Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Identitas Kultural dan Metafora dalam Tradisi Lisan
Jumat, 14 Maret 2025 20:13 WIB
Masyarakat Basemah, yang juga dikenal sebagai Pasemah, merupakan kelompok etnis yang mendiami dataran tinggi di sekitar Gunung Dempo
Masyarakat Basemah, yang juga dikenal sebagai Pasemah, merupakan kelompok etnis yang mendiami dataran tinggi di sekitar Gunung Dempo, Sumatera Selatan. Sebagai salah satu suku tertua di Pulau Sumatera, Basemah memiliki kekayaan budaya yang tercermin dalam berbagai bentuk ekspresi, mulai dari megalitik hingga tradisi lisan.
Artikel ini mengkaji identitas kultural masyarakat Basemah melalui analisis metafora dalam tradisi lisan mereka, dengan fokus khusus pada syair tradisional "Petanglah Petang" dan ungkapan metaforis "Baju Kurung Bekancing Tige" yang mencerminkan nilai-nilai filosofis dan sosial masyarakat ini.
Sejarah dan Perkembangan Masyarakat Basemah
Masyarakat Basemah memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Berdasarkan penemuan arkeologis berupa situs megalitik di kawasan Pasemah, keberadaan komunitas ini telah teridentifikasi sejak masa prasejarah. Menurut Westenenk (1922), pada masa prasejarah sekitar abad ke-4 hingga ke-7 Masehi, masyarakat Basemah telah mengembangkan kebudayaan yang maju, terbukti dengan keberadaan artefak megalitik yang menunjukkan tingkat keahlian yang tinggi dalam seni ukir batu.
Dalam perkembangannya, masyarakat Basemah mengalami berbagai pengaruh eksternal, mulai dari kerajaan-kerajaan Melayu dan Jawa hingga kolonialisme Belanda. Meskipun demikian, seperti yang diungkapkan oleh Collins (2007), masyarakat Basemah berhasil mempertahankan identitas kultural mereka melalui adaptasi dan negosiasi budaya yang kompleks. Saat ini, masyarakat Basemah tersebar di beberapa kabupaten di Sumatera Selatan, terutama di Kabupaten Lahat, Pagar Alam, dan Empat Lawang.
Sistem Sosial dan Kosmologi Basemah
Struktur sosial masyarakat Basemah tradisional didasarkan pada sistem marga, dengan jurai (keluarga besar) sebagai unit sosial terkecil. Sistem sosial ini diatur melalui adat istiadat yang disebut "Undang-Undang Simbur Cahaya" yang mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual. Menurut Irwanto (2011), masyarakat Basemah memiliki struktur sosial yang egaliter dengan penekanan pada musyawarah dalam pengambilan keputusan komunal.
Kosmologi Basemah memandang alam semesta sebagai entitas yang terhubung, di mana manusia, alam, dan dunia spiritual saling berinteraksi. Gunung Dempo dianggap sebagai tempat sakral dan pusat spiritual, sekaligus menjadi identitas geografis yang menyatukan masyarakat Basemah. Dalam penelitiannya, Djohan (2016) menjelaskan bahwa konsep "Petulai" (asal-usul keturunan) dan "Juray Tue" (keturunan tertua) menjadi dasar legitimasi kepemimpinan dan struktur sosial masyarakat Basemah.
Tradisi Lisan dan Metafora dalam Kebudayaan Basemah
Tradisi lisan merupakan wadah utama transmisi nilai-nilai budaya dalam masyarakat Basemah. Berbagai bentuk tradisi lisan seperti guritan (syair panjang), rejung (pantun berirama), dan tembang (nyanyian tradisional) menjadi media ekspresi identitas kultural masyarakat ini. Salah satu contoh tradisi lisan yang kaya akan metafora adalah syair "Petanglah Petang" yang menggunakan ungkapan figuratif untuk menyampaikan pesan-pesan filosofis.
Fungsi metafora dalam tradisi lisan Basemah, sebagaimana diteliti oleh Abdullah (2018), tidak hanya sebatas ornamen linguistik tetapi juga sebagai alat untuk memahami dan menginterpretasikan realitas sosial. Ungkapan metaforis seperti "Baju Kurung Bekancing Tige" memiliki lapisan makna yang merefleksikan pemahaman masyarakat Basemah tentang struktur sosial, etika, dan hubungan antar manusia.
Analisis Metafora "Baju Kurung Bekancing Tige"
Ungkapan "Baju Kurung Bekancing Tige" (baju kurung berkancing tiga) yang muncul dalam syair "Petanglah Petang" merupakan metafora kompleks yang mencerminkan nilai-nilai inti masyarakat Basemah. Menurut Peeters (2015), pakaian dalam tradisi Melayu secara umum dan Basemah secara khusus sering dijadikan metafora untuk menyimbolkan identitas, status sosial, dan nilai moral.
Dalam konteks budaya Basemah, "baju kurung" merepresentasikan identitas kultural yang membungkus dan melindungi individu. Sementara "kancing tiga" dapat diinterpretasikan sebagai tiga prinsip utama dalam falsafah hidup masyarakat Basemah: ketuhanan (hubungan dengan Yang Maha Kuasa), kemanusiaan (hubungan antarmanusia), dan keselarasan dengan alam. Rahmah (2019) menjelaskan bahwa angka tiga dalam kosmologi Basemah memiliki makna simbolis yang terkait dengan konsep tiga dunia: dunia atas (alam ketuhanan), dunia tengah (alam manusia), dan dunia bawah (alam gaib).
Baris selanjutnya "Dibatak endung ke selangit" (dibawa ibu ke Selangit) menguatkan interpretasi metafora ini dalam konteks transmisi nilai-nilai kultural lintas generasi. "Endung" (ibu) menyimbolkan agen transmisi budaya, sementara "Selangit" (nama tempat di kawasan Basemah) merepresentasikan identitas teritorial dan kultural.
Dimensi Sosio-Linguistik Bahasa Basemah
Bahasa Basemah, sebagai bagian dari rumpun bahasa Melayu, memiliki karakteristik linguistik yang unik dan merefleksikan pola pikir serta nilai-nilai masyarakatnya. Penggunaan ungkapan "wong kito galo" (kita semua) dalam tradisi lisan Basemah, sebagaimana diidentifikasi oleh Mahdi (2020), mencerminkan spirit kolektivisme dan identitas komunal yang kuat.
Fitur fonologis dan leksikal bahasa Basemah memiliki keterkaitan historis dengan bahasa-bahasa Austronesia lainnya, namun pengembangan semantiknya sangat dipengaruhi oleh konteks kultural lokal. McDonnell (2016) mencatat bahwa metafora-metafora dalam bahasa Basemah, seperti yang digunakan dalam syair "Petanglah Petang", menunjukkan adanya koneksi antara pengalaman fisik dengan konsep abstrak, seperti ekspresi "kepiat berlinang-linang" (air mata berlinang) untuk menggambarkan kesedihan mendalam.
Transformasi dan Keberlanjutan Identitas Basemah
Di era globalisasi, masyarakat Basemah menghadapi tantangan dalam mempertahankan identitas kulturalnya. Migrasi, modernisasi, dan pengaruh media massa telah mengubah dinamika transmisi nilai-nilai tradisional. Namun, sebagaimana dicatat oleh Ardiansyah (2021), masyarakat Basemah melakukan berbagai strategi adaptasi untuk mempertahankan esensi tradisi mereka sambil menegosiasikan perubahan sosial.
Revitalisasi tradisi lisan seperti "Petanglah Petang" melalui festival budaya, pendidikan, dan media digital menjadi salah satu strategi untuk mempertahankan keberlanjutan identitas Basemah. Hasnah (2022) mengamati bahwa generasi muda Basemah saat ini menemukan cara-cara kreatif untuk menginterpretasikan metafora tradisional seperti "Baju Kurung Bekancing Tige" dalam konteks kontemporer, menunjukkan bahwa tradisi lisan Basemah bukan sekadar artefak masa lalu tetapi entitas budaya yang hidup dan terus berevolusi.
Masyarakat Basemah, dengan sejarah panjang dan kekayaan tradisi lisannya, memberikan contoh menarik tentang bagaimana identitas kultural diartikulasikan melalui metafora. Ungkapan "Baju Kurung Bekancing Tige" dalam syair "Petanglah Petang" menjadi jendela untuk memahami lapisan-lapisan kompleks dalam filosofi, nilai sosial, dan pandangan dunia masyarakat Basemah. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, tradisi lisan Basemah terus bertransformasi sambil mempertahankan esensi kulturalnya, menunjukkan resiliensi dan dinamisme identitas Basemah sebagai bagian dari mozaik kebudayaan Nusantara.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Artikel Terpopuler