampaui sekadar transformasi sektor pertanian.   

Dengan demikian, gagasan Marheinisme mencakup tidak hanya pedesaan dan petani, tetapi juga kaum pekerja perkotaan. Sukarno berupaya menggabungkan semangat nasionalisme dengan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat yang tertindas. 

Margin Kekuasaan Politik Pada Sistem Pedagogi Sebagai Suatu Batas Kontrol Terhadap Ketimpangan Machtsvorm.  

Machtsvorm atau konsentrasi kekuasaan politik dapat menciptakan eksploitasi kaum buruh oleh pihak-pihak yang dominan. Konsep ini merujuk pada upaya mengendalikan dan mengonsolidasi kekuasaan untuk kepentingan tertentu, seperti kapitalisme dan imperialisme, yang sering merugikan kaum pekerja. Memahami dinamika ini penting untuk menganalisis dan mengatasi ketimpangan yang dihasilkan dari machtsvorm tersebut. 

Machtsvorm, atau konsolidasi kekuasaan politik, dapat menciptakan ketimpangan yang merugikan kaum pekerja. Konsentrasi otoritas ini sering melayani kepentingan kapitalisme dan imperialisme, mempertahankan ketidaksetaraan. 

Contohnya termasuk penindasan hak-hak pekerja, dominasi elit korporat dalam kebijakan, dan kolusi antara penguasa dan bisnis untuk mengeksploitasi tenaga kerja demi keuntungan pribadi.  

Mengatasi ketimpangan ini membutuhkan reformasi untuk mendorong demokratisasi institusi politik dan ekonomi, memberdayakan kelompok marjinal, serta menyelaraskan insentif agar tidak semata-mata memaksimalkan laba. 

Sebagai gagasan kritik terhadap topik yang menghadapkan realitas banyak kelompok sosial dan titik tumpu individu dalam kepemimpinan kekuasaan, dimana, margin kekuasaan politik dalam sistem pedagogi dapat berperan sebagai pembatas ketimpangan “Machtsvorm” sebagai sistem, pedagogi dapat memainkan peran penting dalam membatasi dampak negatif konsolidasi kekuasaan politik (machtsvorm). Dengan memberikan akses pendidikan yang merata, sistem pedagogi dapat memperkuat mekanisme kontrol masyarakat atas praktik-praktik politik yang dapat menimbulkan ketimpangan.   

Penelitian menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang inklusif dan berkualitas baik dapat mendorong partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan politik (Dewey, 1916; Freire, 1970). Hal ini dapat mempersempit margin kekuasaan yang dimanfaatkan oleh elit untuk menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya. 

Selain itu, pedagogi kritis yang membangun kesadaran kritis peserta didik dapat mengurangi dominasi ideologis yang mendukung konsentrasi kekuasaan (McLaren, 2016). Melalui pendidikan, masyarakat dapat mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang struktur kekuasaan dan cara mengatasinya.   

Dengan demikian, sistem pedagogi dapat menjadi pembatas yang efektif terhadap ketimpangan yang dihasilkan dari machtsvorm, selama diterapkan secara adil dan berkualitas. 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
A.W. Al-faiz

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Jejak Al-Masih dalam Ruang Kelas Modern

Kamis, 21 Agustus 2025 22:47 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler