Benarkah Tuhan Itu Ada?

Minggu, 6 April 2025 14:13 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Udin di Sisi Lain Alam Semesta
Iklan

Apabila dalam eksperimen sains belum dapat membuktikan adanya Sang Maha Desainer, maka tidak dapat diambil kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada

***

Bagi yang tidak memercayai adanya Tuhan, mereka meyakini bahwa alam semesta beserta seluruh isinya tidak ada yang mendesain, tidak ada yang mengendalikan, atau tidak ada yang mengatur. Semuanya berjalan secara alamiah, secara otomatis, dan murni berdasarkan kehendak sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lebih parah lagi, ada yang mengatakan bahwa segala sesuatunya terjadi secara kebetulan.

Pergerakan bumi, bulan, bintang, matahari, planet, dan benda-benda langit lainnya terjadi secara kebetulan. Adanya bayi di dalam rahim, kemudian lahir ke dunia, tumbuh menjadi dewasa, dan akhirnya meninggal juga rangkaian proses kebetulan. Biji yang tumbuh, menjadi pohon besar, berbunga dan berbuah, pohon menua lalu mati juga dianggap fase-fase alamiah semata.

Adanya sungai, gunung, gurun, danau, lembah, laut, gelombang, angin, hujan, dan lain-lain mereka yakini sebagai produk kebetulan. Kucing, anjing, ayam, marmut, kuda, kelinci, burung-burung, dan berbagai jenis hewan lainnya juga produk kebetulan.

Pertanyaannya, apabila semua wujud yang ada di alam semesta ini – yang memiliki desain sempurna dan beraturan – berasal dari proses kebetulan, berapa triliun kebetulan yang terjadi di dunia ini yang bisa kita lihat?

Permasalahannya, yang namanya peristiwa “kebetulan” merupakan produk yang tidak direkayasa secara cermat dan seksama, maka biasanya ditandai dengan adanya produk gagal. Dengan kata lain, jika ada produk kebetulan, maka pasti ada produk gagal.

Padahal, suatu produk semakin dikerjakan secara cermat dan seksama, semakin minim pula terjadi produk gagal. Artinya, tidak akan ada produk kebetulan yang semuanya sukses dan sempurna, kebanyakan malah gagal.

Pemuda yang tampan rupawan, gadis yang cantik jelita, kucing yang lucu, kelinci yang imut dan menggemaskan, harimau yang gagah, tanaman hijau yang sedap dipandang, gunung yang tegak menjulang, laut biru yang memesona; adalah produk kebetulan atau produk yang sempurna?

Produk-produk yang sukses sempurna tanpa cacat hanya terjadi apabila dikerjakan secara matang, cermat, seksama, teliti, dan penuh perhitungan oleh Sang Maha Desainer.

Faktanya, tidak ada produk gagal di dunia ini.

Sekalipun demikian, anehnya tidak sedikit dari kaum intelektual, akademisi, profesor, ilmuwan yang katanya mereka memiliki akal yang brilian, memegang teguh prinsip kebetulan ini. Tidak perlu menggunakan dalil-dalil naqli (Al Qur’an dan Hadits). Cukup dengan dalil aqli (akal sehat), tak pernah ada contohnya di dunia ini sesuatu yang merupakan peristiwa kebetulan. Bahkan eksperimen laboratorium tercanggih sekalipun tak akan bisa membuktikannya.

Inilah titik terlemah dari ateisme, mereka yang menolak adanya Sang Maha Desainer.

Tidak Diketahui Bukan Berarti Tidak Ada

Apabila dalam eksperimen sains belum dapat membuktikan adanya Sang Maha Desainer, maka tidak dapat diambil kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada.  Belum atau tidak diketahui, bukan berarti tidak ada.

Sebagai sebuah konsep ilmu pengetahuan, sains seharusnya jujur dengan apa yang menjadi kapasitasnya. Sains harus bersih dari segala macam bentuk manipulasi demi kepentingan di luar sains itu sendiri. Ia bersifat umum dan berdiri di atas semua golongan. Oleh karena itu, perlu adanya pemisahan antara sains dengan saintisme, materialisme, positivisme, relativisme, absurdisme, skeptisisme, deisme, dll.

Misalnya, dalam sains proposisinya adalah belum atau tidak diketahui, maka akan dinyatakan sebagai belum atau tidak diketahui. Apabila sudah di luar ranah sains ya dinyatakan di luar ranah sains. Apabila apabila masih bersifat teoritis ya posisikan sebagai teori. Bukan seolah-olah sebagai fakta, lalu mereka yang yang mempertanyakannya dicap sebagai “melawan” sains.

Dalam hal ini, yang berbahaya bukanlah pernyataan sains melainkan pernyataan yang mengatasnamakan sains dengan tujuan untuk memprovokasi, padahal kedudukannya dalam sains belum inkrah sebagai fakta. Contohnya, banyak orang yang menyebut sesuatu yang “tidak ada” dengan mengatasnamakan sains, padahal kedudukannya dalam sains adalah belum atau tidak diketahui, atau di luar ranah sains.

Dalam sains, antara tidak tahu dengan tidak ada, substansinya berbeda.

 

Dia, Sang Kebenaran Sejati

Kebenaran agama atau adanya Tuhan harus berpijak pada nilai benar-salah yang harus dipahami secara hitam-putih serta mutlak, tidak bisa berpijak di atas prinsip ketidakpastian, probabilitas, atau bahkan kebetulan.  

Dengan demikian, karakter kebenaran seperti itu dapat dipegang sebagai pedoman hidup yang hakiki di setiap tempat dan di sepanjang zaman. Bisa dibayangkan jika kebenaran agama didasarkan pada filsafat atau pemikiran manusia yang dapat berubah-ubah dari zaman ke zaman; atau dipijakkan di atas teori saintifik yang dapat berganti-ganti secara dinamis.

Oleh karena itu, orang di luar agama sering menuduh agama sebagai “tidak dinamis”, karena karakternya yang tidak seperti filsafat atau sains. Agama memang menyuruh orang untuk berpikir dinamis, tetapi harus ada hal-hal yang dirumuskan sebagai ketetapan baku. Kalau tidak, dinamika berpikir hanya akan mengarah kepada keragaman, ketidakjelasan, ketidakpastian, atau pertentangan. 

Mereka yang menganut ideologi  saintisme, materialisme, positivisme, relativisme, absurdisme, skeptisisme, deisme, dll tidak suka kalau karakternya dinilai salah, maka biasanya mereka mereka merekayasa supaya nilai benar-salah itu menjadi kabur (bias).

Agar kebenaran agama agar tetap hitam-putih dan bersifat mutlak-hakiki, maka Tuhan membuat konstruksi yang kita kenal sebagai “sunnatullah”, sebagai aturan hukum dan ketetapan baku. Contoh sunnatullah yang bersifat fisik adalah hukum alam (hukum fisika), yaitu setiap yang hidup akan mati, yang muda akan menjadi tua, dibalik sehat ada sakit, ada siang ada malam dan sebagainya yang bersifat dualistik. Sedangkan yang bersifat metafisik (abstrak), seperti ada sebab ada akibat, ada pahala ada dosa, ada surga ada neraka, amal baik akan dibalas baik dan begitu sebaliknya.

Dalam agama wahyu, konsep Kebenaran (K huruf kapital) berpijak pada prinsip nilai benar-salah yang hitam-putih dan bersifat mutlak-hakiki. Dalam arti jelas, tidak abu-abu, tidak relatif, tidak absurd. Sebagaimana nilai baik-buruk yang membentuk nilai kebaikan (moralitas). Siapapun yang hendak biacara perihal Kebenaran, ia harus memiliki pemahaman terhadap nilai benar-salah terlebih dahulu, sebagaimana berbicara moral mesti paham nilai baik-buruk terlebih dahulu.

 

Siapa Mengenal Dirinya Ia Akan Mengenal Tuhan

Hamparan alam semesta beserta seluruh isi di dalamnya adalah ayat-ayat kauniyah, tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang tak tertulis. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan merupakan miniatur dari alam semesta bisa menjadi sarana untuk mengenal Sang Pencipta.

Tidak perlu pergi ke ujung dunia atau pergi ke ruang angkasa, tidak perlu melakukan eksperimen secara khusus. Untuk mengenal Tuhan cukup mudah dan cukup dekat, yaitu pada diri kita sendiri. Pelajari dan cermati bagaimana jantung berdetak, peredaran darah, bagaimana setetes air mani bisa menjadi calon manusia di dalam rahim, dari tadinya bayi tumbuh menjadi dewasa, bagaimana kuku dan rambut bertumbuh, bagaimana gigi tanggal, rambut memutih dan seterusnya.

Termasuk bagaimana manusia itu bernapas, makan dan minum, tidur, buang air kecil dan buang air besar, menguap, bersin, batuk, dan lain sebagainya.

Untuk mengenal Tuhan secara lebih dekat, manusia mesti melakukan perjalanan ke dalam diri. Kontemplasi yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, khalwat Nabi Muhammad di Gua Hira’, 40 hari 40 malam Nabi Musa berada di Gunung Sinai, termasuk meditasi yang dilakukan oleh Sidharta Gautama di bawah pohon boddhi adalah laku spiritual dalam rangka perjalanan ke dalam diri. Perjalanan panjang dan berliku untuk mengenal Tuhan secara lebih dekat.

Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu.

 

Referensi:

Terinspirasi dari tulisan karya Ujang ti Bandung di blog jurnalisme warga.

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Paradoks Pilihan

Minggu, 15 Juni 2025 23:03 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler