Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Pancasila dan Observasi Sosial

Senin, 10 Februari 2025 11:24 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
bhineka tunggal ika
Iklan

Pancasila sebagai landasan ideologi dan falsafah bangsa Indonesia memiliki peran fundamental dalam membentuk, mengarahkan pembangunan nasional.

ABSTRAK

  

Pancasila sebagai landasan ideologi dan falsafah bangsa Indonesia memiliki peran fundamental dalam membentuk dan mengarahkan pembangunan nasional. Studi ini mengkaji dinamika historis dan kontemporer Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa, mulai dari sejarah perumusannya hingga implementasinya sebagai panduan pembangunan nasional. Penelitian ini juga menganalisis hubungan antara Pancasila dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam mengelola kemajemukan Indonesia.

Metodologi yang digunakan adalah analisis historis-filosofis dengan pendekatan kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa Pancasila memiliki kedudukan ganda sebagai falsafah dan ideologi bangsa, yang keduanya saling melengkapi dalam konteks pembangunan nasional. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional memperkuat implementasi nilai-nilai Pancasila dalam mengelola keberagaman bangsa. Studi ini menyimpulkan bahwa Pancasila tetap relevan sebagai panduan pembangunan nasional dan pengelolaan kemajemukan di era modern, dengan catatan perlu adanya kontekstualisasi dan penguatan implementasi nilai-nilainya. 

 Kata Kunci: Pancasila, Falsafah Bangsa, Ideologi Negara, Bhinneka Tunggal Ika, Pembangunan Nasional, Kemajemukan, Integrasi Nasional. 

 Pancasila dan Demokrasi di Indonesia: Sebuah Analisis. 

Pancasila dan demokrasi di Indonesia memiliki hubungan yang tak terpisahkan dalam membentuk fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai ideologi nasional, Pancasila menjadi landasan filosofis yang mengakomodasi nilai-nilai demokrasi yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Implementasi demokrasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dalam konteks historis, pemikiran tentang demokrasi di Indonesia telah mengalami proses panjang sejak masa pergerakan kemerdekaan. Para pendiri bangsa telah merumuskan konsep demokrasi yang selaras dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yang kemudian terkristalisasi dalam Pancasila. Soekarno, dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, menegaskan bahwa demokrasi yang dianut Indonesia harus berdasarkan musyawarah dan mufakat, yang mencerminkan sila keempat Pancasila. 

Implementasi demokrasi Pancasila di Indonesia memiliki karakteristik yang unik, di mana nilai-nilai demokrasi universal dipadukan dengan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya Indonesia. Hal ini tercermin dalam prinsip-prinsip dasar seperti kedaulatan rakyat, musyawarah untuk mufakat, dan keadilan sosial. Sistem ini menekankan keseimbangan antara hak-hak individu dan kepentingan bersama, yang sejalan dengan sila kelima Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Dalam perkembangannya, demokrasi Pancasila telah mengalami berbagai dinamika seiring dengan perubahan zaman. Era Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 membawa perubahan signifikan dalam praktik demokrasi di Indonesia, dengan penekanan lebih besar pada kebebasan sipil, partisipasi politik, dan transparansi pemerintahan. Namun, nilai-nilai fundamental Pancasila tetap menjadi panduan dalam mengembangkan sistem demokrasi yang sesuai dengan konteks Indonesia.

Tantangan kontemporer dalam mengimplementasikan demokrasi Pancasila meliputi berbagai aspek, mulai dari penguatan institusi demokrasi hingga peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi juga membawa tantangan baru dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai universal demokrasi dan identitas nasional yang berbasis Pancasila. 

Untuk memperkuat hubungan antara Pancasila dan demokrasi di Indonesia, diperlukan upaya berkelanjutan dalam pendidikan politik, penguatan institusi demokrasi, dan revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa. Hal ini mencakup pengembangan budaya politik yang demokratis, peningkatan kapasitas masyarakat sipil, dan penguatan mekanisme check and balance dalam sistem pemerintahan. 

Pancasila dalam Kedudukan Berbangsa dan Bernegara. 

Pancasila memiliki kedudukan yang sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi landasan filosofis yang mengikat seluruh komponen bangsa dalam satu kesatuan ideologi dan pandangan hidup. Kedudukannya yang sentral ini menjadikan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. 

Dalam konteks historis, penetapan Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil dari proses panjang perumusan yang melibatkan para pendiri bangsa. Melalui sidang BPUPKI dan PPKI, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dirumuskan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang telah hidup dan berkembang selama berabad-abad. Kedudukannya sebagai dasar negara dikukuhkan melalui berbagai produk hukum, termasuk dalam Pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedudukan hukum yang tidak dapat diubah. 

Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila memberikan arah dan tujuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan spiritual, kemanusiaan yang adil dan beradab mencerminkan komitmen terhadap nilai-nilai universal, persatuan Indonesia menegaskan semangat nasionalisme, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mewujudkan prinsip demokrasi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi tujuan final dalam kehidupan berbangsa. 

Dalam sistem ketatanegaraan, Pancasila berkedudukan sebagai staats fundamental norm atau norma fundamental negara. Posisi ini menempatkan Pancasila sebagai sumber validitas bagi pembentukan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Setiap produk hukum yang dibentuk harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengannya. Hal ini menjadikan Pancasila sebagai parameter dalam menilai keabsahan suatu norma hukum dalam sistem hukum nasional. Pancasila juga berkedudukan sebagai ideologi nasional yang berfungsi memberikan arah dan orientasi dalam pembangunan nasional. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila memiliki kemampuan untuk berkembang sesuai dengan dinamika zaman tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya. Karakteristik ini memungkinkan Pancasila tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan kontemporer, termasuk globalisasi, demokratisasi, dan perkembangan teknologi.  

Dalam kehidupan bermasyarakat, Pancasila menjadi pedoman etis yang mengarahkan perilaku dan interaksi antarwarga negara. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mendorong terciptanya masyarakat yang toleran, harmonis, dan berkeadilan. Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari menjadi kunci dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara. 

  

Sejarah Pancasila Sebagai Falsafah Bangsa Indonesia. 

 

Pancasila dan Observasi Kultur Ke-Indonesiaan 

Pancasila sebagai falsafah bangsa memiliki keterkaitan yang erat dengan kultur ke-Indonesiaan yang telah berkembang selama berabad-abad. Observasi terhadap hubungan antara Pancasila dan kultur ke-Indonesiaan mengungkapkan dinamika yang kompleks dalam pembentukan identitas nasional dan praktik kehidupan bermasyarakat. 

Manifestasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kultur Indonesia. 

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tercermin dalam realitas keberagamaan masyarakat Indonesia yang telah berkembang sejak masa pra-kolonial. Keberagaman agama dan kepercayaan yang hidup berdampingan menciptakan mozaik spiritual yang unik, di mana nilai-nilai religiusitas mewarnai hampir setiap aspek kehidupan sosial. Tradisi gotong royong dalam pembangunan rumah ibadah dan perayaan hari besar keagamaan menjadi bukti nyata bagaimana spiritualitas terintegrasi dalam kehidupan sosial. Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sila kedua menemukan ekspresinya dalam berbagai kearifan lokal yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Konsep "tepo seliro" dalam budaya Jawa, "pela gandong" di Maluku, atau "dalihan na tolu" dalam masyarakat Batak merupakan manifestasi nilai-nilai kemanusiaan yang telah mengakar dalam budaya nusantara. 

Persatuan Indonesia yang tercermin dalam sila ketiga terwujud melalui berbagai praktik budaya yang mempersatukan keragaman. Bahasa Indonesia sebagai lingua franca, yang berkembang dari bahasa Melayu, menjadi instrumen pemersatu yang efektif. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" bukan sekadar slogan, tetapi tercermin dalam praktik-praktik kultural seperti perkawinan antar-suku dan adaptasi lintas budaya. Prinsip musyawarah yang terkandung dalam sila keempat memiliki akar kultural yang dalam pada masyarakat Indonesia. Sistem "rembug desa" di Jawa, "kerapatan adat" di Minangkabau, atau "saniri" di Maluku menunjukkan bagaimana nilai-nilai demokrasi deliberatif telah menjadi bagian integral dari kultur Indonesia sejak lama. Keadilan sosial yang menjadi muara sila kelima terimplementasi dalam berbagai praktik ekonomi tradisional seperti sistem "subak" di Bali atau "mapalus" di Minahasa. Sistem-sistem ini mencerminkan upaya masyarakat tradisional dalam menciptakan keseimbangan dan pemerataan kesejahteraan. 

Tantangan Kontemporer 

Dalam konteks modern, observasi terhadap kultur ke-Indonesiaan menunjukkan adanya tantangan dalam mempertahankan nilai-nilai Pancasila. Globalisasi dan modernisasi membawa perubahan signifikan dalam pola pikir dan perilaku masyarakat. Individualisme yang tumbuh di perkotaan, misalnya, seringkali berbenturan dengan semangat gotong royong yang menjadi bagian dari kultur tradisional. 

Media sosial dan teknologi digital membawa dimensi baru dalam interaksi sosial, yang terkadang menggerus praktik-praktik kultural yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Fenomena polarisasi sosial dan politik yang terjadi di ruang digital menantang konsep persatuan dan musyawarah yang menjadi inti dari kultur ke-Indonesiaan. 

Adaptasi dan Revitalisasi 

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, kultur ke-Indonesiaan menunjukkan kemampuan adaptif yang tinggi. Nilai-nilai Pancasila terus direvitalisasi dalam bentuk-bentuk baru yang sesuai dengan konteks kontemporer. Festival-festival budaya, program-program pelestarian bahasa daerah, dan gerakan-gerakan sosial berbasis komunitas merupakan contoh bagaimana kultur ke-Indonesiaan tetap hidup dan berkembang.  

Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Nusantara. Sebelum kemerdekaan Indonesia, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebenarnya telah hidup dan berkembang dalam bentuk adat istiadat, kebudayaan, dan kearifan lokal masyarakat. Konsep-konsep seperti musyawarah untuk mencapai mufakat, gotong royong, dan ketuhanan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak dahulu kala. 

  

Momentum penting dalam sejarah Pancasila terjadi pada masa persiapan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato bersejarah di hadapan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidatonya, Soekarno mengusulkan lima prinsip dasar yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Usulan ini kemudian dibahas lebih lanjut oleh Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta sebagai cikal bakal Pembukaan UUD 1945. 

  

Perumusan final Pancasila terjadi pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam proses ini, terjadi perubahan penting pada sila pertama untuk mengakomodasi keberagaman Indonesia. Perubahan ini mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan yang menjadi fondasi bangsa Indonesia. Pancasila kemudian ditetapkan secara resmi dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar negara yang fundamental. 

  

Dalam perkembangan pasca kemerdekaan, Pancasila semakin mengokohkan posisinya sebagai panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara, tetapi juga menjadi filter terhadap berbagai pengaruh ideologi asing yang masuk ke Indonesia. Nilai-nilai Pancasila menjadi landasan dalam pengembangan karakter bangsa dan pembangunan nasional di berbagai bidang. 

  

Sebagai falsafah bangsa, Pancasila memiliki makna yang sangat dalam. Ia menjadi pandangan hidup yang mencerminkan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai pedoman dalam mencapai tujuan nasional dan menjadi ideologi pemersatu bangsa di tengah keberagaman. Dalam konteks kehidupan bernegara, Pancasila ditetapkan sebagai sumber dari segala sumber hukum dan menjadi panduan dalam pengambilan kebijakan nasional. 

  

Di era modern, relevansi Pancasila tetap terjaga sebagai pemersatu bangsa dan panduan dalam menghadapi tantangan globalisasi. Nilai-nilai Pancasila menjadi dasar dalam pengembangan demokrasi yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia dan landasan dalam pembangunan karakter generasi muda. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan makna Pancasila sangat penting untuk memperkuat komitmen dalam mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 

 

Pancasila dalam Perspektif Global: Dari Masa ke Masa 

Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia telah menarik perhatian dunia internasional sejak masa kemerdekaan hingga era kontemporer. Dalam konteks sejarah global, Pancasila muncul pada periode kritis pasca Perang Dunia II, ketika banyak negara berkembang sedang mencari identitas nasional mereka di tengah pertarungan ideologi global antara kapitalisme dan komunisme. 

Di era Perang Dingin, Pancasila mendapat sorotan khusus dari komunitas internasional karena posisi uniknya sebagai jalan tengah antara dua kutub ideologi dominan. Soekarno, melalui politik luar negeri bebas aktif dan perannya dalam Konferensi Asia-Afrika 1955, memperkenalkan Pancasila sebagai alternatif ideologis yang menawarkan keseimbangan antara nilai-nilai spiritual, humanisme, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial. Hal ini menarik perhatian negara-negara Non-Blok yang juga sedang mencari posisi mereka dalam konstelasi politik global. Para pengamat internasional di tahun 1950-an dan 1960-an mengapresiasi Pancasila sebagai contoh bagaimana sebuah negara pascakolonial dapat merumuskan ideologi nasional yang mengakomodasi keragaman sambil tetap mempertahankan identitas lokalnya. Benedict Anderson, seorang indonesianis terkemuka, dalam karyanya mengakui Pancasila sebagai konstruksi ideologis yang cerdas dalam mempersatukan bangsa yang sangat beragam. Memasuki era Orde Baru, persepsi internasional terhadap Pancasila mengalami pergeseran seiring dengan penggunaannya sebagai instrumen legitimasi politik. Beberapa akademisi Barat seperti Herbert Feith dan Lance Castles mengkritisi interpretasi dan implementasi Pancasila yang cenderung otoriter. Namun, mereka tetap mengakui nilai fundamental Pancasila sebagai filosofi yang menjembatani keragaman Indonesia. 

Pasca Reformasi 1998, pandangan dunia terhadap Pancasila kembali mengalami transformasi. Komunitas internasional menyaksikan bagaimana Indonesia berhasil melakukan transisi demokratis tanpa meninggalkan Pancasila sebagai dasar negara. Studi-studi kontemporer dari lembaga-lembaga think tank global seperti Carnegie Endowment dan International Crisis Group sering merujuk pada Pancasila sebagai faktor penting dalam menjaga stabilitas dan harmoni sosial di Indonesia. Di era modern, Pancasila mendapat perhatian khusus dalam studi-studi tentang demokrasi multikultural dan manajemen keragaman. Berbagai universitas terkemuka di dunia, seperti Australian National University dan SOAS University of London, memasukkan kajian tentang Pancasila dalam kurikulum studi Asia Tenggara mereka. Para scholars internasional mengakui relevansi Pancasila dalam konteks global kontemporer, terutama terkait isu-isu pluralisme, moderasi beragama, dan harmoni sosial. 

Dalam forum-forum internasional, Indonesia sering menampilkan Pancasila sebagai model keberhasilan dalam mengelola keragaman dan membangun demokrasi yang sesuai dengan konteks lokal. Organisasi internasional seperti PBB dan ASEAN mengapresiasi peran Pancasila dalam menjaga stabilitas regional dan membangun dialog antarperadaban. 

 

Perdebatan Dalam Forum Nasional Seputar Pancasila, Ir. Sukarno : “Saya tidak membuat pancasila”, Saya merumuskannya”. 

 

Pernyataan Ir. Soekarno tersebut memiliki makna yang mendalam dan mencerminkan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Mari kita analisis pernyataan tersebut secara komprehensif. 

  

Pernyataan "Saya tidak membuat Pancasila" mengandung pengakuan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bukanlah sesuatu yang baru atau diciptakan oleh Soekarno sendiri. Ini menunjukkan kejujuran dan kerendahan hati Soekarno dalam mengakui bahwa ia hanya berperan sebagai perumus, bukan pencipta nilai-nilai tersebut. 

  

Ketika Soekarno mengatakan "saya merumuskan yang telah ada dalam realitas masyarakat", ini memiliki beberapa makna penting. Pertama, nilai-nilai Pancasila sudah tertanam dan hidup dalam masyarakat Indonesia sejak lama, jauh sebelum kemerdekaan. Nilai-nilai seperti ketuhanan telah ada dalam berbagai praktik keagamaan masyarakat. Kemanusiaan tercermin dalam budaya gotong royong dan tolong-menolong. Persatuan telah hidup dalam semangat kebersamaan antar suku dan daerah. Musyawarah mufakat telah menjadi cara masyarakat dalam mengambil keputusan. Keadilan sosial telah tertanam dalam berbagai sistem ekonomi tradisional dan kearifan lokal. 

  

Kedua, pernyataan ini menunjukkan bahwa Pancasila bukan sekadar konsep abstrak yang dipaksakan dari atas, melainkan kristalisasi dari nilai-nilai yang sudah mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Soekarno berhasil menggali, mengidentifikasi, dan merumuskan nilai-nilai tersebut menjadi suatu dasar negara yang komprehensif. 

  

Ketiga, hal ini juga menegaskan bahwa Pancasila memiliki legitimasi kultural yang kuat karena berasal dari akar budaya bangsa Indonesia sendiri. Ini membuat Pancasila menjadi ideologi yang otentik dan sesuai dengan kepribadian bangsa, bukan hasil adopsi atau jiplakan dari ideologi asing. 

  

Peran Soekarno dalam hal ini sangat penting sebagai seorang negarawan yang mampu: 

- Menggali nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat 

- Merumuskannya dalam bahasa yang sistematis dan filosofis 

- Menjadikannya sebagai dasar negara yang dapat diterima oleh seluruh komponen bangsa 

- Memastikan bahwa rumusan tersebut dapat mempersatukan keberagaman Indonesia 

  

Pernyataan Soekarno ini juga mengingatkan kita bahwa untuk memahami dan mengimplementasikan Pancasila dengan benar, kita perlu kembali melihat pada realitas masyarakat Indonesia. Pancasila bukanlah sesuatu yang asing atau jauh dari kehidupan sehari-hari, melainkan cerminan dari nilai-nilai yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sejak lama. 

  

Oleh karena itu, mengamalkan Pancasila seharusnya bukan merupakan sesuatu yang sulit, karena pada dasarnya nilai-nilai tersebut telah menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia. Yang diperlukan adalah kesadaran untuk menghidupkan kembali dan memperkuat nilai-nilai tersebut dalam konteks kehidupan modern. 

 

Dinamika Antara Perdebatan Kedudukan Politik Pancasila : Pancasila Ideologi Atau Falsafah Bangsa ? 

 

Perdebatan mengenai kedudukan Pancasila sebagai ideologi atau falsafah bangsa merupakan diskusi yang kompleks dalam konteks politik Indonesia. Mari kita analisis dinamika perdebatan ini secara mendalam. 

  

Pancasila sebagai Falsafah Bangsa menekankan bahwa Pancasila merupakan way of life atau pandangan hidup bangsa Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Sebagai falsafah, Pancasila berfungsi sebagai worldview atau kerangka berpikir yang mendasari cara pandang bangsa Indonesia terhadap realitas kehidupan. Nilai-nilainya bersifat filosofis dan abstrak, menjadi sumber inspirasi dan pedoman dalam kehidupan berbangsa. 

  

Di sisi lain, Pancasila sebagai Ideologi mengandung pengertian bahwa Pancasila merupakan sistem gagasan yang terorganisir, yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup bangsa. Sebagai ideologi, Pancasila lebih bersifat operasional dan praksis, menjadi landasan dalam pengambilan kebijakan dan pembangunan nasional. 

  

Dinamika perdebatan ini memunculkan beberapa perspektif penting: 

  

  1. Perspektif Historis:

- Para pendiri bangsa awalnya menempatkan Pancasila sebagai filosofische grondslag (dasar filsafat) 

- Perkembangan politik menjadikan Pancasila sebagai alat pemersatu dan ideologi negara 

- Interpretasi Pancasila berubah sesuai dengan kepentingan politik penguasa 

  

  1. Perspektif Politik:

- Sebagai ideologi, Pancasila sering digunakan sebagai instrumen kekuasaan 

- Penafsiran Pancasila menjadi lebih rigid dan dogmatis 

- Muncul kecenderungan monopoli tafsir oleh penguasa 

  

  1. Perspektif Akademis:

- Para ilmuwan politik melihat Pancasila memiliki kedudukan ganda 

- Fungsi filosofis memberikan landasan nilai 

- Fungsi ideologis memberikan arah praktis 

  

  1. Implikasi dalam Praktik Kenegaraan:

- Sebagai falsafah: lebih fleksibel dalam interpretasi dan penerapan 

- Sebagai ideologi: lebih terstruktur tapi berisiko kaku 

- Keseimbangan diperlukan antara kedua fungsi tersebut 

  

Sintesis dari Perdebatan: 

  1. Kedudukan Ganda

- Pancasila bisa berfungsi sebagai falsafah sekaligus ideologi 

- Kedua fungsi ini saling melengkapi, bukan bertentangan 

- Memberikan kerangka nilai sekaligus panduan praktis 

  

  1. Hubungan Dialektis

- Falsafah memberikan dasar nilai yang kokoh 

- Ideologi menerjemahkan nilai menjadi program aksi 

- Terjadi proses dialogis antara teori dan praktik 

  

  1. Kontekstualisasi Modern

- Perlu penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman 

- Menjaga relevansi tanpa kehilangan esensi 

- Menghindari dogmatisme dan pemaksaan tafsir 

  

  1. Aspek Implementasi

- Sebagai falsafah: menjadi sumber nilai dan etika berbangsa 

- Sebagai ideologi: menjadi panduan pembangunan nasional 

- Keduanya diperlukan untuk kemajuan bangsa 

  

Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa perdebatan tentang kedudukan Pancasila sebagai falsafah atau ideologi seharusnya tidak dilihat sebagai dikotomi yang saling meniadakan. Justru, kedua fungsi tersebut saling melengkapi dan diperlukan untuk menghadapi kompleksitas tantangan berbangsa dan bernegara. 

  

Yang terpenting adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kedua fungsi tersebut sehingga Pancasila tetap menjadi panduan yang relevan dan efektif dalam kehidupan berbangsa, tanpa kehilangan nilai-nilai fundamentalnya sebagai falsafah bangsa. Pemahaman yang komprehensif tentang kedua aspek ini akan membantu dalam mengimplementasikan Pancasila secara lebih tepat dan bermakna dalam konteks kekinian. 

 

Bhineka Tunggal Ika : Kesadaran Akan Kemajemukan Dan Perbedaan Di setiap Unsur Kehidupan Berbangsa - Bangsa Indonesia. 

 

Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa Indonesia memiliki makna yang sangat mendalam dalam konteks kehidupan berbangsa. Semboyan yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu" ini mencerminkan realitas kemajemukan Indonesia sekaligus cita-cita persatuan bangsa. 

  

Kesadaran akan kemajemukan Indonesia dapat dilihat dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa: 

  

Dimensi Sosial-Budaya: 

Indonesia memiliki keragaman yang luar biasa dalam aspek sosial dan budaya. Terdapat lebih dari 1.300 suku bangsa dengan bahasa, adat istiadat, dan tradisi yang berbeda-beda. Setiap daerah memiliki kekayaan budaya yang unik, mulai dari bahasa daerah, kesenian tradisional, hingga sistem nilai sosial. Keragaman ini bukan dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan yang memperkaya khazanah budaya bangsa. 

  

Dimensi Agama dan Kepercayaan: 

Indonesia mengakui keberagaman agama dan kepercayaan. Enam agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu) hidup berdampingan dengan berbagai aliran kepercayaan lokal. Toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama menjadi kunci dalam menjaga keharmonisan. Perbedaan keyakinan tidak menghalangi persatuan bangsa, justru memperkaya spiritualitas dan nilai-nilai kemanusiaan. 

  

Dimensi Politik: 

Dalam konteks politik, kemajemukan tercermin dalam sistem demokrasi yang mengakomodasi berbagai aspirasi politik. Keberagaman pandangan politik dilihat sebagai hal yang wajar dalam negara demokrasi. Musyawarah mufakat menjadi mekanisme dalam mengambil keputusan yang mempertimbangkan berbagai kepentingan. 

  

Dimensi Ekonomi: 

Keragaman juga terlihat dalam sistem ekonomi, di mana berbagai model ekonomi tradisional hidup berdampingan dengan sistem ekonomi modern. Kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan sistem ekonomi komunal memperkaya praktik ekonomi nasional. 

  

Tantangan dalam Mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika: 

  1. Mengatasi potensi konflik yang muncul dari perbedaan
  2. Menjaga keseimbangan antara identitas lokal dan nasional
  3. Membangun sistem yang adil dan merata bagi semua kelompok
  4. Menghindari dominasi satu kelompok atas kelompok lain
  5. Memperkuat pendidikan multikulturalisme

  

Strategi Penguatan Kesadaran Kemajemukan: 

  1. Pendidikan yang menekankan nilai-nilai keberagaman dan toleransi
  2. Pengembangan dialog antar budaya dan agama
  3. Kebijakan yang mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok
  4. Penguatan peran tokoh masyarakat dalam menjaga harmoni sosial
  5. Pelestarian dan pengembangan budaya lokal

  

Kesadaran akan kemajemukan perlu terus dipupuk melalui: 

- Pemahaman sejarah pembentukan bangsa 

- Penghargaan terhadap kontribusi setiap kelompok 

- Pengakuan atas hak-hak kelompok minoritas 

- Pembangunan yang memperhatikan kearifan lokal 

- Penguatan identitas nasional yang inklusif 

  

Peran Strategis Generasi Muda: 

Generasi muda memiliki peran penting dalam menjaga dan mengembangkan semangat Bhinneka Tunggal Ika melalui: 

- Aktif dalam kegiatan lintas budaya 

- Mempelajari dan menghargai budaya lain 

- Menjadi agen perubahan dalam membangun toleransi 

- Memanfaatkan teknologi untuk mempromosikan keberagaman 

- Berpartisipasi dalam pembangunan yang inklusif 

  

Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi merupakan falsafah hidup yang perlu terus dijaga dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan kemajemukan harus dibarengi dengan komitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Perbedaan yang ada justru menjadi modal sosial yang berharga dalam membangun Indonesia yang lebih kuat dan bermartabat. 

 

Bhinneka Tunggal Ika: Kesadaran Akan Kemajemukan dan Perbedaan dalam Kehidupan Berbangsa Indonesia. 

  

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan yang menjadi cerminan jati diri bangsa Indonesia, sebuah ungkapan yang mengandung makna mendalam tentang realitas kemajemukan sekaligus cita-cita persatuan bangsa. Semboyan yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu" ini tidak sekadar menjadi jargon, melainkan menggambarkan kenyataan sosial dan identitas bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, budaya, dan tradisi. 

  

Dalam dimensi sosial-budaya, Indonesia menampilkan mozaik keberagaman yang luar biasa. Dengan lebih dari 1.300 suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, masing-masing memiliki bahasa, adat istiadat, dan tradisi yang khas. Keragaman ini menciptakan kekayaan budaya yang tak ternilai, di mana setiap daerah menyumbangkan warna uniknya dalam spektrum budaya nasional. Dari Aceh hingga Papua, dari Sulawesi hingga Jawa, setiap daerah memiliki warisan budaya yang memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia. 

  

Keberagaman agama dan kepercayaan menjadi dimensi penting lainnya dalam kemajemukan Indonesia. Enam agama yang diakui secara resmi - Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu - hidup berdampingan dengan berbagai aliran kepercayaan lokal. Harmoni antar umat beragama yang terjalin mencerminkan kedewasaan spiritual bangsa Indonesia. Perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang untuk membangun persatuan, justru memperkaya dimensi spiritual dan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa. 

  

Dalam ranah politik, kemajemukan Indonesia terwujud dalam sistem demokrasi yang mengakomodasi beragam aspirasi dan pandangan politik. Musyawarah mufakat menjadi mekanisme fundamental dalam pengambilan keputusan, mencerminkan kearifan lokal dalam mengelola perbedaan. Sistem politik Indonesia dibangun dengan kesadaran untuk mengakomodasi kepentingan berbagai kelompok, menjamin partisipasi politik yang setara, dan melindungi hak-hak minoritas. 

  

Tantangan dalam mewujudkan semangat Bhinneka Tunggal Ika tidak bisa dipandang remeh. Potensi konflik yang muncul dari perbedaan, ketimpangan ekonomi antar daerah, dan dinamika politik identitas menjadi ujian bagi persatuan bangsa. Namun, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki kearifan dalam mengelola keberagaman. Konflik yang muncul dapat diselesaikan melalui dialog dan musyawarah, memperkuat ikatan persaudaraan antar komponen bangsa. 

  

Penguatan kesadaran akan kemajemukan memerlukan strategi yang komprehensif dan berkelanjutan. Pendidikan multikulturalisme menjadi kunci dalam menanamkan nilai-nilai toleransi dan saling menghargai sejak dini. Dialog antar budaya dan agama perlu terus dipupuk untuk membangun pemahaman dan empati. Kebijakan pembangunan juga harus memperhatikan kepentingan berbagai kelompok dan menjamin pemerataan akses terhadap sumber daya. 

  

Generasi muda memiliki peran strategis dalam menjaga dan mengembangkan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Mereka adalah pewaris sekaligus penjaga nilai-nilai keberagaman yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa. Melalui keterlibatan aktif dalam kegiatan lintas budaya, pemanfaatan teknologi untuk mempromosikan keberagaman, dan partisipasi dalam pembangunan yang inklusif, generasi muda menjadi agen perubahan dalam membangun Indonesia yang lebih toleran dan bersatu. 

  

Pada akhirnya, Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi merupakan pandangan hidup yang perlu terus dijaga dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan kemajemukan harus dibarengi dengan komitmen untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Perbedaan yang ada justru menjadi modal sosial yang berharga dalam membangun Indonesia yang lebih kuat, bermartabat, dan mampu berkontribusi positif dalam pergaulan antarbangsa. 

 

Pancasila Sebagai Arah Pembangunan Nasional Dalam Integritas Negara, Sebagai, Haluan Dan Kompas Arah Mata Sejarah Bangsa. 

 

Pancasila sebagai arah pembangunan nasional memiliki peran vital dalam menentukan haluan dan dinamika pembangunan bangsa Indonesia. Berikut analisis mendalam tentang bagaimana Pancasila menjadi kompas dalam perjalanan sejarah dan pembangunan nasional Indonesia. 

  

Pancasila sebagai panduan fundamental dalam pembangunan nasional mengandung nilai-nilai yang menjadi acuan dalam setiap aspek pembangunan bangsa. Nilai-nilai ini tidak hanya menjadi ideologi abstrak, tetapi diterjemahkan ke dalam kebijakan dan program pembangunan yang konkret. Dalam implementasinya, Pancasila memberikan kerangka yang jelas tentang bagaimana pembangunan nasional harus dijalankan dengan tetap memperhatikan aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. 

  

Dalam konteks integritas negara, Pancasila berperan sebagai pemersatu bangsa di tengah keberagaman. Sila pertama hingga kelima memberikan landasan yang kokoh bagi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa. Melalui Pancasila, berbagai kebijakan pembangunan nasional dapat diarahkan untuk memperkuat integrasi nasional, mengurangi kesenjangan antar daerah, dan membangun kebersamaan dalam keberagaman. 

  

Sebagai haluan negara, Pancasila memberikan arah yang jelas dalam perumusan kebijakan pembangunan. Setiap program pembangunan harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan aspek kemanusiaan, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan. Pancasila menjadi filter dalam menentukan prioritas dan strategi pembangunan yang sesuai dengan kepribadian bangsa. 

  

Dalam perspektif sejarah, Pancasila telah membuktikan diri sebagai kompas yang andal dalam mengarahkan perjalanan bangsa. Dari masa revolusi kemerdekaan hingga era reformasi, Pancasila tetap relevan sebagai pedoman dalam menghadapi berbagai tantangan. Di tengah dinamika global yang semakin kompleks, Pancasila memberikan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tetap mempertahankan jati dirinya sambil beradaptasi dengan perkembangan zaman. 

  

Implementasi Pancasila dalam pembangunan nasional juga tercermin dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa. Dalam bidang ekonomi, pembangunan diarahkan untuk menciptakan sistem ekonomi yang berkeadilan dan mensejahterakan rakyat. Dalam bidang politik, Pancasila menjadi dasar bagi pengembangan sistem demokrasi yang sesuai dengan karakter bangsa. Dalam bidang sosial budaya, Pancasila menjadi panduan dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya nasional. 

  

Tantangan terbesar dalam mengimplementasikan Pancasila sebagai arah pembangunan adalah bagaimana menerjemahkan nilai-nilai abstraknya menjadi program-program konkret yang dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh komponen bangsa untuk memastikan bahwa setiap kebijakan dan program pembangunan benar-benar mencerminkan nilai-nilai Pancasila. 

  

Di era globalisasi ini, Pancasila semakin memiliki peran strategis sebagai filter terhadap berbagai pengaruh asing yang masuk ke Indonesia. Pancasila membantu bangsa Indonesia untuk memilah mana pengaruh yang dapat diadopsi dan mana yang harus ditolak karena tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Dengan demikian, pembangunan nasional dapat terus berjalan dengan tetap mempertahankan identitas dan karakter bangsa. 

  

Ke depan, penguatan pemahaman dan implementasi Pancasila dalam pembangunan nasional perlu terus dilakukan. Generasi muda perlu dibekali pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai Pancasila agar dapat meneruskan estafet pembangunan dengan tetap berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa. Pancasila harus tetap menjadi kompas yang mengarahkan langkah bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik, dengan tetap mempertahankan jati diri dan martabat bangsa di tengah pergaulan internasional. 

 

Perdebatan Konstitusional Pancasila dalam Kedudukannya: Antara Dimensi Abstraksi dan Realitas Sosial. 

Perdebatan mengenai kedudukan Pancasila dalam sistem konstitusional Indonesia merupakan diskursus yang kompleks dan berkelanjutan. Sebagai staatsfundamentalnorm, Pancasila menghadapi tantangan dalam menjembatani kesenjangan antara dimensi abstraksinya sebagai ideologi negara dan implementasinya dalam realitas sosial-politik Indonesia. 

Dimensi Abstraksi Pancasila. 

Dalam tataran filosofis, Pancasila memiliki kedudukan sebagai grundnorm yang bersifat meta-yuridis. Posisi ini menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, yang secara hierarkis berada di atas konstitusi. Namun, abstraksi ini menimbulkan perdebatan teoretis tentang bagaimana mengoperasionalisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam norma hukum yang konkret. 

Hans Nawiasky, dalam teorinya tentang tata urutan norma hukum, menempatkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari staatsgrundgesetz (UUD 1945). Perdebatan muncul ketika abstraksi ini harus diterjemahkan ke dalam formell gesetz (undang-undang) dan verordnung (peraturan pelaksana). 

Kontestasi Interpretasi. 

Perbedaan interpretasi terhadap nilai-nilai Pancasila dalam konteks kebijakan negara menjadi sumber perdebatan konstitusional yang berkelanjutan. Para ahli hukum tata negara seperti Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD memiliki pandangan yang beragam tentang bagaimana Pancasila seharusnya dioperasionalisasikan dalam pembentukan kebijakan publik. 

Dimensi Normatif vs. Empiris 

Perdebatan juga mencakup kesenjangan antara dimensi normatif Pancasila dan realitas empiris dalam praktik bernegara. Beberapa permasalahan meliputi: 

  • Tarik-menarik antara universalitas dan partikularitas nilai Pancasila 
  • Konflik antara interpretasi tekstual dan kontekstual 
  • Ketegangan antara stabilitas dan dinamika sosial 
  • Problematika pengujian konstitusionalitas berdasarkan nilai Pancasila 

Realitas Sosial dan Implementasi 

Dalam tataran praktis, implementasi Pancasila sebagai sumber kebijakan negara menghadapi berbagai tantangan: 

Tantangan Struktural 

  • Kompleksitas birokrasi dalam menerjemahkan nilai Pancasila 
  • Keterbatasan mekanisme pengujian konstitusional 
  • Pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia 

Tantangan Kultural 

  • Keragaman interpretasi kultural terhadap nilai-nilai Pancasila 
  • Dinamika perubahan sosial yang cepat 
  • Kontestasi antara nilai tradisional dan modern 

Dimensi Yudisial 

Mahkamah Konstitusi, sebagai pengawal konstitusi, menghadapi dilema dalam menggunakan Pancasila sebagai batu uji dalam pengujian konstitusionalitas. Perdebatan mencakup: 

  • Metodologi pengujian berdasarkan nilai Pancasila 
  • Standarisasi interpretasi konstitusional 
  • Batasan judicial review berbasis Pancasila 
  • Resolusi dan Rekomendasi 

Pendekatan Integratif 

  • Pengembangan metode interpretasi yang sistematis 
  • Penguatan mekanisme deliberasi publik 
  • Harmonisasi antara nilai abstrak dan implementasi konkret 

Reformasi Kelembagaan 

  • Penguatan kapasitas institusional 
  • Pengembangan instrumen evaluasi kebijakan 
  • Peningkatan partisipasi publik 

 

REFERENSI. I. 

  1. Latif, Y. (2018). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 
  1. Asshiddiqie, J. (2019). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 
  1. Budiman, A. (2020). Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia. 
  1. Mahfud MD, M. (2017). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 
  1. Suryohadiprojo, S. (2014). Pancasila dan Kehidupan Berbangsa. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 

Referensi. II. 

 

  

  • Alfian. (1981). Politik, Kebudayaan, dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES. 
  • Darmodiharjo, D. (1984). Pancasila dalam Beberapa Perspektif. Jakarta: Aries Lima. 
  • Hadikusuma, H. (1995). Hukum Adat dan Pembangunan. Bandung: Alumni. 
  • Kaelan. (2013). Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma. 
  • Latif, Y. (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia. 
  • Notonagoro. (1975). Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh. 
  • Oetojo Oesman & Alfian. (1991). Pancasila Sebagai Ideologi. Jakarta: BP-7 Pusat. 
  • Poespowardojo, S. (1989). Filsafat Pancasila. Jakarta: Gramedia. 
  • Soekarno. (1964). Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi. 
  • Sunoto. (1985). Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika. Yogyakarta: Hanindita. 
  • Suseno, F.M. (1987). Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia. 
  • Wahid, A. (2006). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute. 
  • Winarno. (2020). Paradigma Baru Pendidikan Pancasila. Jakarta: Bumi Aksara. 

 

Referensi III. 

  1. Kaelan. (2016). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. 
  1. Latif, Y. (2018). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia. 
  1. Notonagoro. (2014). Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Bumi Aksara. 
  1. Asshiddiqie, J. (2017). Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi. Jakarta: Sinar Grafika. 
  1. Soeprapto. (2013). Pancasila. Jakarta: Rineka Cipta. 

Referensi IV. 

  1. Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. 
  1. Ramage, D. E. (2019). Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. Routledge. 
  1. Weatherbee, D. E. (2016). International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy. Rowman & Littlefield. 
  1. Bourchier, D. (2019). Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of the Family State. Routledge. 
  1. Hefner, R. W. (2018). Routledge Handbook of Contemporary Indonesia. Routledge. 

 

Referensi V. 

  1. Asshiddiqie, J. (2020). Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 
  1. Attamimi, A. H. S. (1990). Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi UI Jakarta. 
  1. Mahfud MD, M. (2018). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 
  1. Sidharta, B. A. (2015). Ilmu Hukum Indonesia. Bandung: Unpar Press. 
  1. Wignjosoebroto, S. (2017). Hukum dalam Masyarakat. Yogyakarta: Graha Ilmu. 
  1. Kelsen, H. (2009). Pure Theory of Law. The Lawbook Exchange, Ltd. 

Referensi VI. 

  1. Koentjaraningrat. (2015). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. 
  1. Abdullah, T. (2018). Indonesia: Towards Democracy. ISEAS Publishing. 
  1. Bachtiar, H. W. (2019). Budaya dan Manusia Indonesia. Yogyakarta: Ombak. 
  1. Lombard, D. (2018). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia. 
  1. Sedyawati, E. (2016). Kebudayaan di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu. 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler