Aku Rakyatmu atau Bukan?

Senin, 14 April 2025 08:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Rakyat
Iklan

Ketika korban kekerasan hukum malah dianggap balik, di situlah negara kehilangan maknanya.

***

Di tengah gegap gempita pesta demokrasi, di mana pemimpin baliho-baliho berdiri megah di pinggir jalan dan janji-janji beterbangan di udara, ada satu pertanyaan yang pelan tapi menusuk: aku rakyatmu, atau bukan? Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, bahkan klise. Namun, bagi banyak orang yang hidup dalam persahabatan, ini bukanlah pertanyaan basa-basi. Ini maksudnya. Suatu refleksi dari rasa keterasingan dalam republik yang katanya dimiliki semua, namun kenyataannya sering hanya berpihak pada segelintir.

Demokrasi menjanjikan keterwakilan. Tapi benarkah setiap lapisan masyarakat merasa terwakili? Saat petani kehilangan tanah atas nama investasi, saat buruh hanya menjadi angka dalam laporan pertumbuhan, dan saat masyarakat adat disingkirkan dari hutan leluhurnya, legitimasi kekuasaan pun mulai terungkap.

Rakyat seperti siapa yang dimaksud dalam pidato-pidato pemimpin? Apakah hanya mereka yang bisa bersuara keras, punya kuasa modal, dan dekat dengan elit politik? Lalu, bagaimana dengan mereka yang hidup di kampung-kampung terasing, lorong-lorong kota, atau perbatasan negeri?

Dalam negara demokratis, menjadi warga negara bukan hanya soal memiliki KTP atau menyampaikan suara di TPS. Itu soal rasa yang dimiliki dan dimiliki. Bila rakyat merasa negara hanya datang untuk mengambil—bukan memberi perlindungan atau pelayanan—maka negara telah gagal membangun rasa kepemilikan itu.

Contoh paling nyata bisa kita temui dalam pelayanan publik. Ketika orang miskin takut ke rumah sakit karena tak mampu membayar, ketika korban kekerasan hukum malah dianggap balik, dan ketika aspirasi rakyat kecil dicap sebagai gangguan keamanan, maka di situlah negara kehilangan maknanya.

Demokrasi

Legitimasi tidak cukup dibangun dari pemilu. Ia lahir dari empati: kebijakan yang berpihak, kehadiran yang nyata, dan keberanian mendengar yang tulus. Sayangnya, hubungan antara rakyat dan pemimpinnya kini terlalu dibatasi oleh protokol, birokrasi, dan mentalitas elitis yang menganggap kritik sebagai ancaman.

Pertanyaan aku rakyatmu, atau bukan? adalah sinyal bahwa ada jurang antara janji dan kenyataan. Ia muncul karena rakyat melihat panggung kekuasaan hanya berbicara ke atas, bukan ke bawah. Mereka bosan jadi objek yang hanya dicari saat pemilu, lalu dilupakan setelahnya.

Saatnya Mendengar Jeritan yang Pelan Sebagai bangsa, kita tidak boleh mengabaikan pertanyaan ini. Karena ketika terlalu banyak rakyat merasa tidak termasuk dalam definisi “rakyat” itu sendiri, maka sebuah negara demokrasi sedang menuju krisis identitas.

Maka penjelasannya tidak bisa sekedar diketik di media sosial atau diucapkan dalam pidato. Ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata: menghapus ketimpangan, membuka ruang partisipasi sejati, dan menjadikan rakyat bukan sekadar alat politik, melainkan jiwa dari negara itu sendiri. Jika kita gagal menjawab, sejarah akan mengambil alih. Dan penjelasannya bisa datang dalam bentuk yang tak selalu damai.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Busyro Fandorez

Penulis Indonesiana, komisaris dpk gmni up45 Yogyakarta,

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler