Penulis Partikelir, Menikmati hidup dengan Ngaji, Ngopi dan Literasi
Menyudahi Wisuda Sekolah
Kamis, 1 Mei 2025 07:55 WIB
Dengan perayaan yang lebih sederhana, inklusif, dan berfokus pada esensi pendidikan itu sendiri: menghargai usaha, mempererat persahabatan
***
Hiruk pikuk akhir tahun ajaran sekolah kembali terasa. Bukan cuma soal pembagian rapor atau persiapan liburan panjang, tapi juga gegap gempita tradisi wisuda yang makin ke sini makin heboh. Yang bikin geleng-geleng kepala, kemeriahan ini tak cuma terjadi di tingkat perguruan tinggi, tapi juga sudah merambah ke semua jenjang: dari taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).
Padahal, kalau dipikir-pikir, apakah wisuda di setiap jenjang ini masih relevan? Atau malah, tanpa sadar, kita sudah melenceng dari esensi pendidikan itu sendiri?
Jujur saja, tak ada yang salah dengan merayakan kelulusan. Menyelesaikan satu jenjang pendidikan memang layak diapresiasi. Anak-anak, guru, dan orang tua tentu punya andil besar dalam perjalanan itu. Wisuda, idealnya, adalah momen pengakuan atas kerja keras semua pihak.
Tapi, realitas di lapangan? Hmm... wisuda sudah berubah wujud menjadi ajang pamer kemewahan.
Mulai dari sewa atau beli baju mahal, rias wajah profesional, sewa gedung mewah, sampai dekorasi fantastis, semua serba "wah". Rasanya tak lengkap kalau tak ada balon melayang-layang, photobooth kekinian, atau MC dengan suara menggelegar.
Dan yang paling terasa? Tekanan di kantong orang tua.
Biaya yang seharusnya bisa untuk beli buku pelajaran, tambahan kursus, atau bahkan ditabung untuk pendidikan lebih tinggi, malah habis untuk satu hari seremoni. Bagi keluarga ekonomi menengah ke bawah, beban ini terasa berat sekali. Tak jarang, orang tua harus berutang atau mengorbankan kebutuhan lain hanya demi gengsi: agar anaknya tak merasa "ketinggalan" dari teman-temannya.
Padahal, kalau kita mau jujur, sering kali anak-anak justru lebih menikmati perpisahan sederhana: main bareng, tukar-tukaran kenang-kenangan buatan tangan, atau sekadar nonton bareng di kelas sambil ngemil.
Yang lebih sedih, esensi wisuda sebagai momen apresiasi sering kali tenggelam di tengah pesta pora. Anak-anak, yang seharusnya jadi bintang utama, justru seperti figuran di tengah keramaian dekorasi dan formalitas acara.
Lantas, perlu nggak sih, wisuda di tingkat TK, SD, SMP, bahkan SMA?
Jawabannya: tentu saja boleh merayakan kelulusan, tapi tak harus dengan format wisuda mewah yang menguras dompet.
Ada banyak alternatif yang lebih sederhana dan bermakna. Misalnya, pentas seni kecil-kecilan menampilkan bakat siswa, pameran karya anak-anak, kegiatan bakti sosial sebagai bentuk syukur, atau perpisahan santai di sekolah bersama guru dan teman-teman.
Kabar baiknya, Kemendikbudristek juga sudah sadar akan fenomena ini. Melalui Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2023, pemerintah mengimbau sekolah agar tidak menjadikan wisuda sebagai kewajiban dan melarang pungutan biaya yang memberatkan.
Intinya, kelulusan itu soal menyelesaikan proses belajar, bukan soal pesta seremonial mahal.
Pihak sekolah juga didorong untuk membuat acara akhir tahun yang lebih sederhana, penuh makna, dan tak membebani orang tua. Misalnya, lomba antar-kelas, pementasan seni, atau sekadar syukuran kecil-kecilan.
Walau tetap saja, keputusan akhirnya kembali ke sekolah dan komite, setidaknya arah kebijakan ini sudah jelas: cukup sudah pesta berbiaya tinggi yang cuma menyisakan capek dan bon panjang.
Menariknya, polemik soal wisuda ini sempat viral. Masih ingat cerita Aura Cinta? Lulusan SMA dari Bekasi ini kecewa karena sekolahnya tak mengadakan wisuda. Ia berpendapat, tidak semua siswa punya kesempatan kuliah, jadi wisuda SMA adalah momen berharga buat mereka.
Keluhannya sampai didengar Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat waktu itu. Tapi Dedi Mulyadi justru balik bertanya: di tengah banyaknya kebutuhan mendasar seperti pangan, papan, pendidikan, apakah menggelar wisuda mahal masih jadi prioritas?
Logikanya sederhana. Kalau tiap jenjang — TK, SD, SMP, SMA — ada wisuda mewah, berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan keluarga, apalagi kalau anaknya lebih dari satu?
Lebih parah lagi, wisuda glamor berpotensi memperlebar jurang sosial. Anak-anak dari keluarga kurang mampu bisa merasa minder, malu, atau bahkan dikucilkan karena tak bisa tampil semewah teman-temannya. Alih-alih jadi momen bahagia, wisuda malah berubah jadi ajang pamer dan perbandingan sosial yang tidak sehat.
Ini jelas bertentangan dengan prinsip pendidikan: semua anak berhak dihargai atas proses belajarnya, bukan atas isi dompet orang tuanya.
Karena itu, penting untuk kembali merenungkan: apa sih makna kelulusan sebenarnya?
Apakah sekadar pesta glamor satu hari, atau perayaan perjalanan panjang penuh kerja keras, jatuh bangun, dan pertumbuhan karakter?
Momen kelulusan seharusnya menjadi waktu untuk mengenang perjuangan, merayakan kebersamaan, dan memupuk harapan baru, bukan malah membuat stres karena biaya.
Sudah saatnya kita move on dari tradisi wisuda TK sampai SMA yang mengutamakan kemewahan.
Mari ganti dengan perayaan yang lebih sederhana, inklusif, dan berfokus pada esensi pendidikan itu sendiri: menghargai usaha, mempererat persahabatan, dan menyiapkan langkah baru dengan penuh semangat.
Karena pada akhirnya, yang lebih penting bukanlah seberapa megah pesta kelulusan kita, tapi seberapa jauh ilmu dan karakter yang kita bawa setelahnya.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Sambutan Ramah nan Hangat di Hari Pertama Anak Masuk Sekolah
Rabu, 16 Juli 2025 17:04 WIB
Menjadi Budi Utomo Baru, Membayangkan dr Soetomo Aktif di Instagram
Rabu, 21 Mei 2025 13:20 WIBArtikel Terpopuler