Di era digital yang semakin kompleks, bagaimana kita mengelola dan mengintegrasikan informasi menjadi tantangan yang fundamental. EDAS (Eksternal Detection Akumulatif Strategic) muncul sebagai metodologi revolutionary yang mengubah cara kita memahami pengembangan informasi data dalam jaringan integral. Metodologi ini tidak hanya berkaitan dengan teknologi, melainkan juga dengan bagaimana struktur matematika mempengaruhi sistem bahasa dan komunikasi manusia. EDAS beroperasi melalui prinsip-prinsip yang sederhana namun powerful. Eksternal Detection memungkinkan sistem untuk mengidentifikasi pola-pola informasi dari luar sistem yang sedang dianalisis, menciptakan objektivity yang necessary untuk accurate assessment. Komponen Akumulatif memastikan bahwa data yang dikumpulkan tidak fragmentary, melainkan terintegrasi dalam progression yang meaningful dan comprehensive. Strategic element mengarahkan seluruh proses menuju tujuan yang specific dan measurable, memastikan bahwa pengembangan informasi memiliki directionality yang clear.

Rocky Gerung Kebarat-baratan?

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Citizen Riau24 Arsip Sejarah Buktikan Rocky Gerung Berani Kritik Gus Dur Padahal Teman Dekat | RIAU24.COM
Iklan

Rocky Gerung selalu tampil dengan gaya khasnya: tajam, sinis, dan penuh kutipan dari filsafat Barat.

 

Penulis: Ahmad Wansa Al-faiz.


Rocky Gerung dan Eropa dalam Kepala

Rocky Gerung selalu tampil dengan gaya khasnya: tajam, sinis, dan penuh kutipan dari filsafat Barat. Dari Hans Kelsen dengan Pure Theory of Law sampai Thomas Hobbes dengan Leviathan, seolah-olah ruang debat publik Indonesia adalah seminar filsafat politik Eropa abad pertengahan.

Inilah yang membuat sebagian orang menyebutnya kebarat-baratan. Tapi bukankah itu memang ciri khas intelektual yang dididik dengan teks hukum dan filsafat Eropa?

Hans Kelsen: Hukum yang Murni, tapi di Indonesia Keruh

Hans Kelsen bicara tentang hukum murni, bebas dari kepentingan politik. Namun Rocky tahu persis, di Indonesia, hukum justru sering dimasuki kepentingan. Maka, mengutip Kelsen di ruang publik adalah satir itu sendiri: mengingatkan kita bahwa hukum murni hanyalah mitos, apalagi di negeri dengan tradisi kompromi dan dagang sapi.

Thomas Hobbes dan Leviathan ala Fufufafa

Thomas Hobbes menulis Leviathan, yakni tentang negara sebagai raksasa yang menjaga keteraturan dengan kuasa absolut. Tetapi dalam politik Indonesia, Leviathan kadang berubah jadi Fufufafa, yakni wajah negara yang penuh drama, saling tuding, siapa dalang di balik demo, siapa yang menekan siapa.

Di sini, Rocky tak perlu banyak bicara. Cukup menyebut Hobbes, dan kita langsung melihat refleksinya: negara yang besar, tapi kadang rapuh oleh perebutan narasi.

Kebarat-Baratan atau Strategi Satir?

Apakah Rocky Gerung benar-benar kebarat-baratan? Bisa jadi. Tapi justru di situlah satirnya: memakai filsuf Barat untuk mengkritik realitas Timur. Menggunakan Hobbes untuk membaca Fufufafa, memakai Kelsen untuk menelanjangi hukum Indonesia.

Itu bukan sekadar kebarat-baratan, melainkan cara menertawakan kita sendiri melalui cermin Barat.


Rocky Gerung—dari Hans Kelsen sampai Thomas Hobbes—memakai Barat sebagai senjata kritik. Tapi dalam konteks politik kita, kutipan itu tidak berhenti di ruang kuliah. Ia berubah jadi senjata satir, membongkar ironi negara yang masih mencari dalang di balik rakyatnya.

Mungkin, kebarat-baratan Rocky bukan soal gaya, melainkan strategi. Ia tahu, di negeri Fufufafa, hanya dengan membawa Leviathan, kita bisa mengerti betapa rapuhnya negara raksasa ini.


 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler